Internet Cepat, Pembangunan Lambat: Paradoks Digital Indonesia

SEMARANG – Wakil Menteri Komunikasi dan Digital Nezar Patria mengakui layanan internet Indonesia masih tertinggal dibanding negara-negara ASEAN. Dalam acara Digital Talent War 2025 di Universitas Katolik Soegijapranata pada 13 November, ia menyebut kecepatan rata-rata internet nasional baru mencapai 36,7 Mbps.

Target pemerintah adalah meningkatkan kecepatan hingga 100 Mbps sebagai bagian dari penguatan infrastruktur digital nasional. Namun, capaian saat ini jauh dari ekspektasi meski berbagai proyek besar telah dijalankan selama lebih dari satu dekade.

**Posisi Indonesia Tertinggal Jauh dari Tetangga**

Data Speedtest Global Index Oktober 2025 menempatkan Indonesia di urutan 102 dunia untuk kecepatan unduh internet. Posisi ini jauh di bawah negara-negara ASEAN lainnya: Singapura (330 Mbps), Malaysia (117 Mbps), Thailand (112 Mbps), Vietnam (88 Mbps), bahkan Filipina yang sebelumnya tertinggal kini mencapai 75 Mbps.

Kesenjangan ini menunjukkan lemahnya koordinasi kebijakan digital nasional. Berbagai proyek megah seperti Program 100 Smart Cities, Palapa Ring, dan satelit Satria-1 belum memberikan dampak signifikan terhadap kualitas layanan internet.

Kendala utama adalah perizinan berbelit, tumpang tindih koordinasi antar-instansi, serta minimnya transparansi dalam pelaksanaan proyek infrastruktur digital.

**Kesenjangan Digital Antar-Wilayah Semakin Mengkhawatirkan**

Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) 2025 mencatat pengguna internet telah mencapai 224 juta jiwa atau sekitar 80 persen populasi. Namun, 70 persen pengguna terkonsentrasi di Pulau Jawa dan kota-kota besar.

Di daerah seperti Nusa Tenggara Timur, Maluku, dan Papua, sinyal 4G masih sering terputus. Siswa di ibukota dapat belajar daring dengan lancar, sementara anak-anak di daerah terpencil harus mencari sinyal dengan naik bukit.

Kesenjangan ini menciptakan ketidakadilan digital nyata yang bertentangan dengan konsep “Indonesia Digital 2045” yang menjadikan konektivitas sebagai hak dasar warga negara.

**Literasi Digital Masih Rendah**

Masalah digitalisasi bukan hanya kecepatan jaringan, tetapi juga kualitas penggunaannya. Indeks literasi digital nasional 2024 baru mencapai 3,65 dari skala 5, masih kategori sedang.

Peningkatan akses belum diimbangi kemampuan masyarakat memanfaatkan teknologi secara produktif dan aman. Fenomena hoaks, kebocoran data, dan penyalahgunaan media sosial menunjukkan masyarakat belum siap hidup di ruang digital terbuka.

Pendidikan digital di sekolah belum terintegrasi secara serius. Kurikulum masih menekankan hafalan ketimbang pemahaman kritis terhadap teknologi.

**Proyek Infrastruktur Bermasalah**

Kasus menara BTS 4G Kementerian Komunikasi dan Informatika menjadi cermin kegagalan kebijakan digital. Proyek untuk menjangkau daerah terpencil berujung korupsi triliunan rupiah dengan banyak menara tidak berfungsi.

Sebagian menara bahkan mangkrak di lokasi tanpa pasokan listrik. Kondisi ini memperlihatkan pembangunan infrastruktur digital memerlukan tata kelola bersih dan berorientasi kebutuhan publik, bukan sekadar anggaran besar.

Satelit SATRIA-1 yang diluncurkan pertengahan 2025 menjadi harapan baru, namun tanpa mekanisme evaluasi dan transparansi, risiko mengulang kesalahan serupa tetap tinggi.

**Biaya Layanan Masih Mahal**

Harga rata-rata paket internet Indonesia termasuk tinggi dibanding daya beli masyarakat. Riset Cable.co.uk 2025 menunjukkan biaya internet tetap mencapai Rp 470.000 per bulan, jauh di atas Vietnam (Rp 240.000) dan Malaysia (Rp 310.000).

Internet cepat hanya dinikmati kelompok menengah ke atas, sementara masyarakat miskin digital masih berkutat dengan kuota terbatas dan jaringan lemah. Kondisi ini menjauhkan internet dari fungsinya sebagai alat pemerataan pembangunan.

**Ancaman Kedaulatan Digital**

Banyak layanan publik bergantung pada cloud asing dengan data warga tersimpan di server luar negeri. Pemerintah mendorong data center domestik, namun regulasi dan perlindungannya masih lemah.

Kasus kebocoran data dari sejumlah platform pemerintah seperti Dukcapil dan Pusdatin Kemenkes menjadi peringatan keras bahwa sistem keamanan siber masih belum andal. Kecepatan internet tidak berarti jika setiap byte data warga rentan dijual di pasar gelap digital.

**Belajar dari Negara Tetangga**

Vietnam berhasil melakukan reformasi digital dengan tidak hanya fokus membangun jaringan, tetapi juga memberdayakan pelaku lokal memproduksi perangkat dan mengelola layanan.

Malaysia mengadopsi pendekatan kemitraan pemerintah-swasta yang efektif. Pemerintah menyediakan subsidi bagi operator untuk memperluas jaringan ke pedesaan. Hasilnya, cakupan jaringan 5G sudah melampaui 80 persen wilayah nasional dalam tiga tahun.

Sementara Indonesia masih berdebat soal akun tunggal media sosial dan pajak konten digital instead of memperbaiki kualitas jaringan dasar.

**Strategi Baru Diperlukan**

Indonesia membutuhkan strategi baru yang tidak sekadar mengejar kecepatan tetapi memperkuat kualitas dan kedaulatan digital melalui tiga langkah konkret:

**Pemerataan infrastruktur dan tarif akses**: Pemerintah harus memastikan jaringan fiber optic dan satelit menjangkau daerah 3T dengan tarif terjangkau. Evaluasi proyek BTS dan Satria-1 harus terbuka bagi publik.

**Pendidikan dan literasi digital**: Transformasi digital harus dimulai dari sekolah dengan literasi siber, keamanan data, dan etika bermedia sebagai bagian kurikulum nasional.

**Reformasi tata kelola digital**: Diperlukan lembaga pengawas independen yang memantau proyek digital pemerintah agar tidak menjadi ladang korupsi dengan transparansi sebagai kunci kepercayaan publik.

Target 100 Mbps tidak boleh sekadar slogan, melainkan simbol kemajuan sejati yang digunakan untuk belajar, bekerja, dan berinovasi. Indonesia memerlukan visi digital berorientasi pemerataan, keamanan, dan kedaulatan—bukan sekadar ambisi Mbps semata.


Sumber: Kompas.com


Buku Terkait:

Perencanaan Pembangunan, Keuangan, dan Transisi Energi Daerah

Taman Nasional Indonesia: Permata Warisan Bangsa