JAKARTA – Sejarah lahirnya lagu kebangsaan Indonesia Raya tidak lepas dari kontribusi etnis Tionghoa dalam proses dokumentasi dan publikasinya. Lagu ciptaan WR Supratman yang pertama kali dikumandangkan pada penutupan Kongres Pemuda 28 Oktober 1928 ini menemui berbagai kendala sebelum akhirnya bisa direkam dan dipublikasikan.
**Satu-satunya Surat Kabar yang Berani**
Menurut Hendra Kurniawan, dosen Pendidikan Sejarah Universitas Sanata Dharma, WR Supratman yang juga berprofesi sebagai wartawan memiliki keinginan untuk menerbitkan lirik lagu kebangsaannya yang pada awalnya berjudul “Indonesia Merdeka”. Namun, di tengah kondisi politik yang represif, hanya satu media masa yang berani memuat karya tersebut.
“Satu-satunya surat kabar yang mau menerbitkan lagu Indonesia Raya hanya Sin Po. Waktu itu judulnya Indonesia Merdeka,” ungkap Hendra.
Keberanian surat kabar milik etnis Tionghoa ini menjadi terobosan penting dalam menyebarkan semangat nasionalisme melalui karya seni. Sin Po bahkan mencetak 5.000 eksemplar teks lagu tersebut dan memberikannya kepada WR Supratman.
**Penolakan Studio Rekaman**
Setelah berhasil mempublikasikan lirik, WR Supratman berupaya merekam lagunya pada 1927, setahun sebelum Sumpah Pemuda dikumandangkan. Namun, upaya ini menghadapi hambatan karena dari tiga studio yang didatangi, dua studio menolak permintaannya.
“Penolakan itu terjadi karena saat itu memang masyarakat takut dengan situasinya,” jelasnya. Kondisi politik yang menekan membuat banyak pihak enggan terlibat dalam kegiatan pergerakan nasional.
**Yo Kim Tjan Berani Mengambil Risiko**
Studio rekaman yang akhirnya bersedia memproduksi karya WR Supratman adalah milik Yo Kim Tjan, seorang etnis Tionghoa. Studio ini tidak hanya merekam satu versi, tetapi memproduksi dua varian lagu Indonesia Raya—versi asli dan versi keroncong.
“Dan studio rekaman yang bersedia melakukannya adalah studio milik Tionghoa, Yo Kim Tjan,” kata Hendra.
Keputusan Yo Kim Tjan untuk merekam lagu tersebut menunjukkan keberanian dan komitmen terhadap cita-cita kemerdekaan Indonesia, meskipun berisiko menghadapi sanksi dari pemerintah kolonial.
**Saksi Bisu Kongres Pemuda**
Kontribusi etnis Tionghoa dalam momen bersejarah ini tidak berhenti pada publikasi dan perekaman. Hendra mencatat kehadiran “lima pemuda Tionghoa” sebagai saksi dan pengamat saat pembacaan ikrar Sumpah Pemuda. Mereka berasal dari berbagai organisasi kedaerahan seperti Jong Sumatranen Bond dan Jong Islamieten Bond.
Bahkan lokasi bersejarah tempat deklarasi Sumpah Pemuda, yang kini dikenal sebagai Gedung Kramat 106, merupakan rumah kos milik Sie Kong Lian, seorang etnis Tionghoa. Rumah ini menjadi tempat berkumpul para pemuda pergerakan termasuk Muhammad Yamin, Amir Sjarifoedin, dan Assaat.
**Wujud Nyata Multikulturalisme**
Keterlibatan aktif etnis Tionghoa dalam momentum bersejarah kelahiran Sumpah Pemuda dan lagu kebangsaan menggambarkan wajah multikulturalisme Indonesia. Dari penyediaan tempat hingga dokumentasi dan publikasi, berbagai elemen masyarakat berkontribusi dalam proses pembentukan identitas nasional.
**Fondasi Keberagaman dalam Nasionalisme**
Hendra menekankan pentingnya memahami sejarah ini bagi generasi saat ini. Jejak-jejak kontribusi lintas etnis dalam pergerakan kemerdekaan menjadi pengingat bahwa nasionalisme Indonesia dibangun di atas fondasi keberagaman.
“Saya pikir ini poin penting yang harus disadari oleh generasi sekarang. Nasionalisme memang satu, tapi awalnya berangkat dari keberagaman,” tegasnya.
**Pembelajaran Sejarah yang Inklusif**
Kisah ini memberikan perspektif baru tentang sejarah kemerdekaan Indonesia yang melibatkan seluruh komponen bangsa. Kontribusi Sin Po, Yo Kim Tjan, dan Sie Kong Lian menunjukkan bahwa perjuangan kemerdekaan tidak mengenal batas etnis atau agama.
**Warisan untuk Masa Kini**
Dokumentasi peran etnis Tionghoa dalam kelahiran Indonesia Raya dan Sumpah Pemuda menjadi pelajaran berharga tentang toleransi dan persatuan. Hal ini sekaligus mengingatkan bahwa semangat Bhinneka Tunggal Ika sudah tertanam sejak awal pergerakan nasional.
Keberanian media dan pelaku usaha untuk mendukung cita-cita kemerdekaan meski berisiko sanksi menunjukkan komitmen bersama membangun Indonesia yang merdeka dan bersatu.
**Relevansi dengan Kehidupan Berbangsa**
Sejarah ini menjadi cerminan bahwa identitas kebangsaan Indonesia dibentuk oleh kontribusi kolektif seluruh elemen masyarakat. Semangat persatuan dalam keberagaman yang terwujud pada era pergerakan nasional perlu terus dijaga dan dilestarikan hingga kini.
Sumber: Kompas.com
Buku Terkait: