CAMBRIDGE – Lebih dari satu dekade setelah genom Neanderthal berhasil dipetakan, dunia ilmiah menghadapi pertanyaan kontroversial: apakah teknologi masa depan dapat menghidupkan kembali manusia purba yang punah 30.000 tahun lalu ini?
**DNA Neanderthal dalam Manusia Modern**
Penelitian tahun 2010 mengungkapkan bahwa Neanderthal pernah melakukan perkawinan silang dengan nenek moyang manusia modern. Akibatnya, sebagian manusia saat ini membawa hingga 4% DNA Neanderthal dalam tubuh mereka.
Profesor genetika Harvard, George Church, pernah menyatakan dalam wawancara bahwa secara teoritis hal tersebut dapat direalisasikan. Menurutnya, dengan memotong dan menyusun ulang DNA Neanderthal ke dalam sel punca manusia, “kita dapat menciptakan klon Neanderthal.”
**Kemajuan Teknologi De-extinction**
Perusahaan yang didirikan Church, Colossal Biosciences, telah mencatat kemajuan signifikan dalam bidang de-extinction atau upaya menghidupkan kembali spesies punah. Pada 2025, mereka berhasil mengkloning serigala purba, menciptakan “tikus berbulu wol”, dan merencanakan kebangkitan burung dodo serta mamut berbulu.
Namun, menghidupkan Neanderthal jauh lebih kompleks dibanding mengkloning hewan punah. “Itu salah satu hal paling tidak etis yang bisa dibayangkan untuk dicoba,” tegas Jennifer Raff, ahli antropologi biologi University of Kansas.
**Kompleksitas Genetik**
Secara teknis, proses ini menghadapi berbagai kendala. “Kita tidak bisa begitu saja menaruh genom Neanderthal ke dalam sel telur manusia,” jelas Raff. Hambatan utama berupa ketidakcocokan sistem imun yang berpotensi menyebabkan janin ditolak rahim manusia.
Meski kedua spesies pernah kawin silang, kini DNA Neanderthal hanya tersisa sebagian kecil. Y-kromosom manusia modern tidak mengandung DNA Neanderthal, menandakan ketidaksesuaian biologis mendasar. Penelitian juga menunjukkan tingginya kemungkinan keguguran pada hibrida Neanderthal-manusia di masa lalu.
**Potensi Teknologi CRISPR**
Teknologi CRISPR memungkinkan penyuntingan gen dengan presisi tinggi. Dengan alat ini, ilmuwan bisa membuat sel manusia “lebih mirip” Neanderthal, meski belum sepenuhnya identik.
Hank Greely, direktur Center for Law and the Biosciences Stanford University, mengatakan, “Untuk benar-benar mengkloning Neanderthal, kita butuh sel hidup mereka, yang tentu tidak ada.” Namun, dengan perkembangan teknologi seperti base editing yang memungkinkan penggantian satu huruf DNA secara tepat, kemungkinan ini dapat terwujud dalam 20 tahun ke depan.
“Saya pikir dalam dua dekade mendatang, secara teknis mungkin untuk melahirkan bayi dengan genom Neanderthal sepenuhnya. Tapi saya tidak percaya kita akan melakukannya karena alasan etika dan hukum,” ujar Greely.
**Dilema Etika yang Mendalam**
Para ilmuwan menilai aspek etis lebih penting daripada kemampuan teknologi. “Menciptakan manusia lain tanpa persetujuan mereka adalah tindakan yang secara moral tidak bisa diterima,” kata Raff.
Greely menekankan isu keselamatan sebagai prioritas utama. “Kita belum punya pengalaman mengedit embrio manusia dengan aman. Tidak ada bukti bahwa mengubahnya menjadi embrio Neanderthal akan aman.”
**Tantangan Kehidupan di Dunia Modern**
Bahkan jika proses kloning berhasil, kehidupan Neanderthal di dunia kontemporer akan penuh kesulitan. “Ia akan menjadi satu-satunya Neanderthal di bumi, tanpa keluarga, tanpa budaya, tanpa teman sebaya,” kata Raff.
Kemungkinan terburuk adalah mereka diperlakukan seperti objek penelitian atau atraksi. “Neanderthal adalah manusia—hanya jenis manusia yang berbeda,” tambahnya.
**Keterbatasan Nilai Ilmiah**
Rebecca Wragg Sykes, arkeolog dan penulis “Kindred: Neanderthal Life, Love, Death and Art,” mempertanyakan nilai ilmiah menghidupkan Neanderthal. “Neanderthal yang hidup sekarang tidak akan sama seperti yang hidup 30.000 tahun lalu.”
Kondisi lingkungan, budaya, dan cara hidup tidak dapat direplikasi. “Mengkloning Neanderthal tidak akan menjawab pertanyaan tentang bagaimana mereka hidup, berbicara, atau berpikir. Itu seperti membangun ulang alat musik kuno tanpa tahu lagu apa yang dulu dimainkan,” jelasnya.
**Celah Regulasi Hukum**
Secara hukum, menciptakan Neanderthal tidak secara eksplisit dilarang di semua negara. Greely menyebut, “Secara teori, jika seseorang kaya mendirikan laboratorium di negara tanpa regulasi ketat, hal itu bisa saja dilakukan.”
Bioetikus New York University Arthur Caplan memperingatkan bahwa kebangkitan manusia purba oleh pihak swasta dapat terjadi jika tidak segera diatur.
Beth Shapiro dari Colossal Biosciences menegaskan: “Neanderthal adalah manusia. Dan jika kita bekerja dengan manusia, kita membutuhkan persetujuan mereka. Bagaimana mungkin meminta persetujuan dari makhluk yang sudah punah?”
**Alternatif Penelitian yang Lebih Berharga**
Alih-alih fokus pada kloning, banyak ilmuwan percaya menemukan tubuh Neanderthal yang terawetkan secara alami akan jauh lebih bermanfaat. Kasus Ötzi the Iceman dan Tollund Man menunjukkan besarnya informasi yang dapat digali dari jasad purba, mulai dari pakaian hingga budaya.
“Jika kita menemukan tubuh Neanderthal yang beku di permafrost, itu akan jauh lebih berharga daripada menciptakan klonnya. Dari sana, kita bisa belajar banyak hal nyata tentang kehidupan mereka,” kata Wragg Sykes.
**Implikasi untuk Masa Depan**
Perdebatan menghidupkan Neanderthal mencerminkan tantangan etika yang dihadapi sains modern. Kemampuan teknologi yang terus berkembang harus diimbangi pertimbangan moral dan kemanusiaan yang mendalam.
Diskusi ini juga menyoroti perlunya regulasi internasional yang komprehensif untuk mencegah eksperimen yang berpotensi merugikan. Masa depan penelitian genetika memerlukan keseimbangan antara inovasi ilmiah dan tanggung jawab etis terhadap kemanusiaan.
Sumber: Kompas.com
Buku Terkait: