BOGOR – Riset Ipsos 2024 mengungkap fakta mengkhawatirkan tentang kondisi anak-anak Indonesia. Sebanyak 37 persen orang tua menjadikan kesehatan mental anak sebagai keprihatinan utama, sementara 35 persen lainnya cemas dengan fenomena perundungan yang mengintai.
Prof. Dwi Hastuti dari Departemen Ilmu Keluarga IPB University menilai angka tersebut sudah mencapai level “early warning” yang memerlukan perhatian serius. “Angka kekhawatiran di atas 30 persen sudah menjadi sinyal bahaya. Idealnya, tidak ada orang tua yang merasa cemas karena lingkungan seharusnya memberikan rasa aman bagi anak,” tegas Prof. Dwi.
**Paparan Konten Digital Tanpa Filter Jadi Ancaman Utama**
Era digitalisasi membawa kompleksitas baru dalam dunia pengasuhan. Anak-anak kini mudah terekspos berbagai konten melalui platform media sosial, film, hingga musik yang tidak selalu sesuai dengan tahap perkembangan mereka.
Konten yang mengandung unsur pornografi dan kekerasan menjadi risiko nyata jika tidak diimbangi dengan pendidikan karakter yang solid dari lingkungan keluarga. Prof. Dwi menjelaskan bahwa anak yang tidak mendapat bimbingan tepat dari orang tua akan rentan terpengaruh oleh paparan negatif tersebut.
“Situasi semakin berbahaya ketika lingkungan sekolah dan masyarakat justru memperkuat pola perilaku destruktif seperti kekerasan atau tindakan asusila,” ungkapnya.
**Keluarga sebagai Benteng Pertama Pembentukan Karakter**
Meskipun institusi pendidikan, masyarakat, dan pemerintah memiliki peran penting, keluarga tetap menjadi pondasi utama dalam membentuk karakter anak menghadapi krisis moral dan mental di era digital.
Untuk memastikan perkembangan emosional dan moral yang sehat, Prof. Dwi menekankan pentingnya memberikan stimulus emosi positif sejak usia dini. Hal ini bertujuan membangun attachment yang kuat antara orang tua dan anak serta membentuk konsep diri yang positif.
**Integrasi Nilai Spiritual dalam Pola Asuh Modern**
Pakar ilmu keluarga ini merekomendasikan penguatan pengasuhan yang mengintegrasikan dimensi spiritual dan religius. Penanaman nilai-nilai kasih sayang, empati, dan tanggung jawab harus dikomunikasikan secara konsisten melalui berbagai saluran agar tertanam dalam kesadaran generasi muda.
Prof. Dwi menegaskan perlunya mengganti nilai-nilai destruktif seperti materialisme, arogansi, dan ujaran kebencian dengan prinsip The God Command Theory. Konsep ini menanamkan keyakinan bahwa setiap perbuatan manusia akan mendapat konsekuensi di hadapan Tuhan.
**Kolaborasi Multi-Sektoral untuk Mengatasi Krisis Moral**
Menghadapi tantangan kompleks ini, Prof. Dwi menekankan perlunya sinergi solid antara keluarga, institusi pendidikan, dan pemerintah dalam menangani krisis moral yang melanda generasi muda.
“Melalui kolaborasi strategis dan penguatan nilai-nilai moral, kita dapat mewujudkan generasi yang berakhlak mulia dan memiliki daya saing tinggi namun tetap mempertahankan identitas bangsa,” pungkas Prof. Dwi Hastuti.
Strategi komprehensif ini diharapkan dapat menjadi solusi efektif untuk menanggulangi dampak negatif digitalisasi terhadap perkembangan anak-anak Indonesia.
Sumber: Kompas.com
Buku Terkait: