BEIJING – Tim paleontolog Tiongkok-Brasil mengidentifikasi 320 butiran fitolit di dalam rongga perut fosil pterosaurus Sinopterus atavismus, memberikan evidensi perdana bahwa sebagian reptil terbang prasejarah mengonsumsi vegetasi. Penemuan revolusioner ini mengubah pemahaman tentang diversitas pola makan pterosaurus selama Era Mesozoikum.
Fosil yang berasal dari 120 juta tahun lalu ini menunjukkan keberadaan pterosaurus herbivora di antara kelompok yang selama ini dipercaya dominan karnivora.
**Breakthrough dalam Paleontologi Pterosaurus**
Dr. Xiaolin Wang dari Institute of Vertebrate Paleontology and Paleoanthropology, Chinese Academy of Sciences, memimpin riset yang dipublikasikan dalam Science Bulletin edisi 15 Oktober 2025. Tim peneliti menganalisis fosil Sinopterus atavismus dari famili Tapejaridae yang ditemukan di Tiongkok.
“Isi perut fosil adalah bukti langsung yang paling kuat untuk mengetahui pola makan hewan purba, tapi sangat jarang ditemukan,” ungkap tim peneliti. Selama ini hanya lima kasus isi perut pterosaurus yang berhasil diidentifikasi, semuanya dari spesies Rhamphorhynchus era Jura Akhir di Jerman dengan kandungan sisa ikan.
**Fitolit sebagai Jejak Konsumsi Vegetasi**
Fitolit merupakan strukturtur silika mikroskopis yang terbentuk selama pertumbuhan tanaman dengan morfologi khas bergantung pada jenis dan bagian tumbuhan tertentu. Keberadaan 320 fitolit dalam rongga perut Sinopterus mengonfirmasi konsumsi langsung material tumbuhan.
“Fitolit adalah struktur silika mikroskopis yang terbentuk selama pertumbuhan tanaman dan memiliki bentuk berbeda tergantung jenis dan bagian tanaman,” jelas para peneliti. Temuan ini menandai discovery fitolit pertama pada pterosaurus dan kasus kedua ditemukannya gastrolit pada kelompok reptil terbang ini.
Selain fitolit, tim juga mengidentifikasi sejumlah gastrolit—batuan kecil yang digunakan herbivora untuk memfasilitasi pencernaan material plant yang keras di dalam system digestive.
**Verifikasi Kemurnian Sampel**
Untuk mengeliminasi kemungkinan kontaminasi, peneliti melakukan pemeriksaan komprehensif terhadap sedimen di sekitar fosil. Hasil analisis mengkonfirmasi tidak ada fitolit di luar area perut fosil, memastikan bahwa butiran silika tersebut berasal dari konsumsi makanan Sinopterus atavismus.
Tim juga menolak hipotesis bahwa pterosaurus ini mengonsumsi herbivora lain yang sebelumnya memakan tumbuhan. “Jika Sinopterus memang memakan vertebrata atau serangga, seharusnya ada sisa tulang, sisik, atau cangkang serangga di perutnya. Tapi kami tidak menemukannya,” tegas Dr. Wang.
**Eliminasi Hipotesis Alternatif**
Kemungkinan konsumsi invertebrata bertubuh lunak seperti larva juga dikesampingkan berdasarkan keberadaan gastrolit yang abundant. “Kalau hanya makan hewan lunak, mengapa ia perlu banyak batu perut? Batu itu biasanya digunakan untuk menghancurkan bahan keras seperti tumbuhan atau cangkang serangga, bukan untuk makanan lunak,” jelasnya.
Analisis morfologi rahang menunjukkan kesesuaian struktural untuk processing material tumbuhan. Studi sebelumnya pada Tapejara wellnhoferi, spesies kerabat dekat, mengungkap adaptasi rahang yang robust untuk menggigit dan memproses vegetasi.
**Implikasi Evolusioner dan Ekologis**
Kombinasi fitolit dan gastrolit memberikan evidensi kuat bahwa Sinopterus atavismus merupakan herbivora obligat. “Fitolit mewakili sisa makanan tumbuhan, sedangkan gastrolit berfungsi untuk menggiling dan mencerna bahan tanaman,” tulis tim dalam laporan mereka.
Temuan ini mengindikasikan diversifikasi niche ekologis yang lebih kompleks dalam komunitas pterosaurus Cretaceous Awal. Keberadaan herbivora di antara kelompok yang dominan predatory menunjukkan adaptasi evolusioner toward plant consumption.
**Konteks Paleoekologi Cretaceous**
Periode 120 juta tahun lalu ditandai dengan diversifikasi vegetasi angiosperm yang ekstensif, menyediakan sumber makanan baru bagi fauna Mesozoikum. Evolusi herbivory pada pterosaurus kemungkinan merupakan respons adaptatif terhadap availability dan nutritional content of emerging plant groups.
Sinopterus atavismus mungkin mengeksploitasi niche ekologis yang belum occupied oleh herbivora terestrial, memanfaatkan kemampuan terbang untuk mengakses sumber makanan di canopy atau area yang tidak accessible bagi dinosaurus herbivora.
**Metodologi Analisis Advance**
Tim peneliti menggunakan teknik ekstraksi dan identifikasi fitolit yang sophisticated untuk memastikan akurasi taxonomic. Setiap fitolit dianalisis berdasarkan morfologi karakteristik yang dapat dikorelasikan dengan specific plant families atau genera.
Analisis gastrolit meliputi composisi mineral dan tekstur permukaan untuk menentukan fungsi dalam mechanical digestion. Kombinasi kedua line of evidence ini memberikan rekonstruksi pola makan yang komprehensif.
**Revolutionary Insight dalam Pterosaurus Biology**
Penemuan ini menggugat paradigma yang established tentang pterosaurus sebagai exclusively carnivorous group. Keberadaan herbivora dalam lineage ini menunjukkan diversitas trophic yang lebih besar daripada yang previously recognized.
“Penemuan ini adalah fitolit pertama yang pernah ditemukan pada pterosaurus, dan hanya kasus kedua pterosaurus yang diketahui memiliki gastrolit,” tambah peneliti. Temuan ini membuka kemungkinan bahwa herbivory mungkin lebih widespread dalam kelompok pterosaurus daripada yang selama ini dipahami.
**Signifikansi untuk Paleobiologi**
Discovery ini berkontribusi significantly terhadap understanding of Mesozoic ecosystem dynamics dan coevolution between plants dan flying reptiles. Herbivorous pterosaurs mungkin berperan sebagai seed dispersers atau pollinators, influencing the evolution dan distribution of Cretaceous flora.
Temuan Sinopterus atavismus sebagai ‘pterosaurus vegetarian’ mendemonstrasikan bahwa ecological specialization dalam grup ini jauh lebih complex daripada yang previously assumed, membuka research avenues baru dalam paleontology dan evolutionary biology.
**Future Research Implications**
Keberhasilan identifikasi fitolit dalam fosil pterosaurus ini akan mendorong reexamination of existing specimens untuk mencari evidensi herbivory yang mungkin terabaikan. Metodologi yang developed dalam study ini dapat diaplikasikan secara broader untuk understanding dietary preferences dalam fossil record.
Research ini juga mengundang investigasi lebih mendalam tentang plant-animal interactions selama Cretaceous period dan role of flying reptiles dalam ancient ecosystems, potentially revealing previously unknown aspects of Mesozoic biodiversity dan ecological complexity.
Sumber: Kompas.com
Buku Terkait: