Selama puluhan tahun, banyak orang menganggap samudra sebagai tempat yang senyap. Namun, anggapan ini berubah total setelah teknologi hydrophone (mikrofon bawah air) diperkenalkan. Samudra ternyata merupakan orkestra besar yang dipenuhi bunyi klik, letupan, hingga siulan dari ribuan spesies penghuninya.
Sayangnya, “orkestra” alami ini kerap kalah oleh kebisingan buatan manusia (antrofoni), seperti kapal kontainer raksasa dan pengeboran bawah laut. Menariknya, pandemi COVID-19 pada 2020 memberikan eksperimen alami yang tak terduga: ketika aktivitas manusia terhenti, laut kembali “bernyanyi”.
**Momen Hening yang Tak Disengaja**
Sebelum pandemi, para ilmuwan dalam proyek International Quiet Ocean Experiment (IQOE) kesulitan mencari cara untuk mengurangi kebisingan global demi meneliti dampaknya pada hewan laut. Namun, lockdown dunia memberikan kesempatan langka tersebut secara gratis.
Data menunjukkan perdagangan maritim global turun 4,1 persen, bahkan di beberapa zona ekonomi, lalu lintas kapal berkurang hingga 70 persen. Akibatnya, laut menjadi jauh lebih tenang.
**Perbedaan Drastis dalam Komunikasi Laut**
“Semua suara individu itu, jika digabungkan, menjadi orkestra ini—ribuan instrumen berbeda yang semuanya bermain pada saat yang sama,” kata Steve Simpson, ahli biologi laut dari University of Bristol.
Di Teluk Hauraki, Selandia Baru, tingkat kebisingan turun hingga sepertiga hanya dalam 12 jam setelah lockdown. Kondisi ini membuat jangkauan komunikasi ikan dan lumba-lumba melonjak hingga 65 persen. Artinya, panggilan lumba-lumba bisa terdengar hingga 1,5 kilometer lebih jauh dari biasanya.
**Suara sebagai Modal Utama Kehidupan Laut**
Bagi makhluk laut, suara bukan sekadar kebisingan, melainkan sarana utama untuk bertahan hidup. Dari sekitar 34.000 spesies ikan, diperkirakan dua pertiganya menghasilkan suara untuk berkomunikasi, mencari makan, dan bereproduksi.
Contoh menarik adalah udang pengertak (snapping shrimp). Hewan kecil ini menghasilkan bunyi “tembakan” berkekuatan 210 desibel hanya dengan mengatupkan capitnya. Suara ini digunakan untuk melumpuhkan mangsa dan mengusir predator.
**Polusi Suara Mengganggu Navigasi Alami**
Polusi suara yang terus meningkat akibat pengiriman barang global—yang mencakup 90 persen barang konsumsi dunia—telah mengacaukan sistem navigasi alami ini.
Miles Parsons dari Australian Institute of Marine Science menganalogikan kondisi ini seperti berada di bar yang ramai. “Jika bar sedang penuh orang, jarak di mana Anda bisa mendengar suara teman Anda akan menjadi jauh lebih kecil,” jelasnya.
**Dampak Serius pada Kehidupan Satwa Laut**
Kebisingan laut bukan hanya gangguan pendengaran. Pada paus bungkuk, suara kapal membuat mereka jarang mencari makan di dasar laut. Pada paus sikat, waktu istirahat induk dan anaknya berkurang drastis saat ada kapal wisata di sekitar mereka.
Lebih serius lagi, sonar militer telah dikaitkan dengan kasus paus terdampar. Beberapa paus yang terdampar ditemukan mengalami pendarahan di sekitar telinga dan otak akibat trauma akustik.
**Stres Kronis dan Dampak Jangka Panjang**
Sama seperti manusia, kebisingan kronis juga menyebabkan stres pada ikan, mempersingkat umur, dan mengurangi keberhasilan reproduksi. Kondisi ini menciptakan rantai dampak negatif yang mempengaruhi keseluruhan ekosistem laut.
**Bukti Pentingnya Mengurangi Polusi Suara**
Melalui momen “hening” di masa pandemi, para ilmuwan kini memiliki bukti kuat bahwa mengurangi volume kebisingan manusia adalah kunci untuk memulihkan kesehatan ekosistem laut.
**Solusi untuk Masa Depan**
Temuan ini membuka jalan bagi pengembangan teknologi kapal yang lebih senyap, pengaturan jalur pelayaran yang lebih bijaksana, dan pembatasan aktivitas yang menghasilkan kebisingan berlebih di area sensitif.
**Restorasi Akustik Laut**
Samudra yang lebih tenang berarti habitat yang lebih baik bagi para penghuninya untuk kembali bernyanyi. Ini bukan hanya tentang melindungi pendengaran satwa laut, tetapi juga tentang memulihkan keseimbangan alami komunikasi dalam ekosistem laut.
**Pelajaran dari Pandemi**
Pandemi COVID-19 telah memberikan pelajaran berharga tentang betapa cepat alam dapat pulih ketika tekanan manusia berkurang. Ini menjadi motivasi untuk mencari cara-cara berkelanjutan dalam mengelola aktivitas maritim.
**Implementasi Kebijakan Maritim**
Data yang diperoleh selama periode tenang pandemi kini menjadi dasar untuk merumuskan kebijakan maritim yang lebih ramah lingkungan, termasuk pengaturan kecepatan kapal dan zona bebas kebisingan untuk area konservasi laut.
Sumber: Kompas.com
Buku Terkait:
Virus, Manusia, Tuhan: Refleksi Lintas Iman tentang Covid-19