Perjalanan kelapa sawit menuju Indonesia merupakan narasi kompleks yang melibatkan transformasi budaya, ekonomi, dan geopolitik yang berujung pada kontroversi lingkungan di Asia Tenggara. Bukti arkeologis mengungkapkan bahwa minyak sawit telah dimanfaatkan minimal 5.000 tahun lalu sebagai komponen vital dalam pola makan masyarakat Afrika Barat.
**Asal-usul di Afrika Barat**
Sebagian besar sawit tumbuh secara liar atau semi-liar; hanya sedikit perkebunan “kerajaan” yang dikelola secara intensif, seperti di Kerajaan Dahomey pada abad ke-18.
Kelapa sawit mengalami lonjakan permintaan di Eropa pada abad ke-19 sebelum akhirnya pusat produksinya bergeser sepenuhnya ke Indonesia dan Malaysia pada abad ke-20.
**Pengolahan Tradisional yang Bertahan**
Selama ribuan tahun, minyak sawit memiliki fungsi yang luas dalam kehidupan masyarakat Afrika Barat. Dikutip dari National Geographic Indonesia, pengolahan minyak sawit adalah pekerjaan berat yang sebagian besar dilakukan oleh perempuan.
Mereka merebus buah sawit berulang kali, menyaringnya, lalu mengekstrak minyak merah dari daging buah. Dengan cara serupa, mereka juga memecah biji keras untuk menghasilkan minyak biji sawit yang berwarna bening kecokelatan. Hingga kini, metode tradisional ini masih ditemukan di banyak wilayah Afrika Barat.
**Fungsi Multidimensi dalam Masyarakat**
Minyak sawit memiliki fungsi yang luas dalam kehidupan masyarakat. Selain untuk memasak, minyak sawit digunakan untuk membuat sabun tradisional, seperti sabun hitam Yoruba, serta sebagai bahan bangunan dan bahan bakar lampu di Kerajaan Benin.
Dalam berbagai ritual dan pengobatan, minyak sawit berperan sebagai salep, penawar racun, hingga bahan upacara. Sementara itu, nira sawit digunakan untuk minuman, dan pelepahnya digunakan sebagai atap serta peralatan rumah tangga.
**Ekspansi ke Eropa: Menggantikan Perdagangan Budak**
Minyak sawit mulai dikenal di Eropa sejak abad ke-15, tetapi lonjakan permintaan terjadi pada awal abad ke-19. Para pedagang dari Liverpool dan Bristol yang sebelumnya terlibat dalam perdagangan budak beralih ke minyak sawit setelah perbudakan dilarang pada tahun 1807.
Mereka telah familiar dengan manfaat sawit sebagai makanan bagi budak selama pelayaran lintas Atlantik, sehingga peralihan komoditas berlangsung cepat.
**Kebutuhan Industri Eropa**
Di Eropa Utara, minyak dan lemak kala itu masih bergantung pada sumber hewani yang sulit dipasok secara stabil. Industri membutuhkan alternatif yang murah dan mudah diakses. Minyak sawit pun menjadi pilihan utama dan dipakai sebagai pelumas, bahan pelat timah, penerangan jalan, lilin, dan sabun industri.
**Revolusi Kimia dan Lonjakan Produksi**
Penemuan kimia pada 1820-an bahkan mempercepat produksi sabun dalam skala besar. Volume impor minyak sawit melonjak dari hanya sekitar 157 ton pada akhir 1790-an menjadi lebih dari 32.000 ton pada awal 1850-an.
**Jaringan Perdagangan Berisiko Tinggi**
Pedagang-pedagang Eropa membeli minyak sawit dari jaringan perantara lokal di Delta Niger (wilayah yang saat itu dikenal sebagai Oil Rivers karena intensitas perdagangannya). Perdagangan berlangsung penuh risiko.
Para pedagang Eropa hidup berbulan-bulan di kapal yang ditambatkan di lepas pantai untuk menghindari penyakit dan karena aturan lokal melarang pembangunan pos di daratan. Mereka menukar barang-barang Eropa dengan minyak sawit yang dikumpulkan oleh para perantara Afrika, banyak di antaranya mantan pedagang budak.
**Kontinuitas Jaringan Perdagangan Lama**
Jaringan yang digunakan sebelumnya untuk perdagangan budak tetap dipakai hingga 1840-an, menunjukkan betapa eratnya hubungan antara kedua sistem ekonomi itu.
**Era Margarin dan Ekspansi Kolonial**
Pada akhir abad ke-19, permintaan kembali melonjak setelah ilmuwan Eropa menemukan proses hidrogenasi untuk membuat margarin, yang menjadi sumber lemak murah bagi kelas pekerja perkotaan.
Pada periode ini, kekuatan kolonial mulai menguasai Afrika Barat. Inggris dan Perancis mendirikan koloni di Senegal, Lagos, Gold Coast, dan Nigeria, memperkuat kendali atas perdagangan minyak sawit, mengikis kekuasaan pedagang Afrika.
**Transformasi Abad ke-20: Era Perkebunan Industri**
Perubahan terbesar datang pada awal abad ke-20, yang mengubah peta produksi global.
“Perubahan terbesar baru datang pada awal abad ke-20, dengan munculnya perkebunan sawit skala industri di Asia Tenggara,” tulis laporan National Geographic Indonesia.
**Revolusi Monokultur di Asia Tenggara**
Dalam hitungan dekade, hutan-hutan tropis di wilayah ini dibuka untuk monokultur kelapa sawit. Sistem perkebunan modern skala industri, yang tidak diadopsi di Afrika Barat, terbukti memberikan produktivitas yang jauh lebih tinggi di Asia Tenggara.
**Perpindahan Pusat Produksi Global**
Akhirnya, pusat produksi minyak sawit global pun berpindah. Kini, Indonesia dan Malaysia menguasai lebih dari 85 persen produksi dunia, jauh melampaui benua asalnya, Afrika Barat.
**Warisan Kontroversi Modern**
Hal inilah yang mendasari kompleksitas dan kontroversi lingkungan terkait minyak sawit yang terus terjadi hingga kini.
**Dampak Teknologi Kolonial**
Perbedaan mencolok antara metode tradisional Afrika dan sistem perkebunan industrial Asia Tenggara menunjukkan bagaimana teknologi kolonial mengubah lanskap produksi global. Efisiensi yang tinggi di Asia Tenggara tercapai melalui konversi hutan alami menjadi monokultur yang homogen.
**Ironi Sejarah**
Ironi terbesar dari perjalanan kelapa sawit adalah bahwa Afrika, sebagai tanah asal tanaman ini, kini hanya menyumbang sebagian kecil dari produksi global. Sementara itu, Asia Tenggara yang menerima introduksi sawit melalui sistem kolonial justru menjadi raja produksi dunia.
**Relevansi dengan Isu Kontemporer**
Sejarah panjang ini memberikan konteks penting untuk memahami mengapa debat tentang kelapa sawit begitu kompleks. Tanaman yang awalnya tumbuh harm
Sumber: Kompas.com
Buku Terkait: