Studi yang dipimpin Norman Loeb dari NASA’s Langley Research Center mengonfirmasi fakta mengkhawatirkan: Bumi kini satu tingkat lebih gelap sejak tahun 2001. Planet ini memantulkan lebih sedikit sinar Matahari ke ruang angkasa dibandingkan sebelumnya, menghasilkan perubahan dalam keseimbangan energi global yang berdampak signifikan terhadap iklim.
**Tren Kegelapan Tidak Seragam Selama 23 Tahun**
Tren ini diukur antara tahun 2001 hingga 2024 dan tidak hanya memengaruhi keseimbangan energi global, tetapi juga menunjukkan distribusi kegelapan yang tidak seragam. Belahan Bumi Utara menjadi lebih gelap daripada Belahan Bumi Selatan, menambahkan panas ekstra di wilayah yang es dan saljunya sudah mencair.
**Perubahan Energi Kecil dengan Dampak Masif**
Pada puncak atmosfer, Bumi mengelola sekitar 240-243 watt energi Matahari per meter persegi. Melawan latar belakang energi masif tersebut, para peneliti menemukan perbedaan penyimpangan hemisfer (belahan) sekitar 0,34 watt per meter persegi setiap dekade.
Meskipun terdengar sangat kecil, para ahli menegaskan bahwa perubahan iklim adalah kisah tentang angka-angka kecil namun persisten. Tambahan energi berkelanjutan yang diterapkan dari tahun ke tahun dapat mengubah musim es laut, tutupan salju, awan, angin, dan arus samudra dengan cara yang memperkuat dorongan asli tersebut.
**Ketidakseimbangan Alami yang Memburuk**
Secara historis, kedua belahan planet tidak pernah seimbang sempurna, tetapi atmosfer dan lautan biasanya mengangkut panas bolak-balik melintasi khatulistiwa untuk memperhalus perbedaan. Namun, selama dua dekade terakhir, konveyor alami tersebut tidak mampu mengimbangi laju kegelapan di Belahan Bumi Utara.
**Dua Faktor Utama Penyebab Bumi Makin Gelap**
Para peneliti mengidentifikasi dua pendorong utama mengapa Bumi makin gelap:
**1. Penurunan Reflektivitas (Albedo)**
Pendorong paling jelas adalah albedo atau reflektivitas. Permukaan cerah—seperti es laut, salju, dan puncak awan—memantulkan sinar matahari kembali ke angkasa. Ketika permukaan ini digantikan oleh lautan yang lebih gelap atau tanah kosong, lebih banyak energi terperangkap.
Belahan Bumi Utara mengalami penurunan nyata pada tutupan salju musim semi dan es laut Arktik musim panas. Penggantian warna putih dengan warna gelap tidak hanya menyerap lebih banyak cahaya, tetapi juga mempersulit es dan salju untuk pulih di musim berikutnya—sebuah umpan balik positif klasik.
**2. Udara Lebih Bersih, Reflektivitas Menurun**
Pendorong kedua datang dari atmosfer, khususnya aerosol—partikel kecil yang menyebarkan cahaya dan menjadi benih tetesan awan. Di utara, polusi aerosol telah menurun tajam berkat aturan kualitas udara yang lebih ketat di Amerika Utara, Eropa, dan sebagian Asia Timur.
Penurunan aerosol merupakan kemenangan kesehatan publik. Namun, itu juga berarti lebih sedikit partikel yang berfungsi mencerahkan awan atau menyebarkan sinar matahari, membuat belahan utara menjadi kurang reflektif.
**Fenomena Alam Memperlebar Jurang Utara-Selatan**
Sebaliknya, belahan selatan sempat mendapatkan dorongan aerosol sporadis dari peristiwa alam, seperti musim kebakaran hutan ekstrem di Australia dan letusan gunung berapi Hunga Tonga–Hunga Ha’apai yang meningkatkan material yang memengaruhi reflektivitas udara atas.
Peristiwa alam ini secara sementara mengembalikan sedikit “kilau” di selatan, yang justru memperlebar jurang perbedaan utara-selatan.
**Implikasi untuk Model Iklim Masa Depan**
Temuan ini sangat penting bagi model iklim yang perlu menangkap bagaimana aerosol memengaruhi pembentukan tetesan awan, dan bagaimana evolusi awan di atas lautan yang lebih hangat dan kurang es mengubah reflektivitas planet secara keseluruhan.
**Efek Domino pada Sistem Iklim**
Pola hemisfer yang stabil—refleksi yang lebih sedikit di utara—memengaruhi lokasi akumulasi panas dan seberapa cepat lapisan es, gletser gunung, dan permafrost merespons.
**Peringatan Terhadap Solusi Keliru**
Para peneliti menekankan, melindungi planet dengan sengaja “mencerahkan” langit melalui polusi adalah solusi yang salah. Aerosol hanya berumur pendek, sementara karbon dioksida bertahan selama berabad-abad.
**Sinyal Tenang dengan Dampak Berkelanjutan**
“Intinya sederhana: Bumi semakin gelap, terutama di utara. Itu berarti sedikit lebih banyak energi matahari yang tertahan setiap tahun,” simpul studi tersebut.
Ini adalah sinyal yang tenang, bukan sirene yang nyaring, tetapi dalam istilah iklim, sinyal tenang yang tidak pernah berhenti.
**Metodologi Penelitian**
Studi yang dipublikasikan di jurnal Proceedings of the National Academy of Sciences ini menggunakan data satelit selama 23 tahun untuk mengukur perubahan reflektivitas Bumi dengan presisi tinggi.
**Konsekuensi Jangka Panjang**
Penurunan reflektivitas Bumi berkontribusi pada percepatan pemanasan global dengan menciptakan loop umpan balik positif. Semakin gelap permukaan Bumi, semakin banyak energi yang diserap, yang selanjutnya mempercepat pencairan es dan mengurangi reflektivitas.
**Tantangan Mitigasi Iklim**
Temuan ini menambah kompleksitas upaya mitigasi iklim, karena menunjukkan bahwa bahkan upaya pembersihan udara yang positif dapat memiliki konsekuensi tak terduga terhadap keseimbangan energi planet.
**Urgensi Aksi Komprehensif**
Hasil penelitian menekankan pentingnya pendekatan komprehensif dalam mengatasi perubahan iklim, yang tidak hanya fokus pada pengurangan emisi karbon tetapi juga mempertimbangkan berbagai faktor yang memengaruhi keseimbangan energi Bumi.
Sumber: Kompas.com
Buku Terkait:
Pergulatan Transisi Energi Berkeadilan: Satu Isu Beragam Dilema
Perencanaan Pembangunan, Keuangan, dan Transisi Energi Daerah