Rapat kerja Komisi V DPR dengan Menteri Pekerjaan Umum mengungkap fakta mengejutkan tentang proyek bendungan pemerintah. Anggota komisi infrastruktur menyoroti banyaknya bendungan yang hingga kini belum dapat dimanfaatkan optimal karena ketiadaan jaringan irigasi, meskipun proyek-proyek itu telah diresmikan bertahun-tahun lalu.
**Capaian Fantastis dengan Celah Pemanfaatan**
Situasi ini menciptakan ironi di tengah gempita pembangunan infrastruktur satu dekade terakhir. Kementerian Pekerjaan Umum (2024) mencatat pemerintah telah menyelesaikan 53 dari 61 bendungan besar yang dibangun selama 2015-2024. Angka ini terbilang fantastis mengingat sebelumnya Indonesia hanya memiliki 231 bendungan yang terbangun sejak masa kolonial hingga 2014.
Sayangnya, capaian tersebut belum diimbangi pembangunan jaringan irigasi yang memadai sehingga manfaat bendungan belum sepenuhnya dirasakan masyarakat.
**Upaya Pembangunan Irigasi Masih Tertinggal**
Pemerintah sebetulnya tidak mengabaikan infrastruktur pengairan sepenuhnya. Sepuluh tahun terakhir, negara telah membangun irigasi baru seluas 1,2 juta hektare dan merehabilitasi irigasi lama seluas 4,6 juta hektare. Hasilnya, luas lahan pertanian yang terlayani irigasi teknis kini mencapai 7,5 juta hektare.
**Kesenjangan antara Bendungan dan Irigasi Teknis**
Persoalannya, kapasitas irigasi teknis yang airnya bersumber langsung dari bendungan masih jauh dari ideal. Cakupannya hanya 1,4 juta hektare (19 persen) pada 2024, meningkat dari sebelumnya 825 ribu hektare (11 persen) pada 2014. Meski angka ini naik, kenaikannya tetap tidak sebanding dengan laju pembangunan bendungan.
**Kasus Konkret: Bendungan Tanpa Manfaat Optimal**
Kritik mengenai minimnya manfaat pembangunan bendungan memang beralasan. Komisi V DPR mempersoalkan rendahnya pemanfaatan Bendungan Tanju di Nusa Tenggara Barat karena jaringan irigasinya belum tersedia, padahal bendungan tersebut telah diresmikan sejak 2018.
Sebelumnya, DPRD Kabupaten Tapin juga mengeluhkan hal serupa pada Bendungan Tapin di Kalimantan Selatan yang dinilai belum memberikan dampak nyata bagi masyarakat setempat walau sudah diresmikan pada 2021.
**Bendungan Multifungsi Masih Bermanfaat**
Perlu diluruskan bahwa bendungan-bendungan tersebut bukannya tanpa manfaat sama sekali. Sebagian besar bendungan merupakan bendungan multifungsi yang tidak hanya berperan dalam irigasi pertanian, tetapi juga penyediaan air baku, pengendalian banjir, potensi tenaga listrik, hingga pariwisata.
Artinya, bendungan tetap memiliki fungsi lain yang signifikan, namun keberadaannya ibarat “sayur tanpa garam” jika fungsi irigasi tidak dimaksimalkan.
**Tiga Faktor Penyebab Utama**
Setidaknya terdapat tiga faktor yang menjelaskan kondisi ini:
**1. Aspek Teknis dan Proses Penggenangan**
Faktor pertama adalah aspek teknis yang membuat bendungan tidak bisa langsung dimanfaatkan setelah konstruksi selesai. Bendungan harus melalui proses penggenangan (impounding) yang dapat berlangsung berbulan-bulan hingga bertahun-tahun, tergantung musim, kondisi hidrologis, dan hasil pemantauan kinerja bendungan.
Untuk fungsi lain seperti penyediaan air minum atau tenaga listrik, prosesnya tak kalah panjang karena menyangkut perizinan, investasi, dan tahapan lainnya.
**Ekspektasi Publik yang Terlalu Tinggi**
Kebiasaan presiden terdahulu yang kerap meresmikan bendungan ketika penggenangan baru dimulai turut memicu ekspektasi publik yang terlampau tinggi bahwa manfaat bendungan akan bisa dirasakan seketika. Padahal, dalam konteks bendungan, penggenangan sama sekali tidak identik dengan pemanfaatan.
**2. Fragmentasi Kebijakan Antarlembaga**
Faktor kedua adalah fragmentasi kebijakan antarkementerian maupun antara pemerintah pusat dan daerah. Infrastruktur pengairan selama ini menjadi tugas banyak tangan. Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Pertanian, dan pemerintah daerah masing-masing memiliki perspektif dan prioritas berbeda.
Akibatnya, muncul ketidakselarasan dalam kebijakan, program, maupun proyek infrastruktur yang berujung pada tidak optimalnya manfaat pembangunan.
**Upaya Penataan Kewenangan**
Di tingkat pusat, tumpang-tindih kewenangan berusaha dirapikan melalui Peraturan Presiden (Perpres) 24/2024. Regulasi ini menempatkan Kementerian Pekerjaan Umum sebagai instansi penjuru dalam pengembangan dan pengelolaan irigasi bahkan pencetakan sawah baru.
**Kompleksitas di Tingkat Daerah**
Di tingkat daerah, fragmentasi justru lebih kompleks. Dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional (Musrenbangnas) 2024, Presiden Joko Widodo mengeluhkan banyak daerah yang tidak menindaklanjuti pembangunan bendungan dengan pembangunan irigasi menuju sentra-sentra pertanian.
Padahal, ketika awal perencanaan, daerah-daerah tersebut telah menyatakan kesiapan dan kesanggupan membangun infrastruktur pendukung bendungan.
**Pembagian Kewenangan yang Rumit**
Keluhan ini beralasan mengingat pembangunan bendungan dan irigasi primer merupakan kewenangan pusat, sedangkan irigasi sekunder dan tersier menjadi tanggung jawab daerah. Alhasil, air tidak mengalir hingga ke sawah-sawah masyarakat.
**3. Prioritas pada Infrastruktur Tulang Punggung**
Faktor ketiga, pemerintahan sebelumnya cenderung lebih memprioritaskan infrastruktur tulang punggung (backbone infrastructure), yakni infrastruktur utama dan berskala besar seperti jalan tol, pelabuhan hub, dan bendungan, serta kurang memberi perhatian pada infrastruktur nadi (arterial infrastructure) yang menyalurkan manfaat infrastruktur hingga ke tingkat tapak.
**Sifat Komplementer Infrastruktur**
Kedua jenis infrastruktur
Sumber: Kompas.com
Buku Terkait:
Perencanaan Pembangunan, Keuangan, dan Transisi Energi Daerah