Mengapa Manusia Tidak Punya Ekor? Bukan karena Berjalan Tegak

AUSTIN – Pertanyaan klasik yang sering muncul di benak manusia: mengapa spesies kita tidak memiliki ekor seperti kebanyakan mamalia? Meski ekor sangat fungsional untuk keseimbangan, komunikasi, dan melindungi diri dari predator, leluhur manusia justru “membuangnya” dalam proses evolusi.

Secara teknis, manusia sebenarnya memiliki ekor pada fase embrio. Laporan tahun 2012 mencatat bahwa selama minggu kelima hingga keenam perkembangan janin, embrio manusia memiliki ekor dengan 10-12 vertebra. Namun, struktur ini menghilang pada minggu kedelapan.

**Kehilangan Ekor Mendahului Kemampuan Berjalan Tegak**

Nenek moyang terakhir spesies manusia yang masih berekor hidup sekitar 25 juta tahun silam, sebelum kera besar berpisah dari monyet Dunia Lama. Kelompok monyet mempertahankan “anggota tubuh kelima” ini, sedangkan kera besar seperti gorila, simpanse, orangutan, bonobo, dan manusia tidak.

Selama ini, hilangnya ekor sering dikaitkan dengan evolusi bipedalisme (kemampuan berjalan tegak). Asumsinya, ekor akan mengganggu makhluk yang mengkhususkan diri berburu jarak jauh dengan dua kaki. Namun, anggapan ini keliru.

“Ekor hilang terlebih dahulu,” tegas Liza Shapiro, profesor antropologi biologi di University of Texas at Austin. Ia menegaskan bahwa evolusi tidak bekerja secara terbalik dan kehilangan ekor tidak secara langsung membantu memahami evolusi bipedalisme manusia.

**Petunjuk dari ‘DNA Sampah’**

Bo Xia, yang saat itu mahasiswa pascasarjana di NYU Grossman School of Medicine, mulai menyelidiki secara genetik setelah mengalami cedera tulang ekor pada 2019. Alih-alih mencari apa yang tidak dimiliki manusia, ia justru meneliti apa yang dimiliki hewan berekor.

Pada hewan berekor, pembentukan tubuh diatur gen Hox. Setelah gen Hox memulai pembentukan tulang belakang, sejumlah gen lain menentukan desain ekor.

Xia dan tim membandingkan DNA enam spesies kera tak berekor dengan sembilan spesies monyet berekor. Hasilnya mencengangkan.

“Itu seperti sambaran petir,” ungkap Jef Boeke, direktur Institute for Systems Genetics di NYU Langone Health. “Itu adalah urutan genetik DNA non-coding yang 100 persen terpelihara pada semua kera dan 100 persen tidak ada pada semua monyet.”

**Elemen Alu: Dalang di Balik Hilangnya Ekor**

Gen penyebab hilangnya ekor ternyata adalah fragmen pendek DNA bernama elemen Alu. Elemen ini tergolong “jumping genes” yang dapat bergerak dalam genom dan memicu mutasi.

Pada suatu waktu di masa lalu, satu elemen Alu menyusup ke dalam gen pengatur panjang ekor yang disebut gen TBXT dan mulai “berulah”.

“Ketika elemen Alu hadir, ekor hilang dalam satu gerakan,” jelas Itai Yanai, profesor di NYU Langone Health’s Department of Biochemistry and Molecular Pharmacology.

Tim membuktikan temuan ini dengan menyisipkan elemen Alu ke gen ekor tikus. Hasilnya: ekor tikus hilang.

**Mutasi Revolusioner dengan Konsekuensi**

Penemuan ini menunjukkan perubahan besar pada primata terjadi seketika, bukan bertahap. “Ini contoh sangat baik bagaimana keanehan evolusioner dapat memiliki konsekuensi menarik dan penting,” kata David Kimelman, ahli genetika di University of Washington.

Namun, perubahan ini bukan tanpa biaya. Tikus yang disisipkan elemen Alu tidak hanya kehilangan ekor, tetapi juga berisiko lebih tinggi mengembangkan cacat sumsum tulang belakang mirip spina bifida – masalah bawaan yang memengaruhi sekitar satu dari 1.000 bayi manusia.

Meski harus membayar mahal, manusia tetap mempertahankan mutasi ini. “Pasti ada tekanan evolusioner yang sangat besar untuk kehilangan ekor,” ungkap Yanai.

**Teka-Teki yang Belum Terpecahkan**

Meskipun mekanisme genetik hilangnya ekor telah terungkap, pertanyaan mengapa manusia mempertahankan mutasi tersebut tetap misterius. Apakah kehilangan ekor benar-benar menguntungkan, atau kerugiannya tidak cukup fatal untuk memusnahkan spesies?

Sayangnya, kemungkinan ekor manusia kembali sangat kecil. “Masuk akal bahwa selama 25 juta tahun, ada lebih banyak mutasi yang menstabilkan hilangnya ekor. Artinya, meski kita bisa membatalkan mutasi Alu, itu tetap tidak akan mengembalikan ekor,” tutup Yanai.

Penelitian ini membuka wawasan baru tentang bagaimana perubahan kecil dalam DNA dapat menghasilkan transformasi evolusioner besar, sekaligus mengingatkan bahwa setiap keuntungan evolusioner sering datang dengan trade-off yang tak terhindarkan.


Sumber: Kompas.com


Buku Terkait:

Genom: Kisah Spesies Manusia dalam 23 Bab