Ganti Warna 3 Kali dan Berakselerasi Misterius, Komet Antarbintang 3I/ATLAS Ungkap Perilaku Aneh

JAKARTA – Komet antarbintang 3I/ATLAS menghadirkan fenomena baru yang membingungkan astronom dunia. Setelah tersembunyi di balik Matahari, objek langit ini mengembangkan rona kebiruan sambil mengalami pencerahan mendadak yang tidak terprediksi.

Ini menandai ketiga kalinya para peneliti mencatat kemungkinan transformasi warna komet tersebut, meski sejauh ini tidak ada perubahan yang bersifat permanen.

**Perjalanan Antariksa Selama Miliaran Tahun**

3I/ATLAS merupakan objek antarbintang ketiga yang dikonfirmasi mengunjungi tata surya, meluncur dengan kecepatan mencapai 210.000 kilometer per jam sejak awal Juli. Menurut Live Science, komet ini berpotensi menjadi yang tertua dalam kategorinya yang pernah diamati.

Diperkirakan terlontar dari sistem bintang asalnya di perbatasan galaksi Bima Sakti lebih dari 7 miliar tahun lalu, objek ini telah mengarungi ruang antarbintang sebelum bertemu dengan tata surya kita saat ini.

**Deteksi dan Klasifikasi sebagai Visitor Antarbintang**

Sistem ATLAS (Asteroid Terrestrial-impact Last Alert System) pertama kali mendeteksi objek ini pada 1 Juli 2025. Karakteristik kecepatan dan eksentrisitas yang ekstrem memastikan bahwa 3I/ATLAS berasal dari luar tata surya, bergabung dengan 1I/’Oumuamua dan 2I/Borisov sebagai visitor antarbintang yang terkonfirmasi.

Status ini menjadikan 3I/ATLAS sebagai subjek penelitian intensif untuk memahami komposisi dan perilaku objek dari sistem bintang lain.

**Observasi Spektakuler saat Perihelion**

Ketika 3I/ATLAS mencapai titik terdekat dengan Matahari (perihelion) pada 29 Oktober, posisinya terhalang dari pengamatan teleskop berbasis Bumi. Namun, tim astronom berhasil melacaknya menggunakan wahana antariksa STEREO, SOHO, dan satelit cuaca GOES-19.

Hasil observasi mengungkap pencerahan dramatis hingga magnitudo 9, jauh melampaui proyeksi berdasarkan perilaku komet konvensional.

**Fenomena Perubahan Spektral yang Membingungkan**

“Salah satu temuan utama adalah bahwa fotometri warna menunjukkan komet jauh lebih biru daripada Matahari,” ungkap peneliti dikutip IFL Science. Transformasi spektral ini menciptakan teka-teki baru tentang komposisi internal 3I/ATLAS.

Penyebab pencerahan cepat yang jauh melampaui laju normal komet Oort cloud pada jarak serupa masih menjadi misteri yang belum terpecahkan oleh komunitas astronomi.

**Deteksi Percepatan Non-Gravitasi**

Davide Farnoccia, insinyur navigasi di NASA’s Jet Propulsion Laboratory, melaporkan fenomena “non-gravitational acceleration” pada 3I/ATLAS. Percepatan ini tidak hanya disebabkan pengaruh gravitasi benda langit, melainkan faktor internal komet itu sendiri.

Avi Loeb, astronom Harvard, menjelaskan bahwa percepatan non-gravitasi terukur pada jarak perihelion 1,36 astronomical units (sekitar 203 juta kilometer dari Matahari).

**Penolakan Hipotesis Alien**

Meski fenomena ini sempat memicu spekulasi ekstrem termasuk hipotesis intervensi alien yang dikemukakan Avi Loeb, mayoritas komunitas astronomi menolak teori tersebut. Percepatan non-gravitasi dianggap sebagai evidensi perilaku komet yang mengalami proses outgassing masif.

Proses ini terjadi ketika komet mengeluarkan gas signifikan saat mendekati matahari, menyebabkan hilangnya massa substansial. Dorongan dari gas yang teremisi menghasilkan akselerasi tambahan yang terdeteksi instrumen.

**Proyeksi Hilangnya Massa Masif**

Loeb menghitung bahwa jika kecepatan pancaran termal gas komet mencapai beberapa ratus meter per detik, objek tersebut akan kehilangan sekitar sepersepuluh massanya selama melintasi perihelion.

“Hilangnya massa yang masif seperti itu harus dapat dideteksi dalam bentuk gumpalan gas besar di sekitar 3I/ATLAS selama bulan-bulan mendatang, November dan Desember 2025,” tulis Loeb dalam publikasi blog-nya.

**Potensi Observasi Wahana JUICE**

Wahana JUICE (European Space Agency) yang sedang dalam perjalanan menuju Jupiter berpeluang mendeteksi hilangnya massa ini selama awal November. Posisi strategis wahana memungkinkan observasi yang tidak dapat dilakukan dari platform berbasis Bumi.

Tim peneliti menggunakan observatorium solar menyimpulkan bahwa outgassing signifikan kemungkinan telah terjadi, memperkuat evidensi perilaku komet yang anomali.

**Hipotesis Sublimasi Kompleks**

Para ilmuwan berspekulasi bahwa percepatan mungkin berkaitan dengan sublimasi air (H2O) yang dihambat oleh pendinginan dari sublimasi karbon dioksida (CO2). Proses ini tetap dominan pada jarak tertentu, menciptakan dinamika termal yang kompleks.

“Alasan untuk pencerahan cepat 3I yang jauh melebihi laju pencerahan sebagian besar komet Oort cloud pada jarak serupa, masih belum jelas,” tambah tim peneliti.

**Tantangan Pemahaman Objek Antarbintang**

Sebagai objek antarbintang ketiga yang dikonfirmasi, 3I/ATLAS menghadirkan numerous mysteries yang belum terpecahkan. Keterbatasan data komparatif membuat interpretasi perilakunya sangat menantang.

“Tanpa penjelasan fisik yang pasti, prospek perilaku 3I pasca-perihelion tetap tidak pasti,” simpul tim tersebut. “Observasi lanjutan dapat membantu memberikan penjelasan yang lebih definitif untuk perilaku komet.”

**Implikasi untuk Astrofisika**

Fenomena yang ditunjukkan 3I/ATLAS memberikan wawasan berharga tentang karakteristik objek dari sistem bintang lain. Data ini penting untuk memahami evolusi komet dalam medium antarbintang dan kondisi di sistem planetary remote.

**Timeline Observasi Berkelanjutan**

Fase pasca-perihelion 3I/ATLAS akan menjadi crucial untuk memvalidasi hipotesis tentang outgassing dan loss of mass. Observasi berkelanjutan hingga akhir 2025 diperlukan untuk membangun model komprehensif tentang perilaku objek antarbintang.

**Kontribusi untuk Understanding Universe**

Meski masih menyimpan banyak misteri, 3I/ATLAS telah memberikan kontribusi signifikan untuk pemahaman tentang diversity objek di galaksi. Setiap discover baru menambah puzzle besar tentang formation dan evolution sistem planetary di cosmos yang lebih luas.


Sumber: Kompas.com


Buku Terkait:

Kaum Demokrat Kritis: Analisis Perilaku Pemilih Indonesia

Breaking the Spell: Agama sebagai Fenomena Alam