Kerusakan Hutan Picu Banjir Sumatera, Deforestasi Indonesia Nomor Berapa di Dunia?

Rangkaian bencana banjir bandang dan tanah longsor yang menghantam wilayah Sumatera Utara, Aceh, dan Sumatera Barat bukan sekadar disebabkan oleh intensitas curah hujan tinggi. Peristiwa berulang ini, yang dikategorikan sebagai Bencana Hidrometeorologi, semakin diperparah oleh deforestasi masif dan kerusakan lingkungan di Indonesia.

Para ahli memperingatkan bahwa fenomena ini bukanlah murni bencana alam, melainkan krisis ekologis yang dipicu oleh aktivitas manusia. Di tengah ancaman ini, data global menunjukkan bahwa Indonesia termasuk negara dengan tingkat deforestasi terburuk di dunia.

**Indonesia Urutan Kedua Deforestasi Terparah Global**

Data yang dirilis World Population Review pada awal 2024 menunjukkan bahwa Indonesia menduduki peringkat kedua dalam daftar negara dengan tingkat deforestasi terparah secara global. Data ini berdasarkan perubahan area hutan periode 1990-2020:

– **Brazil**: Kehilangan sekitar 356.787 mil persegi area hutan, setara dengan 15,67 persen dari total area hutannya
– **Indonesia**: Deforestasi mencapai 101.977 mil persegi, atau 22,28 persen dari total area hutan
– **Republik Demokratik Kongo**: Urutan ketiga dengan kehilangan lebih dari 94.495 mil persegi area hutan (16,25 persen)

Angka ini menempatkan deforestasi Indonesia sebagai isu lingkungan global yang sangat mendesak.

**Definisi dan Pemicu Bencana Hidrometeorologi**

Kepala Sub-bidang Peringatan Dini Cuaca Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Agie Wandala, menjelaskan bahwa Bencana Hidrometeorologi adalah bencana yang dampaknya dipicu oleh kondisi cuaca dan iklim.

Parameter pemicunya beragam, termasuk peningkatan curah hujan hingga kekeringan.

“Yang menarik adalah terminologi Bencana Hidrometeorologi itu, kekeringan juga masuk kategorinya. Sehingga, tidak hanya pada kasus kelebihan curah hujan saja,” kata Agie kepada Kompas.com, Kamis (3/12/2020).

**Perubahan Iklim Memperparah Kondisi**

Kondisi curah hujan berintensitas tinggi yang diperparah oleh perubahan iklim global, menurut Dosen Teknik Geologi Fakultas Teknik UGM, Prof. Dr.Eng. Ir. Wahyu Wilopo, menjadi pemicu utama meningkatnya Bencana Hidrometeorologi seperti banjir dan longsor di Indonesia.

**Bukan Lagi Fenomena Alam Murni**

Bencana yang melanda wilayah Sumatera Utara, khususnya kawasan Tapanuli, disebut bukan lagi murni fenomena alam, melainkan bencana ekologis yang dipicu oleh kerusakan parah pada ekosistem.

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sumatera Utara menyoroti bahwa banjir bandang di Mandailing Natal, Tapanuli Selatan, Tapanuli Tengah, dan Kota Sibolga pada 25 November 2025, merupakan akibat kerusakan ekosistem.

**Bukti Kerusakan Ekosistem**

Manajer Advokasi dan Kampanye WALHI Sumut, Jaka Kelana Damanik, mengkritik narasi yang selalu menyalahkan hujan sebagai satu-satunya penyebab.

“Padahal saat banjir tiba, terlihat banyak kayu-kayu terbawa air. Dan jika dilihat dari citra satelit, tampak kondisi hutan yang gundul di sekitar lokasi bencana,” jelas Jaka.

**Laju Deforestasi Batang Toru Mengkhawatirkan**

WALHI Sumut mencatat laju deforestasi di ekosistem Batang Toru mengalami peningkatan signifikan. Dari total luasan sekitar 250.000 hektare, laju deforestasi mengalami kenaikan hingga 30 persen dalam lima tahun terakhir akibat industri-industri ekstraktif.

“Luasan dari ekosistem Batang Toru itu sekitar 250.000 hektare. Dalam 5 tahun terakhir, mengalami deforestasi yang signifikan mencapai 30 persen. Itu karena industri-industri ekstraktif tersebut,” ungkap Jaka.

**Faktor Penentu Risiko Bencana**

Deforestasi Indonesia yang menempati peringkat tinggi secara global menjadi faktor penentu risiko bencana hidrometeorologi, terutama di wilayah yang masuk dalam kategori risiko tinggi seperti sebagian besar Sumatera Utara.

**Dampak Industri Ekstraktif**

Aktivitas industri ekstraktif seperti pertambangan, perkebunan kelapa sawit, dan penebangan hutan menjadi penyebab utama kerusakan ekosistem. Hilangnya fungsi hutan sebagai penyerap air hujan dan pencegah erosi tanah meningkatkan risiko banjir bandang dan tanah longsor.

**Urgensi Perlindungan Ekosistem**

Para aktivis lingkungan menekankan pentingnya perlindungan ekosistem yang tersisa dan restorasi kawasan yang telah rusak. Tanpa tindakan konkret, bencana hidrometeorologi akan terus berulang dengan intensitas yang semakin parah.

**Peran Perubahan Iklim Global**

Selain kerusakan lokal, perubahan iklim global juga berkontribusi terhadap peningkatan intensitas curah hujan. Kombinasi antara kerusakan ekosistem lokal dan perubahan iklim global menciptakan kondisi yang sangat rentan terhadap bencana hidrometeorologi.

**Tantangan Penanganan Jangka Panjang**

Penanganan bencana hidrometeorologi memerlukan pendekatan komprehensif yang tidak hanya fokus pada tanggap darurat, tetapi juga pada pencegahan melalui perlindungan dan restorasi ekosistem. Hal ini memerlukan komitmen jangka panjang dari pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan.


Sumber: Kompas.com


Buku Terkait:

Aku Senang Ada: Awan dan Hujan

Ibu Susu

Masih Berjayakah Sawit Indonesia?