50 Orangutan Tapanuli Diperkirakan Mati Diterjang Banjir Sumatera, Ancam Punahnya Spesies

Bencana banjir yang menghantam Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat akhir November lalu tidak hanya merenggut nyawa manusia, tetapi juga menimbulkan apa yang disebut para ilmuwan sebagai “gangguan tingkat kepunahan” bagi kera besar paling langka di dunia, Orangutan Tapanuli (Pongo tapanuliensis).

Di tengah reruntuhan lumpur di Sumatera Utara, tengkorak orangutan Tapanuli yang diselimuti lumpur menjadi bukti nyata dampak bencana tersebut. Bencana ini mengakibatkan kerusakan katastropik pada habitat dan prospek kelangsungan hidup spesies tersebut.

**Populasi Menyusut 11 Persen dalam Hitungan Hari**

Menurut laporan The Guardian, sebelum banjir Sumatera terjadi, populasi orangutan Tapanuli hanya tersisa kurang dari 800 individu di alam liar, dan seluruhnya mendiami kawasan hutan Batang Toru. Dalam bencana ini, diperkirakan sekitar 33-54 individu orangutan Tapanuli tewas.

Erik Meijaard, seorang antropolog biologi dan salah satu ahli pertama yang mendeskripsikan spesies tersebut, menyebut temuan ini sebagai guncangan demografi kritis.

“Ini adalah bencana total. Jalur menuju kepunahan kini jauh lebih curam,” kata Erik Meijaard.

Dalam temuan awal Meijaard yang akan segera dipublikasikan, perkiraan penyusutan populasi orangutan Tapanuli akibat bencana ini hampir 11 persen, sekitar 6,2-10,5 persen hanya dalam beberapa hari.

**Ancaman Serius karena Reproduksi Lambat**

Jumlah ini sangat signifikan mengingat laju reproduksi orangutan yang sangat lambat, yakni hanya sekali setiap enam hingga sembilan tahun. Artinya, hilangnya 1 persen populasi orangutan Tapanuli sudah cukup untuk mendorong spesies ini menuju kepunahan.

Panut Hadisiswoyo, Direktur pendiri Orangutan Information Centre di Indonesia, meyakini korban yang ditemukan adalah orangutan Tapanuli.

“Setelah melihat foto-fotonya, saya yakin bahwa tubuh yang membusuk, rambut kemerahan dan ukuran tengkorak itu adalah orangutan Tapanuli,” ujar Panut Hadisiswoyo.

**Kerusakan Habitat Masif Terdeteksi Satelit**

Analisis citra satelit yang dilakukan Meijaard dan rekannya menunjukkan bahwa hampir 4.000 hektar hutan lenyap akibat tanah longsor dan banjir. Kerusakan ini mencakup celah besar di bentang alam pegunungan yang membentang lebih dari satu kilometer dengan lebar hampir 100 meter.

David Gaveau, ahli penginderaan jauh dan pendiri The Tree Map, bahkan terkejut dengan temuan tersebut.

“Saya belum pernah melihat yang seperti ini sebelumnya selama 20 tahun memantau deforestasi di Indonesia dengan satelit,” katanya.

**Faktor Deforestasi Memperparah Dampak**

Bencana ini membuat orangutan Tapanuli yang tersisa semakin rentan, karena sumber makanan dan tempat berlindung mereka kini telah hanyut. Selain curah hujan ekstrem yang diperburuk oleh perubahan iklim, deforestasi dan degradasi lahan juga berperan penting dalam memperparah dampak bencana.

Aktivis lingkungan telah berjuang bertahun-tahun untuk melindungi kera langka ini dari ancaman pertambangan, perkebunan kelapa sawit, dan proyek pembangkit listrik tenaga air skala besar.

**Respons Pemerintah dan Desakan Perlindungan**

Sebagai respons, Kementerian Lingkungan Hidup Indonesia telah menghentikan semua aktivitas sektor swasta di area Batang Toru untuk jangka waktu yang belum ditentukan.

Para ahli mendesak agar semua pengembangan yang merusak habitat yang tersisa dihentikan segera.

“Habitat yang rapuh dan sensitif di Blok Barat ini harus dilindungi sepenuhnya dengan menghentikan semua pembangunan yang merusak habitat,” kata Panut Hadisiswoyo.

**Spesies Paling Terancam di Dunia**

Orangutan Tapanuli ditemukan dan dideskripsikan secara ilmiah baru pada 2017, menjadikannya spesies kera besar kedelapan yang dikenal manusia. Namun, populasinya yang sangat terbatas menjadikan spesies ini sebagai kera besar paling terancam punah di dunia.

**Dampak Jangka Panjang**

Kerusakan habitat yang masif ini tidak hanya mengancam individu orangutan yang selamat, tetapi juga mengganggu ekosistem hutan hujan tropis yang lebih luas. Hilangnya tutupan hutan mengurangi kemampuan tanah menahan air hujan, meningkatkan risiko banjir dan tanah longsor di masa mendatang.

**Urgensi Konservasi**

Para peneliti menekankan bahwa setiap individu orangutan Tapanuli yang tersisa memiliki nilai konservasi yang sangat tinggi. Kehilangan beberapa puluh individu saja dapat berdampak signifikan pada keragaman genetik dan kemampuan adaptasi spesies ini.

**Tantangan Pemulihan**

Upaya pemulihan habitat orangutan Tapanuli akan membutuhkan waktu puluhan tahun, sementara spesies ini memiliki waktu yang sangat terbatas. Regenerasi hutan hujan tropis yang rusak parah memerlukan proses yang panjang dan kompleks.

**Pelajaran untuk Konservasi Global**

Tragedi yang menimpa orangutan Tapanuli menjadi peringatan penting tentang kerentanan spesies langka terhadap bencana alam yang diperparah oleh aktivitas manusia. Hal ini menunjukkan pentingnya pendekatan konservasi yang holistik, yang tidak hanya melindungi spesies tetapi juga menjaga integritas ekosistem secara keseluruhan.

**Kegentingan Aksi Konservasi**

Dengan populasi yang kini semakin terdesak, orangutan Tapanuli memerlukan tindakan konservasi yang lebih intensif dan komprehensif. Setiap hari yang berlalu tanpa aksi nyata dapat membawa spesies ini lebih dekat ke ambang kepunahan, menjadikan bencana banjir Sumatera sebagai titik balik kritis dalam sejarah konservasi primata Indonesia.


Sumber: Kompas.com


Buku Terkait:

Genom: Kisah Spesies Manusia dalam 23 Bab

Julius Surya Djohan: Office Boy Kuliah di New York

Taman Nasional Indonesia: Permata Warisan Bangsa