Agar Hidup Lebih Lama, Seberapa Bahagiakah Kita Seharusnya?

Hubungan antara kebahagiaan dan kesehatan telah lama menjadi perhatian ilmuwan. Namun, penelitian terbaru mengungkap fakta mengejutkan: tidak perlu sangat bahagia untuk mengurangi risiko kematian akibat penyakit kronis. Cukup melewati ambang batas kebahagiaan tertentu, dan tubuh mulai merasakan dampak positifnya.

Penyakit tidak menular seperti jantung, kanker, diabetes, dan asma berkontribusi pada tiga perempat kematian non-pandemi global pada 2021 menurut WHO. Di Amerika Serikat, kondisi-kondisi ini menjadi penyebab utama kematian dan kecacatan.

**Temuan Riset Ambang Batas Kebahagiaan**

Studi yang dipublikasikan dalam jurnal Frontiers of Medicine pada 20 Oktober 2025 menemukan bahwa tingkat kebahagiaan populasi dapat memengaruhi angka kematian dini akibat penyakit kronis, namun efek ini baru muncul setelah melewati ambang batas tertentu.

Penelitian yang dipimpin Iulia Iuga dari 1 Decembrie 1918 University, Rumania, menganalisis data dari 123 negara selama 15 tahun (2006-2021). Tim riset menggunakan Cantril Life Ladder, skala 0 hingga 10 yang meminta responden menilai kualitas hidup mereka.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketika skor rata-rata kebahagiaan nasional melampaui angka 2,7, setiap peningkatan 1% kebahagiaan berkorelasi dengan penurunan 0,43% angka kematian akibat penyakit kronis.

“Skor 2,7 menunjukkan kondisi seseorang yang nyaris tidak mampu bertahan,” jelaskan Iuga. “Namun setelah melewati titik ini, setiap peningkatan kesejahteraan mulai memberikan manfaat nyata bagi tubuh.”

**Mekanisme Kebahagiaan Menyehatkan Tubuh**

Meski penelitian ini tidak membuktikan hubungan sebab-akibat langsung, para ilmuwan memiliki penjelasan ilmiah tentang bagaimana kebahagiaan dapat memperkuat kesehatan.

John Hunter, psikolog dari Chapman University, menjelaskan bahwa emosi positif berfungsi sebagai penyangga terhadap stres. “Saat lebih bahagia, respons tubuh terhadap stres menjadi lebih ringan—denyut jantung dan tekanan darah tidak melonjak setinggi biasanya,” ujarnya.

Selain itu, individu yang bahagia cenderung memiliki pola hidup lebih sehat. Mereka lebih rajin berolahraga, mengonsumsi makanan bergizi, tidur cukup, dan menjalin hubungan sosial yang kuat.

Dr. Alan Rozanski, ahli jantung dari Icahn School of Medicine di Mount Sinai, menambahkan bahwa orang optimis dan memiliki tujuan hidup cenderung lebih proaktif menjaga kesehatannya.

**Efek Sakelar Kesehatan**

Temuan ini menegaskan bahwa kebahagiaan berperan seperti sakelar kesehatan. Di bawah ambang 2,7, peningkatan kebahagiaan belum menghasilkan manfaat signifikan. Namun setelah melewati batas tersebut, setiap tambahan kesejahteraan emosional mulai mengaktifkan efek perlindungan tubuh.

Kebahagiaan bekerja bukan seperti tombol dimmer yang terus menambah intensitas secara bertahap, melainkan seperti sirkuit listrik—tidak ada efek hingga tegangan minimal tercapai, tetapi begitu aktif, manfaatnya mengalir optimal.

**Implikasi Kebijakan Kesehatan Masyarakat**

Studi ini mengubah perspektif terhadap kebahagiaan dari urusan pribadi menjadi aset kesehatan masyarakat. Para peneliti menyarankan pembuat kebijakan menganggap kesejahteraan subjektif sebagai sumber daya kesehatan publik.

Untuk meningkatkan kebahagiaan tingkat nasional, negara perlu menciptakan fondasi yang memungkinkan warga mencapai stabilitas dasar: akses kesehatan memadai, jaring pengaman sosial, lingkungan bersih, dan pemerintahan yang stabil.

Di wilayah dengan kesejahteraan rendah, perbaikan sistem kesehatan dan ekonomi menjadi kunci agar efek positif kebahagiaan dapat dirasakan. Langkah-langkah seperti pencegahan obesitas, pengendalian konsumsi alkohol, dan peningkatan kualitas udara membantu mengangkat masyarakat melampaui titik kritis 2,7 pada skala kebahagiaan.

**Keterbatasan dan Penelitian Lanjutan**

Penelitian ini masih bersifat ekologis dan bergantung pada laporan diri yang bisa berbeda antarbudaya. Para ilmuwan mendorong riset lanjutan dengan data klinis lebih konkret, seperti tingkat rawat inap atau harapan hidup tanpa disabilitas.

Namun satu hal jelas: kebahagiaan bukan sekadar emosi temporer. Ia dapat menjadi infrastruktur kesehatan yang memperkuat daya tahan tubuh, memperpanjang umur, dan mengurangi beban penyakit kronis—asalkan sudah memiliki fondasi kehidupan yang cukup stabil.

Kebahagiaan bukanlah obat ajaib, namun juga bukan hal sepele. Penelitian ini menegaskan bahwa sedikit rasa bahagia yang tulus, jika muncul dari kehidupan yang stabil, dapat menjadi kunci hidup lebih lama dan sehat.

Tidak perlu menunggu sangat bahagia untuk mulai sehat—cukup pastikan hidup melampaui titik “bertahan hidup”, agar kebahagiaan benar-benar bisa bekerja optimal bagi kesehatan tubuh.


Sumber: Kompas.com


Buku Terkait:

Ensiklopedia Saintis Junior: Tubuh Manusia

Filsafat Maut: Empat Renungan untuk Hidup Baik

Cegah Stunting Sebelum Genting