OREGON – Riset terbaru dari Oregon State University yang dirilis Rabu (29/10/2025) memperkirakan tahun 2024 sebagai tahun terpanas Bumi dalam rentang waktu 125.000 tahun terakhir. Temuan ini menunjukkan hampir dua pertiga indikator kesehatan planet telah mencapai rekor tertinggi sepanjang masa.
**Melampaui Era Interglasial**
Suhu global 2024 diduga melebihi puncak periode interglasial terakhir yang terjadi 125.000 tahun lalu. Pada masa itu, perubahan alami orbit dan kemiringan Bumi menyebabkan planet lebih hangat dengan permukaan laut beberapa meter lebih tinggi dari sekarang.
Laporan yang dipublikasikan dalam jurnal BioScience mengungkapkan bahwa 22 dari 34 indikator terukur kesehatan Bumi – mencakup kadar gas rumah kaca, temperatur laut, es laut, dan deforestasi – telah menyentuh level ekstrem.
**Status Kelebihan Beban Ekologis**
Tren ini menunjukkan manusia berada dalam kondisi “kelebihan beban ekologis” (ecological overshoot), mengkonsumsi sumber daya planet lebih cepat dibanding kemampuan regenerasinya.
“Pesan sederhananya adalah krisis iklim telah memasuki fase darurat dan setiap sepersepuluh derajat pemanasan yang dapat dihindari sangat bermakna,” ungkap William Ripple, profesor ekologi Oregon State University yang memimpin penelitian tersebut.
**Kombinasi Faktor Penyebab**
Penelitian mengidentifikasi gas rumah kaca seperti karbon dioksida dan metana kembali mencapai tingkat tertinggi pada 2025. Konsentrasi CO2 di Observatorium Mauna Loa Hawaii melampaui 430 parts per million pada Mei lalu, level yang kemungkinan tidak terjadi selama jutaan tahun.
**Berkurangnya Daya Pantul Bumi**
Pemanasan berkelanjutan dipicu kombinasi beberapa faktor. Berkurangnya aerosol pemantul sinar matahari di atmosfer, seperti sulfat dari polusi industri, menyebabkan panas terakumulasi. Seiring kenaikan suhu, awan menjadi lebih tipis dan kurang reflektif, sehingga memerangkap lebih banyak panas.
Reflektivitas Bumi atau albedo menurun mendekati rekor terendah akibat pencairan es dan berkurangnya lapisan salju. Permukaan yang menggelap ini menyerap lebih banyak energi panas. Riset menunjukkan Belahan Bumi Utara menggelap lebih cepat dibanding Selatan, menciptakan ketidakseimbangan yang dapat mengintensifkan pemanasan dan mengganggu pola cuaca global.
**Kerusakan Sistem Penyangga Alami**
Dampak terlihat di seluruh planet, termasuk temperatur laut yang mencapai rekor tertinggi dan memicu pemutihan karang terbesar yang pernah tercatat. Massa es Greenland dan Antartika berada pada tingkat terendah sepanjang masa dengan laju kehilangan berlipat empat sejak 1990-an.
Tim peneliti mencatat hilangnya es ini menunjukkan kedua wilayah mungkin telah melewati titik kritis yang dapat mengunci kenaikan permukaan laut beberapa meter di masa depan.
**Kehilangan Hutan Global**
Hutan mengalami tekanan signifikan. Tim Ripple menemukan hilangnya tutupan pohon global mencapai 29,6 juta hektare pada 2024, tertinggi kedua dalam catatan. Kerugian akibat kebakaran melonjak 370% selama 2023, dipicu kondisi lebih panas dan kering akibat perubahan iklim dan El Niño.
**Siklus Pemanasan yang Memperkuat Diri**
“Jaring pengaman alami Bumi terhadap perubahan iklim mulai goyah,” kata Ripple. Ketika kebakaran hutan melepaskan karbon ke atmosfer, hal ini memanaskan planet dan meningkatkan risiko kebakaran lebih banyak – menciptakan siklus pemanasan yang saling memperkuat.
**Indonesia Juga Alami Tahun Terpanas**
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mencatat 2024 sebagai tahun terpanas sepanjang sejarah pengukuran meteorologi di Indonesia. Direktur Layanan Iklim Terapan BMKG Marjuki menjelaskan pengukuran meteorologi resmi pertama kali dilakukan pada 1866 oleh Pemerintah Kolonial Belanda di Batavia.
“Analisis data sejak 1866 maupun pengukuran terkini BMKG sejak 1981 di hampir seluruh wilayah Indonesia menunjukkan tren kenaikan suhu udara terus meningkat,” jelas Marjuki kepada Kompas.com, Senin (27/10/2025).
**Dua Faktor Utama di Indonesia**
Marjuki menyampaikan dua faktor penyebab peningkatan suhu yang menjadikan 2024 tahun terpanas di Indonesia. Pertama, efek dari meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca secara global maupun di Indonesia yang diukur BMKG di Bukit Kototabang.
“Saat ini level global untuk GRK CO2 adalah 422 ppm, dan Indonesia 420 ppm,” tegas Marjuki.
**Anomali Iklim El Niño**
Faktor kedua adalah kejadian anomali iklim seperti El Niño di Samudera Pasifik. Saat El Niño terjadi, suhu udara global umumnya mengalami lonjakan akibat menghangatnya permukaan laut di Samudera Pasifik.
**Implikasi Jangka Panjang**
Kombinasi faktor pemanasan ini menciptakan tantangan serius bagi stabilitas iklim global. Penelitian menunjukkan bahwa setiap komponen sistem iklim Bumi saling terkait dan perubahan pada satu elemen dapat memicu efek domino pada sistem lainnya.
**Urgensi Aksi Iklim**
Temuan ini menegaskan urgensi tindakan mitigasi perubahan iklim yang lebih agresif. Para peneliti menekankan bahwa setiap upaya menghindari kenaikan suhu tambahan, meskipun dalam skala kecil, memiliki dampak signifikan terhadap stabilitas sistem iklim planet.
Laporan ini menjadi peringatan keras bahwa manusia telah memasuki fase kritis dalam sejarah iklim Bumi, di mana sistem penyangga alami planet mulai kehilangan kemampuannya untuk menjaga keseimbangan yang diperlukan bagi kehidupan.
Sumber: Kompas.com
Buku Terkait: