Bagaimana Reaksi Manusia Saat Melihat Robot Diperlakukan Kasar?

JAKARTA – Interaksi manusia dengan robot layanan di ruang publik menciptakan fenomena psikologis yang menarik. Ketika seseorang menyaksikan pelanggan memperlakukan robot secara kasar—mulai dari mendorong, membentak, hingga mengejek—reaksi para saksi ternyata terpolarisasi menjadi dua kutub ekstrem.

Sebagian orang justru meniru perilaku buruk tersebut, sementara yang lain menunjukkan empati hingga berupaya menolong robot yang diperlakukan tidak pantas.

**Tim Peneliti Korea Selatan Ungkap Pola Perilaku**

Fenomena kompleks ini menjadi objek penelitian komprehensif yang dipimpin Profesor Taeshik Gong dari Hanyang University ERICA, Korea Selatan. Melalui eksperimen terhadap lebih dari 500 relawan, tim peneliti berusaha mengidentifikasi faktor-faktor yang memicu dua respons kontradiktif tersebut.

Penelitian ini bermula dari asumsi bahwa manusia mempelajari norma sosial melalui observasi terhadap perilaku orang lain. Di ruang publik seperti hotel, bandara, atau pusat perbelanjaan, ketika seseorang memperlakukan robot secara buruk tanpa mendapat sanksi, pengamat di sekitar area tersebut mungkin menganggap perilaku tersebut dapat diterima.

“Tindakan kecil bisa menyebar cepat, baik di antrean, lobi, maupun area tunggu,” tulis tim peneliti dalam laporan yang telah melalui proses peer-review.

**Metodologi Eksperimen dengan Video Interaksi**

Untuk menguji hipotesis tersebut, peneliti menayangkan video singkat yang menampilkan interaksi pelanggan dengan robot layanan. Video dirancang dengan konteks dan tingkat perlakuan yang bervariasi, memastikan semua peserta menyaksikan adegan yang seragam namun dengan intensitas berbeda.

Tim kemudian mengukur dua aspek krusial: apakah menyaksikan robot diperlakukan kasar membuat seseorang menganggap perilaku tersebut lebih dapat diterima, dan apakah melihat “penderitaan” robot memicu empati yang mendorong keinginan untuk membantu.

**Dua Jalur Psikologis Utama**

Hasil penelitian mengungkapkan adanya dua mekanisme psikologis fundamental yang terjadi secara simultan:

**Penularan Perilaku (Behavioral Contagion)**
Ketika seseorang mengamati orang lain bertindak kasar, ambang toleransi kesopanan mereka dapat menurun. Kondisi ini memudahkan peniru perilaku negatif yang diamati.

**Respons Empati**
Sebaliknya, ketika pengamat merasa robot sedang mengalami “penderitaan”, muncul dorongan emosional untuk memberikan bantuan atau perlindungan.

Kedua mekanisme ini tidak berlangsung secara berurutan, melainkan saling bertumpang tindih tergantung pada karakteristik pengamat dan desain robot yang terlibat.

**Pengaruh Desain Robot Terhadap Empati**

Aspek desain robot terbukti memiliki peran signifikan dalam memicu respons empati. Semakin humanoid tampilan dan perilaku robot, semakin besar kemungkinan orang memperlakukannya dengan hormat.

“Ketika robot memiliki mata ekspresif atau suara yang natural, orang cenderung melihatnya lebih seperti manusia,” jelas tim peneliti.

Fenomena ini dikenal sebagai antropomorfisme—kecenderungan memperlakukan objek tak hidup seolah-olah manusia. Penelitian membuktikan bahwa antropomorfisme meningkatkan empati sekaligus mengurangi kecenderungan berperilaku kasar.

**Nilai Moral Pribadi Sebagai Faktor Penentu**

Selain desain robot, nilai moral personal juga mempengaruhi reaksi individu. Orang dengan standar moral tinggi cenderung tidak meniru perilaku kasar dan lebih peduli terhadap “penderitaan” robot.

**Implikasi Praktis untuk Industri Layanan**

Profesor Gong menekankan bahwa temuan penelitian ini dapat diaplikasikan langsung oleh manajer dan perancang layanan publik. “Pelatih bisa membuat protokol dan tanda visual seperti papan pengingat, respons skrip, atau rekaman audio untuk mencegah pelanggan memperlakukan robot secara kasar,” katanya.

Konsistensi menjadi kunci utama. Norma yang terlihat—mulai dari papan petunjuk, respons staf, hingga suara robot—harus sejalan agar pesan kesopanan tersampaikan dengan kuat.

**Prediksi Regulasi Masa Depan**

Gong bahkan memproyeksikan perkembangan regulasi terkait interaksi manusia-robot. “Dalam satu dekade mendatang, kita mungkin akan memiliki kode etik atau aturan hukum tentang perlakuan terhadap robot di tempat kerja.”

**Dampak Terhadap Norma Sosial**

Model dua jalur yang dikembangkan tim Hanyang University memperkuat teori pembelajaran sosial yang menyatakan bahwa manusia belajar melalui observasi terhadap lingkungan sekitar. Jika perilaku kasar terhadap robot dibiarkan tanpa tindakan, ambang batas kesopanan sosial akan bergeser.

Sebaliknya, jika empati lebih sering ditunjukkan, norma kesopanan akan menguat. “Dalam dunia nyata, satu insiden kecil bisa mengubah suasana satu ruangan selama sepuluh menit berikutnya,” tulis laporan penelitian.

**Rekomendasi Strategis**

Tim peneliti merekomendasikan agar perusahaan memanfaatkan temuan ini untuk menciptakan lingkungan yang mendorong empati sebagai norma, bukan pengecualian. Selain desain yang tahan lama, robot sebaiknya dilengkapi dengan ekspresi dan gestur yang dapat memicu empati, tidak hanya perlindungan fisik.

Penelitian ini memberikan wawasan penting tentang dinamika psikologis dalam era di mana robot layanan semakin umum di berbagai sektor. Pemahaman terhadap mekanisme ini dapat membantu menciptakan interaksi yang lebih manusiawi dan etis antara manusia dengan teknologi robot di ruang publik.


Sumber: Kompas.com


Buku Terkait:

Kaum Demokrat Kritis: Analisis Perilaku Pemilih Indonesia

75+ Pertanyaan Seputar Robot

Empati: Menyiapkan Kompetensi Keluarga Indonesia Abad Ke-21