Gurun Sahara di Afrika Ternyata Menyumbang Kesuburan Hutan Amazon

Gurun Sahara di Afrika dan Hutan Amazon di Amerika Selatan—dua ekosistem yang secara geografis sangat berjauhan dan kontras—ternyata memiliki keterkaitan yang erat dan vital. Gurun pasir terluas di planet (8,6 juta km persegi) ini berperan krusial dalam memupuk Hutan Amazon, hutan hujan terbesar dunia.

Kedua kawasan ini terhubung melalui sebuah “sungai atmosfer” berupa awan debu sepanjang 16.000 kilometer yang bergerak melintasi Samudera Atlantik secara berkala.

**Proses Pemupukan Alami dari Fosfor Sahara**

Menurut data NASA (29 April 2015), setiap tahun angin Sahara yang kencang membawa awan debu raksasa menuju kawasan Amazon. Debu ini, yang sebagian besar berasal dari dasar danau purba di Chad, mengandung fosfor dalam jumlah tinggi.

Fosfor merupakan unsur hara yang sangat vital bagi pertumbuhan tanaman, namun ketersediaannya sangat terbatas di Hutan Amazon. Debu Sahara yang turun ke hutan setiap tahun membantu mengatasi kekurangan nutrisi ini.

“Ketika debu tersebut mencapai hutan hujan, sisa-sisa organisme yang telah lama mati dari Sahara memberikan nutrisi penting bagi tanaman yang hidup di hutan tersebut,” demikian penjelasan dalam riset tersebut.

**Satelit CALIPSO Ungkap Data Mengejutkan**

Para peneliti NASA mempelajari hubungan berdebu antara Amazon dan Sahara ini untuk memahami bagaimana proses tersebut berfungsi dan bagaimana perubahan iklim dapat memengaruhinya.

Untuk pertama kalinya, Satelit CALIPSO (Cloud-Aerosol Lidar and Infrared Pathfinder Satellite Observation) milik NASA berhasil menghitung volume debu yang melakukan perjalanan lintas benua.

Dari 182 juta ton debu yang meninggalkan Sahara setiap tahun, 27,7 juta ton atau 15 persen dari total tersebut jatuh di kawasan Amazon. Jumlah ini setara dengan hampir 700.000 truk trailer.

**Fluktuasi Ekstrem yang Mengejutkan**

Data CALIPSO juga mengungkap tingkat variasi yang sangat tinggi dalam fenomena ini—volume debu yang mencapai Amazon dapat berubah hingga 86 persen antara tahun 2007 dan 2011. Para ilmuwan kini berupaya mengungkap misteri fluktuasi ini.

**Sahel sebagai Kunci Pengatur Volume Debu**

Hongbin Yu, ilmuwan atmosfer di University of Maryland yang bekerja di NASA Goddard Space Flight Center, menemukan kemungkinan adanya korelasi antara volume debu yang terbawa dengan kondisi di Sahel—sabuk tanah semi-kering di perbatasan selatan Sahara.

“Yu dan rekan-rekannya menemukan kemungkinan hubungan antara curah hujan di Sahel dan jumlah debu yang terbawa melintasi Atlantik. Ketika curah hujan di Sahel lebih tinggi, volume debunya lebih rendah,” demikian dijelaskan dalam studi tersebut.

Yu menduga, curah hujan yang meningkat memungkinkan lebih banyak vegetasi tumbuh di Sahel, sehingga lebih sedikit pasir yang terbuka dan tersapu angin.

**Mekanisme Transportasi Atmosfer**

Kemungkinan lain, curah hujan berkaitan dengan pola angin yang membawa debu dari Sahara ke atmosfer atas, yang berfungsi seperti jalan tol menuju Amazon.

Yu menekankan pentingnya studi ini untuk masa depan. “Debu memengaruhi iklim dan, pada saat yang sama, perubahan iklim juga akan memengaruhi debu,” kata Hongbin Yu.

“Sebagai peneliti, kami mengajukan dua pertanyaan dasar: Berapa banyak debu yang terbawa? Dan bagaimana perubahan iklim memengaruhi jumlah debu yang melintasi Atlantik?”

**Implikasi untuk Prediksi Iklim Global**

Berkat pengamatan debu atmosfer dalam bentuk 3D dari CALIPSO, para ilmuwan kini dapat mulai membuat model untuk memprediksi bagaimana debu tersebut akan memengaruhi iklim global.

**Siklus Nutrisi Lintas Benua**

Fenomena ini menunjukkan betapa terhubungnya sistem Bumi. Nutrisi yang tersimpan di dasar danau kuno Afrika dapat menyuburkan hutan hujan di Amerika Selatan, menciptakan siklus nutrisi yang melintasi dua benua.

**Dampak Perubahan Iklim**

Penelitian ini juga mengungkap kerentanan sistem ini terhadap perubahan iklim. Perubahan pola hujan di Sahel dapat secara dramatis mengubah jumlah nutrisi yang sampai ke Amazon, yang pada gilirannya dapat memengaruhi kesehatan hutan hujan terbesar dunia.

**Teknologi Pemantauan Canggih**

Kemampuan CALIPSO untuk memantau debu dalam tiga dimensi memberikan pemahaman baru tentang proses atmosfer global. Teknologi ini memungkinkan para ilmuwan untuk melacak pergerakan debu dari sumbernya di Afrika hingga tujuannya di Amerika Selatan.

**Konservasi Ekosistem Global**

Penemuan ini menekankan pentingnya pendekatan holistik dalam konservasi. Melindungi Hutan Amazon tidak hanya memerlukan upaya di Amerika Selatan, tetapi juga pemahaman tentang proses global yang memengaruhi kesehatannya, termasuk kondisi di Afrika.

**Penelitian Berkelanjutan**

Para ilmuwan terus mempelajari variabilitas tahunan dalam transportasi debu ini. Pemahaman yang lebih baik tentang faktor-faktor yang mengontrol fluktuasi ini akan membantu dalam memprediksi bagaimana perubahan iklim dapat memengaruhi “pupuk alami” untuk Amazon.

Fenomena ini menggambarkan kompleksitas dan keterkaitan sistem iklim Bumi, di mana gurun di satu benua dapat menyuburkan hutan di benua lain melalui mekanisme atmosfer yang rumit dan presisi.


Sumber: Kompas.com


Buku Terkait:

Seri Tempo: 60 Tahun Konferensi Asia-Afrika

Bumi yang Tak Dapat Dihuni