PURWOREJO – Zona Megathrust Sunda yang membentang di selatan Jawa-Nusa Tenggara berpotensi menghasilkan gempa berkekuatan 9,6 magnitudo dengan siklus 675 tahun. Berdasarkan riset MacAffrey pada 2008, gempa dahsyat ini dapat menimbulkan kerusakan masif dan tsunami raksasa yang mengancam jutaan jiwa.
Proyeksi statistik menunjukkan 28,2 juta penduduk akan terpapar risiko gempa-tsunami pada 2030. Ancaman ekonomi juga signifikan mengingat pertumbuhan pusat ekonomi di pesisir selatan Jawa, terutama setelah pembangunan Bandara Internasional Yogyakarta dan infrastruktur pendukung lainnya.
**Punggungan Pasir Pembentuk Benteng Alami**
Tim Riset Tsunami Selatan Jawa BRIN mengidentifikasi adanya perlindungan alami berupa punggungan pasir pantai sepanjang 40 kilometer dari Kebumen hingga Purworejo. Formasi geologis ini terbentuk melalui proses ribuan tahun dan berfungsi sebagai penghalang tsunami.
Tinggi rata-rata benteng alami ini mencapai 8 meter dengan jarak 400-500 meter dari garis pantai. Di segmen Kebumen-Purworejo, ketinggiannya mencapai 10-13 meter, sedangkan di ruas Kulonprogo-Bantul sekitar 6 meter.
**Formasi Teras Laut Holosen Maksimum**
Benteng alami ini merupakan dinding dataran pantai purba yang terbentuk 6.000 tahun silam ketika permukaan air laut berada 3 meter di atas level saat ini. Dalam terminologi geologi, formasi ini disebut Teras Laut Holosen Maksimum (TLHM).
Struktur berundak-undak ini mencerminkan fluktuasi permukaan air laut selama ribuan tahun. Setiap undakan merepresentasikan ketinggian muka air laut pada periode waktu tertentu. Perbedaan kecepatan pengangkatan daratan menyebabkan variasi ketinggian TLHM antar wilayah.
**Efektivitas Perlindungan Berdasarkan Magnitudo**
Penelitian menunjukkan pemukiman di Kebumen dan Purworejo yang terletak di atas TLHM memiliki tingkat kerawanan lebih rendah karena berada pada ketinggian di atas 9 meter dari permukaan laut. Kondisi ini berbeda dengan Cilacap yang berada pada dataran pantai modern di bawah 5 meter.
Untuk tsunami akibat gempa bermagnitudo di bawah 8, seperti yang terjadi di Palu 2018 (M 7,5), Mentawai 2010 (M 7,7), dan Pangandaran 2006 (M 7,7), jangkauan genangan maksimal kurang dari 600 meter dari garis pantai. TLHM diperkirakan mampu menahan laju tsunami tersebut.
**Perbandingan dengan Tsunami Destruktif**
Tsunami Samudera Hindia 2004 akibat gempa M 9,3 mencapai jangkauan 5 kilometer dari pantai di Aceh dan Sumatera Utara. Tsunami Sendai 2011 dari gempa M 9,0 juga mencapai 5 kilometer, bahkan 10 kilometer di beberapa wilayah Prefektur Miyagi dan Fukushima.
Jika tsunami serupa terjadi di pesisir selatan Jawa, TLHM di Kebumen dan Purworejo diprediksi dapat mengurangi ketinggian gelombang dan membatasi jarak genangan secara signifikan.
**Kerentanan Cilacap yang Tinggi**
Sebagian besar pemukiman Cilacap berada di teras laut modern dengan ketinggian kurang dari 5 meter dan berdekatan dengan pantai. Kondisi ini memberikan waktu evakuasi lebih singkat dan risiko lebih tinggi.
Tsunami dari gempa M 7-8 hanya menjangkau pemukiman berjarak kurang dari 600 meter dari pantai. Namun tsunami akibat gempa M 9 berpotensi mencapai pusat Kota Cilacap yang berjarak kurang dari 3 kilometer dari garis pantai.
**Pembelajaran dari Tembok Laut Jepang**
Sebelum tsunami Sendai 2011, Jepang telah membangun tembok laut setinggi 5 meter di pantai timur untuk mengantisipasi Siklus Miyagi-Oki, gempa bermagnitudo 7-8 yang berulang setiap 30-50 tahun. Namun tsunami 2011 menghasilkan gelombang setinggi 34 meter yang menghancurkan sebagian besar tembok tersebut.
Bahkan Bandara Sendai yang berjarak 1,1 kilometer dari pantai dan terlindungi tembok laut serta hutan pinus selebar 500 meter tetap terendam hingga 4 meter.
**Investasi Masif untuk Perlindungan**
Pascabencana, Jepang membangun kembali tembok laut setinggi 12-15 meter sepanjang 395 kilometer dengan biaya 138 triliun rupiah. Proyek yang baru selesai ini menuai pro-kontra terkait dampak sosial dan lingkungan terhadap ekosistem laut.
Sebagian ahli mempertanyakan efektivitas tembok tersebut jika tsunami kembali melampaui ketinggiannya, seperti kejadian 2011.
**Ancaman Penambangan Pasir Benteng Alami**
Sementara Jepang mengeluarkan investasi masif, benteng alami tsunami di Kebumen-Purworejo justru terancam aktivitas penambangan pasir. Hal ini mengindikasikan kurangnya pemahaman pemerintah daerah tentang fungsi vital formasi geologis tersebut.
Jika harus membangun tembok laut sepanjang 40 kilometer seperti Jepang, pemerintah Indonesia memerlukan setidaknya 14 triliun rupiah, setara 14 kali anggaran BNPB dalam APBN 2025.
**Keuntungan Benteng Alami**
Benteng alami tsunami memberikan perlindungan secara cuma-cuma tanpa dampak negatif terhadap lingkungan. Jika dikelola dengan bijak, formasi ini tidak hanya efektif untuk mitigasi risiko tsunami tetapi juga dapat menjaga ekosistem dan meningkatkan keanekaragaman hayati.
**Urgensi Konservasi**
Keberadaan benteng alami tsunami di Kebumen-Purworejo merupakan anugerah geologis yang sangat berharga. Mengingat besarnya investasi yang diperlukan untuk membangun perlindungan buatan, konservasi formasi alami ini menjadi prioritas penting.
**Implikasi Kebijakan**
Temuan ini menuntut revisi kebijakan tata ruang dan pertambangan di wilayah pesisir. Pemerintah daerah perlu mengintegrasikan aspek mitigasi bencana dalam perencanaan pembangunan dan melarang aktivitas yang merusak benteng alami.
**Rekomendasi Pengelolaan**
Para peneliti menyarankan penetapan zona konservasi khusus untuk melindungi TLHM dari aktivitas destruktif. E
Sumber: Kompas.com
Buku Terkait: