Gelar Pahlawan untuk Soeharto: Jasa Ekonomi vs Luka Reformasi

JAKARTA – Wacana pengangkatan Soeharto menjadi pahlawan nasional kembali menimbulkan perdebatan sengit di tengah masyarakat Indonesia. Meskipun Kementerian Sosial telah secara resmi mengajukan nama mantan Presiden kedua RI tersebut, opini publik masih terpecah antara kelompok yang mengapresiasi kontribusinya dan pihak yang menolak karena catatan pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu.

Sebagian kalangan berpandangan Soeharto pantas mendapat pengakuan negara atas jasanya dalam membangun stabilitas ekonomi nasional dan mencapai swasembada pangan. Namun, tidak sedikit pihak yang menganggap usulan tersebut sebagai pengingkaran terhadap semangat reformasi 1998 dan mengabaikan rekam jejak pelanggaran HAM selama era Orde Baru.

**Perdebatan yang Berkelanjutan**

Kontroversi ini bukan fenomena baru dalam diskursus kebangsaan Indonesia. Sejak 2010, nama Soeharto konsisten muncul dalam daftar calon pahlawan nasional, dan setiap kemunculannya selalu memicu perdebatan publik yang intens.

**Mekanisme Pengusulan dan Proses Seleksi**

Kementerian Sosial telah mengajukan 40 nama calon pahlawan nasional kepada Ketua Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan (GTK) Fadli Zon. Pada Kamis (23/10/2025), Menteri Sosial Saifullah Yusuf (Gus Ipul) menegaskan bahwa setiap nama telah melalui tahapan seleksi yang ketat.

“Semua usulan telah dikaji secara mendalam oleh tim khusus melalui serangkaian sidang yang dilakukan berulang kali,” ungkap Gus Ipul di Jakarta seperti dikutip pada Jumat (24/10/2025).

Selain Soeharto, daftar usulan tahun 2025 juga memuat nama Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan aktivis buruh Marsinah. Menurut Fadli Zon, keputusan final berada di tangan Presiden Prabowo Subianto. “Kami akan membahas dan menyampaikan rekomendasi kepada Presiden sesuai kesepakatan Dewan Gelar,” katanya pada Sabtu (25/10/2025).

**Dukungan Partai Golkar**

Partai Golkar tampil sebagai pendukung paling konsisten dalam pengusulan Soeharto sebagai pahlawan nasional. Sekretaris Jenderal Golkar Sarmuji berpendapat bahwa kontribusi Soeharto di bidang ekonomi dan ketahanan pangan tidak dapat dihapuskan oleh perbedaan perspektif.

“Polemik mengenai pemberian gelar pahlawan kepada Pak Harto adalah hal yang wajar. Setiap tokoh besar pasti memiliki aspek yang menuai pro dan kontra. Namun, perbedaan pandangan tersebut tidak dapat meniadakan fakta bahwa Pak Harto memiliki kontribusi besar bagi bangsa ini,” jelas Sarmuji pada Selasa (21/10/2025).

Ia menambahkan bahwa generasi muda saat ini mungkin sulit memahami krisis pangan yang pernah melanda Indonesia. “Berdasarkan cerita generasi sebelumnya dan catatan sejarah, kondisi pada masa itu sangat sulit, banyak rakyat yang mengalami kesulitan memperoleh pangan,” papar Sarmuji.

“Situasi berubah secara dramatis. Indonesia tidak hanya berhasil keluar dari krisis pangan, tetapi juga pernah mencapai swasembada yang membanggakan,” lanjutnya.

**Penolakan dari Kalangan Aktivis dan Politisi**

Penentangan terhadap usulan ini datang dari aktivis HAM dan politisi PDI-P yang menilai Soeharto tidak layak menjadi simbol kepahlawanan. Politikus PDI-P Guntur Romli menyatakan bahwa pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto dapat membalikkan makna perjuangan reformasi.

“Jika Soeharto diangkat menjadi pahlawan, maka secara otomatis mahasiswa ’98 yang menggerakkan reformasi dan menggulingkan Soeharto akan dianggap sebagai penjahat dan pengkhianat. Hal ini tidak dapat dibenarkan,” tegas Guntur pada Kamis (23/10/2025).

Menurutnya, usulan ini mengabaikan tanggung jawab moral atas pelanggaran HAM berat yang telah diakui negara. “Jika Soeharto diangkat menjadi pahlawan, maka peristiwa-peristiwa tersebut bukan lagi pelanggaran HAM, tetapi dapat dianggap sebagai kebenaran oleh rezim Orde Baru pada masa itu,” ungkapnya.

**Catatan Pelanggaran HAM yang Membayangi**

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menegaskan bahwa Soeharto tidak memenuhi persyaratan moral sebagai pahlawan nasional. “Terdapat 5-6 kasus pelanggaran HAM berat yang melibatkan kekuatan militer pada periode tersebut,” kata Wakil Koordinator Kontras Andrie Yunus.

Beberapa peristiwa yang menjadi sorotan antara lain:
– Penembakan Misterius (Petrus) 1981-1985
– Tragedi Tanjung Priok 1984
– Tragedi Talangsari 1989
– Tragedi Kudatuli 1996
– Kerusuhan Mei 1998

Bagi korban dan aktivis, luka sejarah tersebut belum sepenuhnya mendapat penyelesaian dari negara.

**Dilema Rekonsiliasi Sejarah**

Kontroversi seputar usulan Soeharto sebagai pahlawan nasional mencerminkan dilema berkelanjutan antara penghargaan atas jasa dan tuntutan keadilan sejarah. Bagi sebagian pihak, Soeharto merupakan tokoh yang membawa stabilitas nasional, sementara bagi pihak lain, ia menjadi simbol kekuasaan yang represif.

Selama memori kolektif tentang masa Orde Baru masih tertanam dalam ingatan publik, setiap pengusulan nama Soeharto akan terus memecah belah opini masyarakat. Dua puluh lima tahun setelah reformasi, Indonesia masih dalam proses mencari jalan untuk berdamai dengan masa lalunya.

**Tantangan Rekonsiliasi Nasional**

Perdebatan ini menunjukkan kompleksitas proses rekonsiliasi nasional di Indonesia. Di satu sisi, ada upaya untuk mengakui kontribusi positif tokoh-tokoh sejarah, namun di sisi lain terdapat kebutuhan untuk tidak mengabaikan catatan pelanggaran yang pernah terjadi.

Keputusan final yang akan diambil Presiden Prabowo Subianto tidak hanya akan menentukan status Soeharto, tetapi juga akan menjadi indikator arah kebijakan pemerintah dalam menangani isu-isu historis yang sensitif.


Sumber: Kompas.com


Buku Terkait:

Globalisasi, Ekonomi Konstitusi, dan Nobel Ekonomi