Apakah Ada Gladiator Perempuan di Kekaisaran Romawi?

ROMA – Citra gladiator dalam sejarah Romawi kuno selalu didominasi oleh sosok pria yang bertarung brutal di arena seperti Colosseum. Namun, riset arkeologi dan dokumentasi historis mengungkap fakta mengejutkan bahwa gladiator perempuan juga pernah eksis, meski dalam jumlah sangat terbatas.

Evidence mengenai gladiator perempuan memang langka, hanya sekitar selusin teks kuno dan beberapa artefak yang berhasil ditemukan. Namun, bukti paling kuat justru berasal dari regulasi hukum yang dikeluarkan Senat Romawi.

**Larangan Hukum sebagai Bukti Keberadaan**

Pada tahun 11 dan 19 Masehi, Senat Romawi mengeluarkan dekrit yang melarang perempuan bangsawan dan perempuan merdeka berusia di bawah 20 tahun untuk bertarung sebagai gladiator. Sekitar tahun 200 Masehi, Kaisar Septimius Severus kembali menerbitkan larangan serupa setelah sebuah pertunjukan memicu “sindiran tentang keganasan para perempuan” yang dianggap menghina perempuan terkemuka.

Ironisnya, larangan-larangan ini justru menjadi indikasi kuat bahwa gladiator perempuan benar-benar pernah tampil di arena-arena Romawi.

**Profil dan Asal-Usul Gladiator Perempuan**

Anna Miączewska, dosen dari Maria Curie-Skłodowska University, memperkirakan sebagian besar gladiator perempuan berasal dari kalangan budak yang melakukan kejahatan. Sebagian lainnya kemungkinan perempuan merdeka yang terjerat hutang dan terpaksa menjual kebebasannya kepada sekolah gladiator.

Meski demikian, terdapat pengecualian menarik. Sebagaimana beberapa gladiator pria dari kelas elite seperti Kaisar Commodus, ada pula perempuan bangsawan yang terjun ke arena. Sejarawan Romawi Tacitus mencatat bahwa pada tahun 63 Masehi, di era Kaisar Nero, sebuah pertunjukan besar diselenggarakan dengan “banyak perempuan bangsawan dan senator yang mempermalukan diri mereka di arena.”

**Artefak Mengungkap Cara Bertarung**

Dua artefak penting memberikan gambaran tentang cara bertarung gladiator perempuan:

Relief Halikarnassus di Turki modern menggambarkan dua gladiator perempuan dengan nama panggung “Amazon” dan “Achillia.” Profesor Stephen Brunet menganalisis bahwa keduanya mengenakan perlengkapan ala provocator, mirip seragam tentara Romawi. Mereka bertarung tanpa helm dan bertelanjang dada, dengan inskripsi menyebutkan keduanya “dibebaskan saat masih berdiri”, artinya tidak ada yang terbunuh.

Statuette gladiator perempuan menunjukkan seorang perempuan memegang sica, belati melengkung milik gladiator thraex. Seperti relief sebelumnya, ia tidak memakai helm dan hanya mengenakan cawat serta pelindung lutut.

**Motif Pemilihan: Kecantikan vs Kemampuan**

Alfonso Mañas dari University of California Berkeley, yang mengidentifikasi statuette tersebut, menyebutkan penampilan fisik mungkin berperan besar dalam seleksi. Ia mengutip Nicolaus of Damascus yang menulis bahwa perempuan yang dipilih bukanlah yang terkuat atau terampil, melainkan “yang tercantik.”

Mañas menjelaskan pertunjukan gladiator perempuan biasanya merupakan acara eksklusif yang diselenggarakan kaisar, sehingga jumlahnya sangat sedikit namun bergengsi tinggi. Ia menduga perempuan dilarang memakai helm agar wajah mereka terlihat jelas oleh penonton.

Fakta menarik lainnya, tidak ada catatan kematian gladiator perempuan maupun batu nisan yang pernah ditemukan, sementara lebih dari 1.000 batu nisan gladiator pria telah teridentifikasi.

**Aturan Khusus untuk Meminimalkan Risiko**

“Di Roma, tidak ada yang mengharapkan perempuan terampil menggunakan senjata atau menghadapi maut,” ungkap Mañas. Hal ini mengindikasikan aturan pertandingan dan persenjataan mungkin dimodifikasi untuk mengurangi risiko kematian.

Namun, Virginia Campbell dari The Open University memiliki pandangan berbeda. Ia menilai kebugaran fisik tetap menjadi syarat utama: “Gladiator adalah hiburan, bukan untuk mati. Maka pemilihan petarung, baik pria maupun perempuan, pastilah mempertimbangkan kemampuan bertarung.”

Bahkan penyair Statius yang hidup pada abad pertama Masehi menulis tentang aksi mereka: “Kau akan mengira sekawanan Amazon sedang bertempur di tepi Sungai Tanais.”

**Fenomena Langka namun Signifikan**

Berdasarkan bukti historis dan arkeologis, gladiator perempuan memang pernah eksis, meski jumlahnya sangat terbatas dan kemunculannya bersifat eksklusif. Mereka mungkin dipilih berdasarkan kecantikan, kebugaran, atau sensasi yang ingin diciptakan penyelenggara, terutama kaisar.

Kehadiran mereka menantang stereotip tentang peran perempuan di Romawi kuno dan menunjukkan bahwa sejarah selalu lebih kompleks dan beragam dari yang dibayangkan. Fenomena gladiator perempuan merefleksikan dinamika sosial yang unik dalam masyarakat Romawi, di mana batasan gender dapat dilanggar dalam konteks hiburan publik yang spektakuler.


Sumber: Kompas.com


Buku Terkait:

Nat Geo Romawi Kuno

Dari Kaisar menjadi Penduduk Biasa: Biografi Henry Pu Yi