Rahasia Kodok yang Bisa Berubah Jadi Kuning Neon dalam Dua Hari

WINA – Fenomena mengejutkan terjadi setiap tahun ketika hujan monsun pertama mengguyur India dan Asia Tenggara. Kodok jantan Asian Common Toad (Duttaphrynus melanostictus) mengalami transformasi warna spektakuler dari cokelat puding menjadi kuning neon cemerlang hanya dalam beberapa menit.

Peneliti dari Schönbrunn Zoo, Austria, berhasil mengungkap rahasia di balik perubahan warna dramatis ini yang ternyata bukan sekadar keajaiban visual, melainkan strategi survival cerdas dalam arena percintaan yang brutal.

**Sinyal Pengenal Antarjantan**

Susanne Stückler, peneliti utama studi ini, menjelaskan bahwa warna kuning yang muncul selama dua hari berfungsi sebagai sinyal visual mencegah kesalahan identifikasi antarjantan saat mencari pasangan. “Ini bukan untuk menarik betina, justru sebaliknya,” tegasnya.

Berbeda dengan spesies lain yang memamerkan warna mencolok untuk menggoda lawan jenis, kodok jantan ini menggunakan warna kuning sebagai “rambu biologis” mencegah sesama jantan salah sasaran di tengah kegilaan musim kawin yang berlangsung singkat.

**Chaos Percintaan Massal**

Dalam kondisi kawin massal yang kacau, para jantan kerap kehilangan orientasi. Mereka bahkan bisa mencoba kawin dengan jantan lain, kodok spesies berbeda, ikan, atau bahkan objek mati. Kondisi ini menciptakan kebutuhan mendesak akan sistem identifikasi yang efektif.

Doris Preininger, ahli herpetologi dari Vienna Zoo yang turut menulis studi, menegaskan fungsi sederhana warna kuning: “Hanya memberitahu bahwa individu itu jantan – tidak lebih, tidak kurang.”

**Eksperimen Model 3D**

Tim ilmuwan merancang eksperimen inovatif menggunakan model kodok 3D berwarna cokelat dan kuning yang ditempatkan di tengah koloni kodok aktif. Hasilnya mencengangkan: para jantan dua kali lebih sering menyentuh model cokelat dan 40 kali lebih sering mencoba mengawini model tersebut dibandingkan model kuning.

Data eksperimental ini membuktikan secara definitif bahwa warna kuning bukanlah simbol daya tarik, melainkan kode visual pengenal yang mencegah konflik dan pemborosan energi reproducktif.

**Mekanisme Hormonal yang Kompleks**

Tidak seperti bunglon atau gurita yang mengubah warna dalam detik, kodok jantan memerlukan sekitar 10 menit untuk bertransformasi. Proses ini dikendalikan hormon stres seperti adrenalin, bukan sistem saraf.

Di bawah kulit terdapat lapisan sel khusus bernama chromatophore yang terdiri dari tiga jenis: pembawa pigmen gelap, pigmen kuning-merah, dan lapisan reflektif mikroskopis. Saat hormon spesifik dilepaskan, susunan pigmen dan cermin mikro bergeser menghasilkan warna kuning terang bertahan hingga dua hari sebelum kembali cokelat.

**Arena Gladiator Amfibi**

Realitas musim kawin kodok lebih menyerupai pertarungan gladiator daripada romansa. Para jantan saling mendorong, menendang, dan berebut betina yang jumlahnya sangat terbatas dalam kompetisi yang sengit.

Stückler menggambarkan fenomena “mating balls” di mana beberapa jantan menempel pada satu betina hingga si betina berisiko tenggelam. Setelah berhasil bertelur, betina segera melarikan diri dan bersembunyi di lubang-lubang menghindari kejaran jantan lain.

**Siklus Singkat Berintensitas Tinggi**

Keseluruhan kegilaan ini berlangsung sangat singkat. “Sehari setelahnya, yang tersisa hanya untaian telur di air,” ungkap para peneliti. Sekitar seminggu kemudian, telur menetas menjadi berudu dan menyebar, menandai berakhirnya siklus reproduksi tahunan yang singkat namun intens.

**Ancaman Perubahan Iklim**

Fenomena ini sangat bergantung pada timing hujan monsun pertama yang kini terganggu perubahan iklim global. K. V. Gururaja, pakar amfibi dari Srishti Manipal Institute of Art, Design and Technology, memperingatkan konsekuensi fatal pergeseran pola hujan.

“Jika kodok bertelur saat hujan singkat diikuti hari-hari panas panjang, semua telur akan mengering. Populasi bisa turun drastis di tahun-tahun berikutnya,” jelasnya.

**Ketergantungan Cuaca Ekstrem**

Dengan jendela waktu kawin yang sangat sempit dan ketergantungan tinggi pada kondisi cuaca, kemampuan adaptasi kodok terhadap perubahan iklim menjadi faktor krusial kelangsungan hidup spesies ini.

**Implikasi Evolusioner yang Luas**

Penelitian ini membuka perspektif baru dalam biologi evolusi. Rayna Bell, kurator herpetologi di California Academy of Sciences, menekankan potensi aplikasi temuan ini: “Bisa mengubah cara kita menafsirkan sinyal warna di berbagai kelompok hewan, bahkan pada burung atau kupu-kupu.”

**Revolusi Pemahaman Komunikasi Warna**

Studi yang dipublikasikan dalam jurnal Ichthyology & Herpetology ini menegaskan bahwa warna dalam dunia hewan bukan sekadar alat menarik perhatian, tetapi sistem komunikasi kompleks – terkadang untuk menghindari, bukan mendekati.

**Strategi Komunikasi Anti-Kompetisi**

Temuan ini menantang asumsi konvensional bahwa perubahan warna selalu berkaitan dengan display mating atau kamuflase. Sebaliknya, sistem komunikasi visual ini dirancang untuk mengurangi kompetisi yang tidak produktif dan mengoptimalkan efisiensi reproduksi.

**Aplikasi Teknologi Bio-Inspirasi**

Mekanisme perubahan warna berbasis hormon pada kodok dapat menginspirasi pengembangan material smart yang responsif terhadap stimuli kimia untuk aplikasi sensor biologis atau sistem peringatan adaptif.

**Konservasi Spesies Rentan**

Pemahaman mendalam tentang siklus reproduksi kodok ini krusial untuk strategi konservasi, terutama menghadapi tekanan perubahan iklim yang mengancam pola breeding tradisional spesies amfibi.

Penelitian ini mendemonstrasikan kompleksitas sistem komunikasi alam yang sering terabaikan, membuka jalan bagi studi-studi lanjutan tentang adaptasi behavioral dan fisiologis dalam menghadapi tantangan lingkungan yang berubah cepat.


Sumber: Kompas.com


Buku Terkait:

Genom: Kisah Spesies Manusia dalam 23 Bab

Sapiens: Riwayat Singkat Umat Manusia

Warna Asli Nusantara