Pesisir selatan Jawa memiliki pertahanan alami yang terbentuk sejak 6.000 tahun lalu, membentang dari Kebumen hingga Purworejo. Punggungan pasir setinggi belasan meter ini berfungsi sebagai pembatas antara daratan dan lautan serta pelindung dari tsunami.
Namun, tembok raksasa ini perlahan menghilang dan berada dalam kondisi kritis akibat penambangan pasir, meninggalkan ancaman bencana bagi penduduk.
Penelitian terbaru dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) memperingatkan bahwa hilangnya benteng alami ini akan mengekspos jutaan jiwa langsung terhadap ancaman tsunami besar dari zona megathrust.
**Formasi Geologi Berusia Ribuan Tahun**
Punggungan pasir ini bukanlah tumpukan debu biasa. Peneliti Pusat Riset Kebencanaan Geologi BRIN, Eko Yulianto, menjelaskan bahwa formasi ini disebut Teras Laut Holosen Maksimum (TLHM).
Struktur ini terbentuk sekitar 6.000 tahun lalu saat permukaan laut lebih tinggi 3-5 meter dari kondisi saat ini. Membentang sejauh 40 kilometer dengan ketinggian mencapai 6 hingga 13 meter, benteng ini menjadi penghalang fisik yang efektif untuk meredam energi gelombang tsunami sebelum mencapai permukiman penduduk.
“Benteng alam ini terbentuk melalui proses geologi ribuan tahun, dan fungsinya sangat vital bagi keselamatan warga pesisir. Jika punggungan pasir ini rusak, kita kehilangan perlindungan paling dasar dari tsunami,” tegas Eko Yulianto.
**Variasi Tingkat Kerentanan Antarwilayah**
Hasil riset yang didukung program RIIM BRIN 2025 menunjukkan perbedaan kerawanan yang signifikan antarwilayah. Di Kebumen dan Purworejo, permukiman yang berada di atas punggungan setinggi lebih dari sembilan meter relatif lebih terlindungi dari tsunami skala menengah.
Kondisi berbeda terjadi di Cilacap. Wilayah ini berada di ketinggian rendah, yakni nol hingga empat meter di atas permukaan laut.
“Sebaliknya, kawasan Cilacap yang hanya berada di ketinggian nol hingga empat meter lebih rentan karena berada langsung di dataran pantai modern,” jelas Eko.
**Ancaman Megathrust dan Dampak Ekonomi**
Kajian kebumian mengungkap fakta mengkhawatirkan: zona megathrust Jawa-Nusa Tenggara mampu memicu gempa hingga magnitudo 9,6 dengan siklus 675 tahun. Dalam skenario terburuk, tsunami bisa menyapu daratan hingga berkilo-kilometer.
Di sinilah punggungan pasir menjadi pertahanan terakhir untuk memperlambat laju air. Ironisnya, saat alam memberikan perlindungan secara gratis, manusia justru menghancurkannya.
**Perbandingan Biaya yang Fantastis**
Jika benteng ini hilang, biaya untuk membangun tembok laut buatan sangat fantastis. Sebagai perbandingan, Jepang menghabiskan Rp 138 triliun untuk membangun tembok laut pasca-tsunami 2011.
Untuk wilayah selatan Jawa saja, biaya pembangunan tembok buatan bisa mencapai Rp 14 triliun—setara 14 kali lipat anggaran BNPB tahun 2025.
“Menghancurkan punggungan pasir sama saja dengan melepas pelindung terakhir masyarakat dari ancaman tsunami. Ini bukan hanya masalah geologi, tetapi soal kemanusiaan,” tambah Eko.
**Urgensi Pelestarian**
Melindungi punggungan pasir di selatan Jawa bukan sekadar menjaga tumpukan material bumi, melainkan upaya memastikan keselamatan generasi masa depan dari gempuran samudra yang bisa datang kapan saja.
**Dampak Penambangan Pasir**
Aktivitas penambangan pasir telah menggerus struktur alami ini secara masif. Pengambilan material yang tidak terkontrol menyebabkan degradasi fungsi protektif punggungan pasir terhadap gelombang tsunami.
**Kebutuhan Kebijakan Terintegrasi**
Para ahli menekankan perlunya kebijakan terintegrasi yang melibatkan pemerintah pusat, daerah, dan masyarakat untuk menghentikan degradasi benteng alami ini. Moratorium penambangan pasir di area kritis menjadi salah satu usulan utama.
**Alternatif Mitigasi Bencana**
Selain pelestarian punggungan pasir, diperlukan juga pengembangan sistem peringatan dini tsunami yang lebih canggih dan jalur evakuasi yang memadai untuk meminimalkan risiko korban jiwa.
**Edukasi Masyarakat**
Peningkatan kesadaran masyarakat tentang pentingnya menjaga benteng alami ini menjadi kunci keberhasilan upaya pelestarian. Sosialisasi tentang fungsi ekologis dan ekonomis punggungan pasir perlu digalakkan.
**Penelitian Lanjutan**
Tim BRIN berencana melanjutkan penelitian untuk memetakan secara detail kondisi punggungan pasir di seluruh pantai selatan Jawa dan mengembangkan model prediksi kerusakan untuk mendukung kebijakan mitigasi bencana.
Sumber: Kompas.com
Buku Terkait: