Meski Terkubur 1.000 Tahun, Hormon Kehamilan Tetap Berada di Tulang Manusia Purba

LONDON – Tim peneliti berhasil mengembangkan metode revolusioner untuk mendeteksi hormon kehamilan dari sisa-sisa kerangka manusia kuno. Terobosan ini memungkinkan identifikasi status reproduksi wanita purba yang meninggal hingga ribuan tahun silam.

Penelitian yang dipimpin Aimée Barlow dari University of Sheffield ini membuka jendela baru untuk memahami kehidupan reproduksi populasi masa lampau.

**Temuan “Arsip Hormon” dalam Jaringan Keras**

Selama ini, para arkeolog meyakini bahwa komposisi anorganik pada tulang dan gigi membuatnya mustahil menyimpan protein atau hormon. Namun, studi terbaru membuktikan anggapan tersebut keliru.

“Kami menemukan ‘arsip hormon’ di kerangka dan gigi,” ungkap Barlow. Penelitian ini merupakan yang pertama berhasil mendeteksi hormon reproduksi spesifik dalam struktur gigi dan kalkulus gigi.

Tim peneliti menguji sampel dari sepuluh kerangka—tujuh wanita dan tiga pria—dari rentang abad pertama hingga ke-19 menggunakan teknik enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA).

**Progesteron sebagai Penanda Kehamilan Utama**

Metode ELISA yang biasa digunakan untuk mendeteksi molekul protein ini berhasil mengidentifikasi tiga hormon kunci: estrogen, progesteron, dan testosteron dalam jaringan keras kerangka purba.

Progesteron menjadi fokus utama karena kadarnya meningkat signifikan pada trimester pertama dan dipertahankan sepanjang kehamilan. “Ini juga pertama kalinya progesteron berhasil diukur dalam jaringan tulang manusia,” tegas Barlow.

Hasil pengujian menunjukkan hormon-hormon tersebut dapat diukur tidak hanya di tulang, tetapi juga di dentin, enamel, kalkulus, dan sampel akar gigi.

**Interpretasi Kombinasi Tiga Hormon**

Para peneliti tidak hanya mengandalkan satu indikator hormon. Tingkat estrogen dan testosteron juga dianalisis karena kadarnya ikut berfluktuasi—meskipun tidak sebesar progesteron—selama periode kehamilan.

“Tingkat progesteron yang tinggi dalam struktur gigi dan kalkulus, adanya estrogen di tulang, dan kurangnya testosteron di jaringan keras konsisten dengan kehamilan pada saat kematian,” tulis para peneliti dalam studi yang dipublikasikan di Journal of Archaeological Science.

Kombinasi ketiga parameter hormon ini memberikan indikasi yang lebih akurat dibandingkan pengukuran tunggal.

**Potensi Rekonstruksi Sejarah Reproduksi**

Kemampuan mendeteksi hormon dalam kerangka kuno membuka kemungkinan untuk merekonstruksi aspek kehidupan reproduksi yang sebelumnya tidak terjangkau. Barlow menyebutkan beberapa informasi yang potensial dapat diperoleh.

Metode ini memungkinkan penentuan usia pertama kali hamil, identifikasi keguguran, dan interval waktu antar kelahiran pada wanita yang memiliki beberapa anak. “Ini akan sangat berguna untuk periode sejarah di mana tidak ada catatan tertulis,” tambah Barlow.

Informasi ini sangat berharga untuk memahami pola demografi, kesehatan reproduksi, dan struktur sosial masyarakat masa lampau.

**Kehati-hatian Akademis dan Validasi Lebih Lanjut**

Meskipun terobosan ini dinilai mengagumkan, para ahli independen menyerukan kehati-hatian dalam interpretasi. Nikolas Lemos, profesor ilmu kedokteran forensik di Queen Mary University of London, menekankan limitasi ukuran sampel.

“Singkatnya, meskipun temuan ini inovatif, mereka harus dipandang sebagai bukti konsep, belum sebagai alat diagnostik rutin,” ujar Lemos. Ukuran sampel yang hanya melibatkan sepuluh kerangka dinilai masih terlalu kecil untuk generalisasi luas.

Alexander Comninos, profesor endokrinologi di Imperial College London, menyebut penelitian ini “menarik” dalam konteks pemahaman evolusi reproduksi manusia.

**Tantangan Metodologi dan Lingkungan**

Barlow mengakui perlunya penelitian lebih mendalam untuk memahami mekanisme preservasi hormon dalam berbagai kondisi lingkungan. Faktor-faktor seperti pH tanah, temperatur, kelembaban, dan komposisi mineral dapat mempengaruhi tingkat degradasi hormon.

Pemahaman tentang bagaimana hormon terawetkan dan terurai dari waktu ke waktu di berbagai lingkungan penguburan menjadi krusial untuk aplikasi metode ini secara luas.

**Implikasi untuk Studi Demografi Historis**

Dengan kemampuan mengidentifikasi status reproduksi dari sisa-sisa kerangka, para arkeolog dapat merekonstruksi pola demografi populasi masa lampau dengan akurasi yang belum pernah ada sebelumnya.

“Dengan memahami profil reproduksi masa lalu, ini dapat memberikan wawasan tentang bagaimana hal-hal ini mungkin telah berubah dari waktu ke waktu dan mungkin sekilas tentang masa depan,” kata Comninos.

**Prospek Pengembangan Teknologi**

Penelitian ini membuka jalan bagi pengembangan teknologi deteksi hormon yang lebih sensitif dan spesifik untuk material arkeologi. Kombinasi dengan teknik analytical advances lainnya dapat meningkatkan akurasi dan memperluas jangkauan temporal metode ini.

Integrasi dengan database hormon modern juga dapat membantu kalibrasi interpretasi level hormon dalam konteks fisiologis yang tepat.

**Kontribusi untuk Bioarkeologi**

Temuan ini berkontribusi signifikan pada field bioarkeologi dengan menambahkan dimensi baru dalam analisis sisa-sisa manusia purba. Selain informasi tradisional seperti usia, jenis kelamin, dan patologi, kini dimungkinkan untuk mengeksplorasi aspek reproduksi dan endokrinologi.

Pengembangan metode ELISA untuk deteksi hormon seks dalam material arkeologi mendemonstrasikan kelayakan dan potensi signifikan untuk menguji riwayat reproduksi populasi masa lalu, membuka chapter baru dalam pemahaman sejarah manusia.


Sumber: Kompas.com


Buku Terkait:

Metode Ovulasi Billings

Evolusi Reproduksi Manusia