Gratis untuk Korban Banjir Sumatera, 5 Fakta Starlink Sebagai Jaringan Komunikasi Krusial Saat Bencana

Starlink, konstelasi satelit yang dikembangkan SpaceX, dirancang untuk menghadirkan akses internet berbiaya terjangkau ke wilayah terpencil. Namun, proyek ambisius CEO Elon Musk ini kini telah berkembang menjadi megakonstelasi yang mendominasi orbit Bumi, memicu kekhawatiran dari komunitas astronomi hingga ahli keselamatan ruang angkasa.

SpaceX, yang semula mengajukan dokumen untuk 4.000 satelit pada 2015, kini menargetkan sebanyak 42.000 satelit. Hingga 30 Oktober 2025, tercatat 8.811 satelit Starlink di orbit, dengan 8.795 di antaranya beroperasi aktif.

CEO SpaceX, Elon Musk juga mengumumkan pemberian layanan internet gratis untuk korban banjir Sumatera hingga akhir Desember 2025.

**Mekanisme Kerja Starlink**

Starlink beroperasi di orbit Bumi rendah (sekitar 550 km di atas permukaan), jauh lebih dekat ketimbang satelit komunikasi konvensional (35.786 km). Karena beroperasi lebih dekat, sinyal internet dapat bergerak 47 persen lebih cepat daripada melalui kabel serat optik.

Pengguna di permukaan mengakses sinyal broadband menggunakan perangkat yang dijual SpaceX, berupa antena parabola kecil dan router. Versi terkini satelit, Starlink V2 mini, memiliki peningkatan signifikan:

– Bobot saat diluncurkan sekitar 800 kg (hampir tiga kali lipat dari generasi awal)
– Menggunakan argon Hall thruster untuk daya dorong yang lebih besar
– Antena susunan bertahap dan kemampuan backhaul pita E yang hampir melipatgandakan kapasitas data Starlink

**Ancaman Tabrakan dan Sindrom Kessler**

Skala masif Starlink menjadikannya sumber utama bahaya tabrakan di orbit Bumi rendah. Pada September 2019, Badan Antariksa Eropa (ESA) harus mengarahkan satelit Aeolus untuk melakukan manuver menghindar setelah probabilitas tabrakan dengan satelit Starlink mencapai 1:1.000.

“Satelit Starlink merupakan satu-satunya sumber utama risiko tabrakan di orbit Bumi rendah,” ujar pakar puing antariksa, Hugh Lewis dari Universitas Southampton, pada Agustus 2021 kepada Space.com.

Model komputernya menunjukkan bahwa satelit Starlink terlibat dalam sekitar 1.600 pertemuan jarak dekat (kurang dari 1 km) setiap minggunya. Insiden kecil ini meningkatkan kekhawatiran tentang Sindrom Kessler, yaitu tabrakan berantai puing-puing yang dapat melumpuhkan orbit Bumi.

**Dampak Kontroversial pada Astronomi**

Satelit Starlink mengorbit di ketinggian 550 km dan tampak seperti untaian mutiara atau “deretan” cahaya terang yang bergerak melintasi langit malam. Fenomena ini, meskipun spektakuler bagi sebagian orang, secara signifikan menghambat pengamatan astronomi optik dan radio.

“Ini pemandangan yang sangat menakjubkan, dan saya berteriak ‘Owowowow!’ ketika ‘deretan’ objek terang itu muncul. Objek-objek itu lebih terang dari yang saya perkirakan,” kata Marco Langbroek, seorang pelacak satelit di Belanda, pada 2019.

Persatuan Astronomi Internasional (IAU) dan American Astronomical Society (AAS) menyamakan dampak megakonstelasi terhadap astronomi dengan polusi cahaya, yang dapat membuat langit menjadi dua hingga tiga kali lebih terang.

**Risiko Kimia dari Deorbitasi Satelit**

SpaceX berencana mengganti konstelasi setiap lima tahun. Satelit lama diarahkan ke atmosfer untuk terbakar habis—prosedur yang baik untuk pencegahan puing. Namun, hal ini menimbulkan risiko kimia baru.

Aaron Boley, peneliti Kanada, mencatat bahwa satelit Starlink sebagian besar terbuat dari aluminium. Ketika terbakar, ia menghasilkan aluminium oksida (alumina).

“Alumina memantul cahaya pada panjang gelombang tertentu dan jika Anda membuang cukup banyak alumina ke atmosfer, Anda akan menciptakan hamburan dan akhirnya mengubah albedo planet,” kata Boley kepada Space.com.

Partikel-partikel ini di lapisan atmosfer tinggi kemungkinan akan bertahan selamanya dan dapat menyebabkan perubahan iklim dalam skala yang mirip dengan yang disebabkan oleh bahan bakar fosil.

**Manfaat Vital dalam Situasi Darurat**

Terlepas dari kontroversinya, Starlink telah membuktikan manfaat vitalnya dalam situasi darurat dan bencana. “Tanpa batasan infrastruktur darat tradisional, Starlink dapat dikerahkan dalam hitungan menit untuk mendukung petugas tanggap darurat dalam skenario bencana,” demikian pernyataan di situs web resmi Starlink.

Layanan internet Starlink menjadi bagian penting dari infrastruktur komunikasi Ukraina selama invasi Rusia. Setidaknya 50 terminal Starlink dikirim ke negara kepulauan Tonga untuk memberikan akses internet setelah letusan gunung berapi dan tsunami besar pada Januari 2022.

**Bantuan untuk Indonesia**

Starlink juga memberikan layanan gratis untuk korban banjir Sumatera akhir tahun ini. CEO SpaceX, Elon Musk dalam pengumuman resminya di X menyebut layanan gratis tersebut berlaku untuk pelanggan baru maupun lama hingga akhir Desember 2025.

Selain membantu Indonesia, kebijakan ini juga berlaku untuk Sri Lanka yang turut mengalami dampak Badai Siklon Ditwah. Starlink menegaskan bahwa pelanggan aktif tidak perlu melakukan tindakan apa pun, karena kredit layanan gratis otomatis diterapkan pada akun masing-masing.

**Dilema Kemajuan Teknologi**

Starlink mewakili dilema klasik kemajuan teknologi: memberikan manfaat nyata sambil menciptakan masalah baru. Kemampuannya menyediakan internet global telah membantu jutaan orang di daerah terpencil dan menjadi penyelamat dalam situasi darurat.

Namun, dominasinya di orbit Bumi rendah menimbulkan tantangan serius untuk masa depan eksplorasi ruang angkasa dan penelitian astronomi. Perlunya keseimbangan antara inovasi dan pelestarian lingkungan ruang angkasa menjadi isu penting yang harus diselesaikan komunitas internasional.

**Regulasi dan Masa Depan**

Para ahli menekankan perlunya regulasi internasional yang lebih ketat untuk mengatur mega konstelasi satelit. Tanpa koordinasi global yang efektif, orbit Bumi dapat menjadi tidak berkelanjutan untuk generasi mendatang, mengancam tidak hanya penelitian ilmiah tetapi juga infrastruktur teknologi yang semakin bergantung pada satelit.


Sumber: Kompas.com


Buku Terkait:

Ensiklopedia Saintis Junior: Bumi

Bumi yang Tak Dapat Dihuni

Si Pamutung: Sebuah Pemukiman Kuno di Pedalaman Sumatera Utara