JAKARTA – Tim arkeolog internasional berhasil mengungkap pola konsumsi komunitas Neolitik di Pasifik Selatan melalui inovasi teknologi analisis protein. Penelitian di situs berusia 1.800 tahun di Pulau Fais, Mikronesia, menunjukkan bahwa masyarakat purba telah menguasai teknik berburu predator laut besar, termasuk berbagai spesies hiu dan tuna.
Temuan ini memberikan wawasan baru tentang kecanggihan strategi maritim peradaban kuno di kawasan Pasifik.
**Tantangan Identifikasi Fosil Tulang Rawan**
Pulau karang Fais menjadi lokus penelitian yang menghasilkan bukti konsumsi ikan pelagik oleh manusia prasejarah. Ekskavasi mengungkap sisa-sisa scombrid – kelompok ikan yang mencakup tuna, bonito, dan kembung – serta berbagai spesies hiu.
Identifikasi spesies hiu dari material arkeologi selalu menghadapi kendala teknis. Hiu tidak memiliki struktur tulang keras, melainkan tulang rawan yang sulit mengalami fossilisasi optimal. Keterbatasan ini mendorong peneliti mengadopsi metodologi inovatif.
**Revolusi Zooarchaeology by Mass Spectrometry**
Para peneliti mengaplikasikan teknik Zooarchaeology by Mass Spectrometry (ZooMS) untuk mengatasi hambatan identifikasi spesies. Metode ini menganalisis protein kolagen dalam residu tulang dan tulang rawan guna menentukan spesies secara akurat.
ZooMS memungkinkan identifikasi spesifik yang tidak dapat dicapai melalui analisis morfologi konvensional, khususnya untuk material yang mengalami degradasi signifikan.
**Diversitas Menu Purba: Spektrum Predator Laut**
Analisis 77 spesimen scombrid menghasilkan temuan mengejutkan. Sebanyak 75 spesimen teridentifikasi sebagai tuna cakalang (skipjack tuna), sementara sisanya merupakan tuna sirip kuning (yellowfin tuna) dan wahoo.
Dari 54 spesimen hiu yang diteliti, 20 dikonfirmasi sebagai hiu sutra (silky sharks) dan 11 spesimen adalah hiu Galapagos (Galapagos sharks). Penelitian juga mengidentifikasi dua hiu sirip putih (whitetip sharks).
**Kompleksitas Ekosistem Target**
Variasi spesies yang luas mencerminkan pemahaman mendalam komunitas prasejarah tentang ekosistem laut. Mereka menargetkan predator dari berbagai tingkat trofik dan habitat yang berbeda.
Tuna sirip kuning umumnya menghuni perairan dalam lepas pantai, sedangkan hiu Galapagos cenderung beraktivitas di lingkungan terumbu berbatu. Hiu sutra sering mengikuti kawanan tuna yang bermigrasi, menandakan pemahaman tentang interaksi spesies.
**Strategi Penangkapan Multi-habitat**
Meski alat pancing tidak ditemukan di situs arkeologi, peneliti merujuk pada praktik tradisional Mikronesia kontemporer untuk merekonstruksi metode berburu purba.
Masyarakat asli Mikronesia modern menggunakan tali serat kelapa tebal untuk mengelilingi hiu di permukaan. Teknik trolling dengan umpan atau kail diterapkan untuk menangkap tuna, menunjukkan kontinuitas tradisi maritim selama berabad-abad.
**Implikasi Antropologi Maritim**
Penemuan ini menggarisbawahi tingkat kecanggihan yang tidak terduga dalam strategi penangkapan ikan masyarakat Neolitik. Kemampuan menjangkau berbagai habitat laut – dari perairan permukaan hingga terumbu dalam – menunjukkan pengetahuan ekologi yang sophisticated.
**Kontinuitas Budaya Maritim**
Keterampilan berburu predator laut besar oleh komunitas purba Fais menunjukkan akar sejarah panjang tradisi maritim Mikronesia. Pengetahuan tentang perilaku dan habitat berbagai spesies diturunkan lintas generasi.
**Metodologi Penelitian Kontemporer**
Studi yang dipublikasikan dalam Journal of Archaeological Science ini merepresentasikan integrasi arkeologi tradisional dengan teknologi analitik modern. ZooMS menjadi tool revolusioner untuk rekonstruksi diet dan perilaku subsistensi masyarakat prasejarah.
**Rekonstruksi Paleoekologi**
Data spesies yang dikonsumsi memberikan insight tentang kondisi ekosistem laut Mikronesia 1.800 tahun lalu. Keberadaan berbagai predator puncak menunjukkan kesehatan ekosistem yang optimal pada periode tersebut.
**Teknologi Berburu Tradisional**
Meski tidak meninggalkan jejak material yang jelas, strategi berburu kompleks ini mengindikasikan pengembangan teknologi maritim yang efektif. Pengetahuan tentang pola migrasi dan perilaku mangsa menjadi kunci keberhasilan.
**Signifikansi Bioarkeologi**
Penelitian ini berkontribusi pada pemahaman evolusi hubungan manusia-laut di kawasan Pasifik. Eksploitasi sumber daya perairan terbuka menunjukkan adaptasi advanced terhadap lingkungan insuler.
**Preservasi Protein Purba**
Keberhasilan ekstraksi dan analisis protein dari material berusia 1.800 tahun mendemonstrasikan potensi preservasi molekuler di lingkungan tropis. Kondisi ini membuka peluang untuk studi bioarkeologi lebih luas di kawasan Pasifik.
**Konteks Regional Pasifik**
Temuan di Pulau Fais melengkapi puzzle besar tentang pola subsistensi masyarakat kepulauan Pasifik. Perbandingan dengan situs lain akan mengungkap variasi regional dalam strategi adaptasi maritim.
**Dialog Sains dan Tradisi**
Penelitian ini memvalidasi pengetahuan ekologi lokal yang dipertahankan masyarakat Mikronesia modern. Kontinuitas praktik berburu menunjukkan nilai adaptive knowledge system yang telah teruji waktu.
**Future Research Direction**
Metodologi ZooMS membuka peluang aplikasi luas dalam arkeologi maritim Asia-Pasifik. Ekspansi penelitian serupa dapat mengungkap pola reginal dalam eksploitasi sumber daya laut oleh masyarakat prasejarah.
Sumber: Kompas.com
Buku Terkait: