COPENHAGEN – Para herpetolog mengidentifikasi tiga spesies kodok baru di Eastern Arc Mountains Tanzania yang menunjukkan strategi reproduksi unik dengan melahirkan anak hidup. Temuan ini memperkaya pemahaman tentang keragaman reproduksi amfibi sekaligus mengungkap fenomena viviparitas yang sangat langka di kalangan kodok.
Studi yang dipublikasikan dalam jurnal Vertebrate Zoology ini mengonfirmasi bahwa seluruh genus Nectophrynoides memiliki kemampuan reproduksi yang berbeda drastis dari kebanyakan amfibi.
**Viviparitas: Strategi Reproduksi yang Tidak Umum**
Berbeda dengan metamorfosis klasik amfibi yang bertelur di air dan menetas menjadi berudu, kodok-kodok genus Nectophrynoides mengembangkan embrio secara internal hingga tahap kodok kecil (froglet) sebelum dilahirkan.
Dr. Mark Scherz, herpetolog dari Natural History Museum Denmark dan penulis studi, menjelaskan keunikan reproduksi ini. “Kodok ini benar-benar melahirkan anak hidup, jadi mereka melahirkan sama seperti kita,” ungkap Scherz.
Proses fertilisasi terjadi secara internal, dan perkembangan embrio berlangsung hingga tahap lengkap di dalam tubuh induk. Yang lebih mengejutkan, induk betina dapat melahirkan lebih dari 100 anak dalam satu siklus reproduksi.
**Identifikasi Spesies Melalui Metode Museomik**
Christian Thrane, penulis utama studi yang mengerjakan penelitian ini sebagai tesis sarjana, mengungkap jumlah keturunan yang luar biasa. “Yang lebih mengejutkan adalah jumlah anak yang dibawa oleh induk kodok ini, ada lebih dari 100 anak,” katanya.
Ketiga spesies yang semula dikelompokkan sebagai Nectophrynoides viviparus kini secara resmi diberi nama: Nectophrynoides luhomeroensis, Nectophrynoides uhehe, dan Nectophrynoides saliensis.
Tim peneliti menggunakan metode “museomik” untuk mengidentifikasi spesies-spesies ini. Teknik ini memungkinkan ekstraksi data sekuen DNA dari spesimen museum yang berusia bervariasi—dari beberapa tahun hingga lebih dari satu abad.
**Karakteristik Morfologi dan Habitat**
Ketiga spesies baru ini merupakan kodok “pustular” dengan ciri khas benjolan menonjol dan berwarna cerah di seluruh tubuh. Habitat mereka di Eastern Arc Mountains Tanzania terkenal sebagai hotspot keanekaragaman hayati dengan tingkat endemisme tinggi.
Wilayah pegunungan ini menyediakan ekosistem mikro yang memungkinkan evolusi spesies-spesies khusus dengan adaptasi unik seperti viviparitas.
**Konsekuensi Energetik Viviparitas**
Christoph Liedtke dari Spanish National Research Council, yang turut menulis studi ini, menjelaskan trade-off evolusioner dari strategi reproduksi ini. “Viviparitas juga kemungkinan jauh lebih mahal energinya bagi betina dan mungkin memiliki implikasi penting pada mobilitas dan ketangkasan individu selama masa kehamilan,” ujar Liedtke.
Meskipun viviparitas menjamin tingkat kelangsungan hidup embrio yang lebih tinggi karena perlindungan optimal di dalam tubuh induk, strategi ini memiliki biaya metabolik yang signifikan. Sebaliknya, spesies oviparous (bertelur) dapat menghasilkan puluhan ribu telur dalam satu siklus reproduksi.
**Implikasi untuk Konservasi**
Fragmentasi habitat di Eastern Arc Mountains menimbulkan ancaman serius bagi kelangsungan hidup spesies-spesies ini. Beberapa spesies yang teridentifikasi sebelumnya, seperti Nectophrynoides asperginis, telah dinyatakan punah di alam liar.
Liedtke menegaskan pentingnya memahami ekologi reproduksi untuk strategi konservasi yang efektif. “Strategi konservasi yang efektif membutuhkan pemahaman tentang ekologi dan sejarah kehidupan organisme,” katanya.
**Distribusi Terlokalisasi dan Tantangan Konservasi**
Penelitian menunjukkan bahwa garis keturunan berbeda dalam kelompok yang semula dikenal sebagai N. viviparus sangat terlokalisasi secara geografis. Kondisi ini mengharuskan pendekatan konservasi yang mencakup semua area distribusi untuk melestarikan keragaman genetik secara efektif.
“Risiko kepunahan tidak sama untuk amfibi dengan mode reproduksi yang berbeda dan memahami hubungan ini sangat penting,” tambah Liedtke.
**Sejarah Penemuan Viviparitas pada Kodok**
Fenomena kodok melahirkan anak hidup pertama kali diketahui pada 1905, meskipun saat itu hanya satu spesimen yang terdokumentasi. Penelitian terbaru ini mengonfirmasi bahwa seluruh genus Nectophrynoides memiliki kemampuan viviparitas, tidak hanya spesies tunggal.
Temuan ini mengubah pemahaman tentang diversitas reproduksi amfibi dan menunjukkan bahwa evolusi telah menghasilkan solusi-solusi alternatif untuk tantangan reproduksi.
**Teknologi Museomik dalam Taksonomi Modern**
Penggunaan metode museomik dalam penelitian ini mendemonstrasikan bagaimana koleksi museum bersejarah dapat dimanfaatkan dengan teknologi modern untuk mengungkap keanekaragaman yang tersembunyi. Teknik ini memungkinkan analisis genetik spesimen lama tanpa merusak nilai historis koleksi.
Pendekatan ini membuka peluang untuk mengidentifikasi spesies-spesies kryptik lainnya dalam koleksi museum global, potensial meningkatkan jumlah spesies yang diketahui secara signifikan.
**Relevansi Evolusioner Viviparitas**
Evolusi viviparitas pada genus Nectophrynoides menawarkan model studi untuk memahami transisi evolusioner dari oviparity ke viviparity pada vertebrata. Transisi ini relatif jarang dalam evolusi amfibi, menjadikan genus ini sangat berharga untuk penelitian biologi evolusioner.
Strategi reproduksi ini mungkin berkembang sebagai adaptasi terhadap kondisi lingkungan spesifik di habitat pegunungan dengan variabilitas iklim tinggi.
**Urgensi Perlindungan Habitat**
Mengingat tingkat endemisme tinggi dan ancaman habitat yang terus meningkat, perlindungan Eastern Arc Mountains menjadi prioritas konservasi internasional. Hilangnya habitat tidak hanya mengancam spesies-spesies yang sudah diketahui, tetapi juga potensi spesies-spesies baru yang belum teridentifikasi.
Keunikan sistem reproduksi genus Nectophrynoides menambah nilai konservasi kawasan ini sebagai laboratorium evolusi alami yang tidak tergantikan.
Sumber: Kompas.com
Buku Terkait: