Pengadilan China mewajibkan sebuah sekolah di Hengzhou, Nanning, untuk membayar kompensasi kepada siswi yang mengalami gangguan mental akut setelah menonton film horor di dalam kelas. Pengadilan Rakyat Hengzhou memutuskan perusahaan asuransi sekolah harus memberikan ganti rugi sebesar 9.182 yuan atau sekitar Rp 21,4 juta.
**Insiden Bermula dari Jam Kosong**
Kejadian terjadi pada Oktober 2023 di sebuah sekolah menengah atas wilayah otonomi Guangxi Zhuang, China selatan. Saat itu, guru pengawas sedang cuti, sehingga siswa menjalani sesi belajar mandiri tanpa supervisi langsung.
Beberapa siswa kemudian mengusulkan menonton film untuk mengisi waktu. Atas persetujuan ketua kelas dan teman sekelas lainnya, mereka memilih sebuah film bergenre horor, meskipun judul film tersebut tidak disebutkan dalam laporan pengadilan.
**Gejala Gangguan Mental Muncul Malam Hari**
Pada malam yang sama, seorang siswi dengan nama samaran Zihan mulai menunjukkan perilaku abnormal. Saat berbicara melalui telepon dengan ibunya, ia mengalami kebingungan dan berbicara tidak koheren.
Keluarga segera membawa Zihan ke rumah sakit, di mana dokter mendiagnosis kondisinya sebagai gangguan psikotik akut sementara. Kondisi ini ditandai dengan hilangnya kontak dengan realitas yang dapat dipicu oleh tekanan psikologis ekstrem.
**Gugatan Hukum dan Bantahan Sekolah**
Orangtua Zihan meyakini bahwa gangguan mental anaknya dipicu langsung oleh paparan film horor di sekolah. Mereka menggugat pihak sekolah karena dianggap lalai dalam pengawasan dan menuntut kompensasi sebesar 30.000 yuan (sekitar Rp 70 juta).
Pihak sekolah membantah tuduhan tersebut dengan menyatakan bahwa gangguan mental siswi disebabkan oleh faktor kesehatan pribadi, bukan akibat aktivitas sekolah. Sekolah juga menekankan bahwa mereka telah memiliki sistem pendidikan psikologis yang memadai.
Sebagai bukti komitmen terhadap keselamatan siswa, sekolah menunjukkan bahwa seluruh murid telah diasuransikan dengan batas pertanggungan hingga 500.000 yuan (sekitar Rp 1,1 miliar) per individu.
**Putusan Pengadilan dan Pembagian Tanggung Jawab**
Dalam persidangan, hakim mencatat bahwa Zihan tidak memiliki riwayat gangguan mental sebelumnya, begitu pula dengan keluarganya. Fakta ini memperkuat argumen bahwa insiden tersebut dipicu oleh faktor eksternal.
Pengadilan akhirnya memutuskan bahwa sekolah menanggung 30 persen tanggung jawab atas kejadian tersebut. Keputusan ini didasarkan pada kegagalan sekolah dalam mengawasi konten yang ditonton siswa selama jam pelajaran.
Sementara itu, 70 persen tanggung jawab lainnya dianggap berasal dari faktor kondisi fisik dan mental Zihan sendiri. Berdasarkan putusan ini, perusahaan asuransi sekolah diperintahkan membayar kompensasi sebesar 9.182 yuan kepada keluarga korban.
**Reaksi Publik di Media Sosial**
Kasus ini memicu perdebatan hangat di platform media sosial China, khususnya Weibo. Sebagian pengguna medsos mendukung keputusan pengadilan dan menilai sekolah memang harus bertanggung jawab atas pilihan konten yang tidak sesuai untuk lingkungan pendidikan.
“Jelas sekolah bertanggung jawab. Film horor bukan pilihan bijak untuk ditonton di sekolah,” tulis salah satu pengguna Weibo.
Namun, ada pula yang menganggap insiden tersebut hanya kecelakaan yang tidak dapat diprediksi. “Mulai sekarang, sekolah ini mungkin tak akan berani memutar film apapun,” komentar pengguna lain.
Kasus ini menyoroti pentingnya pengawasan konten yang dikonsumsi siswa di lingkungan sekolah serta tanggung jawab institusi pendidikan dalam menjaga kesehatan mental peserta didik. Kejadian ini juga mengingatkan perlunya pedoman yang jelas mengenai jenis hiburan yang pantas disajikan dalam konteks pendidikan.
Sumber: Kompas.com
Buku Terkait: