Rangkaian bencana banjir dan tanah longsor yang melumpuhkan berbagai wilayah di Sumatera pada November 2025 menjadi peringatan keras bagi sistem penanggulangan bencana di Indonesia. Peristiwa ini menegaskan pentingnya pemanfaatan sains iklim sebagai fondasi utama mitigasi bencana hidrometeorologi.
Pakar Agrometeorologi dari Departemen Geofisika dan Meteorologi IPB University, Dr. I Putu Santikayasa, menekankan bahwa analisis iklim bukan sekadar kumpulan data, melainkan instrumen strategis untuk menyelamatkan jiwa manusia.
“Kejadian ini menunjukkan bahwa informasi dan analisis iklim memiliki peran strategis dalam mengurangi risiko, meningkatkan kesiapsiagaan, serta memperkuat ketahanan masyarakat menghadapi bencana,” kata Dr. Putu dalam kegiatan LRI TALK #3 bertema “Bersama Menjaga Sumatera” pada Selasa (24/12/2025) seperti dikutip dari laman resmi IPB University.
**Bibit Siklon Pemicu Hujan Ekstrem**
Berdasarkan analisis Dr. Putu, kondisi atmosfer saat bencana terjadi berada dalam keadaan tidak normal. Meski fenomena global seperti Indian Ocean Dipole (IOD) berada pada fase negatif lemah dan La Niña dalam kondisi lemah, terdapat faktor lokal yang sangat dominan.
Munculnya bibit siklon tropis di Selat Malaka diidentifikasi sebagai pemicu utama hujan ekstrem yang mengguyur Sumatera bagian utara.
“BMKG mencatat curah hujan di Sumatera bagian utara mencapai lebih dari 300 milimeter. Bahkan, pada 26 November terjadi hujan harian hingga sekitar 438 milimeter, yang setara dengan curah hujan satu bulan dalam satu hari,” jelasnya.
Anomali ini menjelaskan mengapa banjir bandang dan longsor terjadi dengan intensitas yang begitu dahsyat, hingga menyebabkan lebih dari 50 orang terjebak di tengah hutan selama dua hari dua malam pada 25 November 2025.
**Integrasi Kearifan Lokal dan Teknologi**
Dr. Putu juga menyoroti pentingnya merespons informasi dari masyarakat hulu. Dia mencontohkan kesaksian warga tentang longsoran yang sempat tertahan material kayu di atas bukit sebelum bencana besar melanda.
Menurutnya, sains iklim berperan menerjemahkan potensi bahaya tersebut ke dalam langkah konkret di tiga fase bencana:
**Prabencana:** Memanfaatkan data historis untuk memetakan zona merah dan indeks ekstrem.
**Saat Bencana:** Mengembangkan impact-based forecasting agar respons darurat lebih tepat sasaran.
**Pascabencana:** Proyeksi jangka panjang untuk pembangunan infrastruktur yang adaptif terhadap perubahan iklim.
**Membangun Ketahanan Jangka Panjang**
Di akhir paparannya, Dr. Putu menekankan bahwa integrasi antara teknologi peringatan dini dan kesiapan infrastruktur adalah kunci utama agar masyarakat Sumatera tidak terus menjadi korban siklus cuaca ekstrem.
“Sistem peringatan memberi kita waktu untuk bersiap, dan infrastruktur adaptif memberi kita kapasitas untuk bertahan,” tegas Dr. Putu.
Dia berharap pemerintah daerah dapat memasukkan sains iklim dalam perencanaan pembangunan agar rekonstruksi pascabencana di Sumatera mengarah pada pemulihan ekosistem yang lebih tangguh.
Rekomendasi ini menjadi semakin mendesak mengingat perubahan iklim yang terus mengintensifkan frekuensi dan kekuatan bencana hidrometeorologi di Indonesia.
Sumber: Kompas.com
Buku Terkait: