COPENHAGEN – Tim peneliti Technical University of Denmark berhasil mengembangkan obat penawar bisa ular generasi terbaru yang mampu menetralisir racun dari 17 spesies ular berbisa African. Antivenom revolusioner ini memanfaatkan teknologi nanobody yang diekstrak dari hewan keluarga unta.
Inovasi ini memberikan harapan signifikan dalam menanggulangi salah satu krisis kesehatan tropis paling mematikan dan kurang mendapat perhatian global.
**Skala Masalah Global Gigitan Ular**
Data World Health Organization (WHO) mencatat sekitar 5,4 juta kasus gigitan ular terjadi setiap tahun di seluruh dunia. Dari jumlah tersebut, hingga 138.000 korban meninggal dunia, sementara 2,7 juta lainnya mengalami komplikasi medis serius akibat envenomasi.
Gigitan ular berbisa masuk kategori “neglected tropical diseases”—penyakit tropis terabaikan—yang paling mematikan, dengan korban mayoritas berasal dari komunitas miskin di wilayah pedesaan Afrika dan Asia. Kondisi geografis terpencil dan keterbatasan akses fasilitas kesehatan memperparah tingkat mortalitas.
**Keterbatasan Antivenom Konvensional**
Antivenom yang tersedia saat ini menghadapi berbagai limitasi teknis dan ekonomis. Produksi menggunakan antibodi dari darah hewan besar seperti kuda yang sebelumnya diimunisasi dengan dosis kecil venom ular.
Proses ini tidak hanya mahal dan kompleks, tetapi juga hanya efektif untuk jenis ular tertentu. Lebih lanjut, penggunaan antivenom konvensional berpotensi memicu reaksi imunologi berbahaya pada pasien manusia.
“Kami ingin menciptakan antivenom yang lebih luas cakupannya, lebih aman, dan lebih mudah diproduksi,” ungkap Andreas Hougaard Laustsen-Kiel, peneliti utama dari Technical University of Denmark.
**Teknologi Nanobody: Terobosan dari Keluarga Camelidae**
Tim peneliti memperkenalkan pendekatan inovatif menggunakan nanobody, fragmen antibodi berukuran ultra-kecil yang diisolasi dari hewan keluarga unta seperti unta dan llama (Camelidae). Struktur nanobody jauh lebih kompak dan stabil dibandingkan antibodi konvensional.
Keunggulan nanobody terletak pada kemampuan pengikatan yang lebih kuat dan spesifik terhadap berbagai jenis toksin. “Kami mengembangkan antivenom yang tidak lagi bergantung pada pengambilan antibodi dari hewan,” jelas Laustsen-Kiel. “Artinya, kita bisa memproduksi dalam jumlah besar tanpa mengorbankan kualitas.”
**Spektrum Efektivitas Terhadap Ular Elapidae**
Formulasi yang terdiri dari delapan jenis nanobody terbukti mampu menetralisir venom dari 17 dari 18 spesies ular Afrika yang diuji. Target utama mencakup kelompok elapidae seperti kobra, mamba, dan rinkhals—spesies yang terkenal karena neurotoksin mematikan.
Anne Ljungars, rekan peneliti dan insinyur biologi dari institusi yang sama, menjelaskan bahwa ular kelompok elapid termasuk yang paling letal. “Bisa mereka mengandung neurotoksin kuat yang bekerja cepat, menyebabkan kelumpuhan dan gagal napas,” kata Ljungars.
Neurotoksin bekerja dengan memblokir transmisi sinaptik pada sistem saraf, menyebabkan paralisis otot pernapasan yang dapat berujung pada kematian dalam hitungan jam.
**Hasil Uji Praklinis pada Model Hewan**
Eksperimen laboratorium pada tikus menunjukkan hasil yang menjanjikan. Dalam kondisi optimal—ketika venom dicampur dengan antivenom sebelum injeksi—formulasi nanobody berhasil menetralisir racun dari 17 jenis ular berbeda.
Dalam skenario yang lebih mendekati situasi klinis nyata—pemberian antivenom setelah envenomasi—efektivitas menunjukkan variasi. Meskipun demikian, antivenom berhasil mencegah mortalitas akibat venom dari enam spesies ular dan mengurangi nekrosis jaringan yang umumnya ditimbulkan envenomasi.
**Profil Keamanan yang Lebih Baik**
Karakteristik fisikokimia nanobody yang lebih kecil dan stabil berpotensi mengurangi risiko efek samping imunologis berat. Keunggulan ini memungkinkan pemberian antivenom lebih dini tanpa menunggu manifestasi klinis berat, berbeda dengan protokol antivenom konvensional yang memerlukan observasi gejala terlebih dahulu.
Pendekatan profilaktik atau early intervention ini dapat meningkatkan outcome klinis secara signifikan, mengingat window terapi yang terbatas pada kasus envenomasi.
**Timeline Menuju Uji Klinis Manusia**
Meskipun hasil praklinis menunjukkan potensi besar, penelitian ini masih berada pada tahap pengembangan pra-klinis. Tim peneliti memperkirakan uji klinis fase I pada manusia dapat dimulai dalam 1-2 tahun mendatang, tergantung pada ketersediaan pendanaan riset.
“Kami memiliki tanggung jawab moral dan global untuk membantu memecahkan masalah ini,” tegas Laustsen-Kiel. “Antivenom kami berpotensi mengubah cara dunia menangani gigitan ular.”
**Implikasi untuk Kesehatan Global**
Jika terbukti aman dan efektif pada uji klinis manusia, antivenom berbasis nanobody ini dapat menjadi game-changer dalam penanganan envenomasi di wilayah dengan akses terbatas terhadap fasilitas kesehatan modern.
Teknologi produksi yang lebih sederhana dan ekonomis berpotensi meningkatkan ketersediaan antivenom di daerah endemis, mengurangi disparitas akses perawatan antara wilayah urban dan rural.
**Tantangan Implementasi**
Beberapa tantangan masih perlu diatasi sebelum antivenom nanobody dapat diimplementasikan secara luas. Hal ini mencakup validasi efektivitas pada berbagai populasi manusia, optimalisasi formulasi untuk stabilitas jangka panjang, dan pengembangan infrastruktur distribusi di wilayah terpencil.
Kerjasama internasional antara institusi riset, organisasi kesehatan global, dan industri farmasi akan menjadi kunci keberhasilan translasi dari laboratorium ke aplikasi klinis.
**Prospek Pengembangan Multinasional**
Keberhasilan antivenom nanobody untuk spesies ular Afrika dapat menjadi model pengembangan serupa untuk wilayah geografis lain. Asia Tenggara dan Amerika Latin, yang memiliki diversitas ular berbisa tinggi, berpotensi mendapat manfaat dari pendekatan teknologi serupa.
Standardisasi metodologi dan platform produksi global dapat mempercepat pengembangan antivenom spektrum luas untuk berbagai wilayah endemis di masa mendatang.
Sumber: Kompas.com
Buku Terkait: