Astronom Mesir Kuno mengenal Mars sebagai “Her Desher” atau “Si Merah”. Namun, miliaran tahun silam, planet ini kemungkinan besar menyerupai “Dunia Biru” seperti Bumi—lengkap dengan aliran air dan atmosfer yang kental.
Lantas, bagaimana Mars berubah menjadi gurun merah yang dingin dan tandus? Data mutakhir dari wahana antariksa MAVEN NASA yang mengorbit Mars memberikan jawaban: penyebab utamanya adalah proses “pelarian” atmosfer ke luar angkasa secara masif yang berlangsung selama miliaran tahun.
**Bukti Jejak Air Purba**
Riset yang dipimpin Shannon Curry, fisikawan planet dari University of Colorado Boulder sekaligus peneliti utama misi MAVEN, didukung berbagai bukti geologis yang ditemukan robot penjelajah Curiosity dan Perseverance.
Di kawah Gale, Curiosity menemukan batuan lumpur yang mencatat keberadaan danau kuno dengan pH netral dan kadar garam rendah—kondisi ideal bagi kehidupan mikroba. Sementara itu, Perseverance tengah mengeksplorasi delta sungai purba di kawah Jezero, tempat sempurna untuk menangkap molekul organik dan jejak kehidupan mikroba masa lampau.
“Hasil ini menetapkan peran sputtering (percikan atmosfer) dalam hilangnya atmosfer Mars dan dalam menentukan sejarah air di Mars,” ungkap Shannon Curry.
**Hilangnya Perisai Magnetik**
Miliaran tahun lalu, Mars kemungkinan memiliki magnetosfer global—perisai magnetik yang membelokkan partikel bermuatan dari Matahari. Namun, sekitar 4 miliar tahun lalu, perlindungan ini melemah.
Tanpa perisai magnetik, atmosfer atas Mars terpapar langsung oleh ganasnya angin surya. Proses pelarian ini berlangsung melalui dua mekanisme utama:
**Dua Cara Kehilangan Atmosfer**
Pertama, atmospheric sputtering (percikan atmosfer): partikel berenergi tinggi dari angin surya menabrak atom-atom di atmosfer atas dan “menendangnya” keluar ke angkasa.
Kedua, pemecahan molekul air: pengamatan MAVEN menunjukkan bahwa molekul air yang terbawa ke atmosfer atas pecah dan melepaskan hidrogen yang kemudian melarikan diri ke luar angkasa, terutama saat badai debu hebat terjadi.
**Transformasi Dramatis**
Hilangnya atmosfer menurunkan tekanan permukaan secara drastis, sehingga air cair tidak lagi stabil dan akhirnya menguap atau membeku.
Kini, atmosfer Mars sangat tipis dan didominasi karbon dioksida. Suhu permukaannya sangat ekstrem, mulai dari 21 derajat Celsius pada hari terpanas hingga minus 142 derajat Celsius di kutub.
**Radiasi Berbahaya Menembus Permukaan**
Tanpa atmosfer tebal, radiasi berbahaya dari luar angkasa kini mudah menembus permukaan Mars. Kondisi ini membuat planet tersebut tidak layak huni bagi kehidupan seperti yang kita kenal.
**Pelajaran untuk Penelitian Exoplanet**
Memahami transformasi Mars dari dunia biru subur menjadi gurun merah bukan sekadar urusan sejarah planet tetangga. Penemuan ini membantu para peneliti menilai apakah exoplanet mampu mempertahankan atmosfer dan air cair mereka.
**Peringatan tentang Kerapuhan Iklim**
Mars menjadi peringatan nyata bahwa iklim sebuah planet sangat rapuh jika keseimbangan antara perlindungan magnetik, aktivitas matahari, dan panas internal mulai hilang.
**Implikasi untuk Misi Masa Depan**
Temuan ini juga berdampak pada perencanaan misi berawak ke Mars. Astronot harus menghadapi tantangan radiasi yang lebih besar dibanding yang dialami di Stasiun Luar Angkasa Internasional.
**Teknologi MAVEN**
Wahana MAVEN (Mars Atmosphere and Volatile Evolution) diluncurkan pada 2013 dan telah mengumpulkan data atmosfer Mars selama lebih dari satu dekade, memberikan wawasan tak ternilai tentang evolusi planet merah.
**Perbandingan dengan Bumi**
Berbeda dengan Mars, Bumi memiliki magnetosfer yang kuat berkat inti planet yang aktif. Medan magnet Bumi terus melindungi atmosfer dari angin surya, memungkinkan kehidupan berkembang selama miliaran tahun.
**Penelitian Berkelanjutan**
Tim MAVEN terus menganalisis data untuk memahami lebih detail bagaimana tingkat kehilangan atmosfer berubah seiring waktu dan kondisi aktivitas Matahari yang berbeda-beda.
Sumber: Kompas.com
Buku Terkait:
Seri Klasik Semasa Kecil: Prim & Prim-3, Petualangan di Luar Angkasa