Deforestasi Bukan Sekadar Penyebab Banjir: Ia Pemanas Bumi yang Kita Biarkan Menyala

Setiap kali banjir besar terjadi, publik segera mencari penjelasan praktis: hujan yang terlalu deras, tanah yang tidak mampu menyerap air, atau sungai yang meluap. Masyarakat seolah menemukan jawaban yang memuaskan dengan menjadikan cuaca ekstrem sebagai kambing hitam utama.

**Penyebab Fundamental yang Terabaikan**

Namun terdapat satu lapisan penyebab yang lebih mendasar dan lebih tersembunyi—yang jarang dibahas dalam ruang redaksi maupun diskusi publik: hilangnya hutan dan dampaknya terhadap pemanasan global serta potensi pemanasan laut.

**Pemahaman Terbatas tentang Dampak Deforestasi**

Selama ini penebangan hutan sering dipahami hanya sebagai pemicu longsor atau banjir—sebuah risiko lingkungan berskala lokal yang dampaknya langsung terasa. Padahal deforestasi memiliki implikasi jauh lebih luas dari sekadar aliran air yang deras; ia juga berkaitan dengan perubahan iklim global, perubahan suhu daratan dan laut, kerusakan siklus karbon, serta gangguan pada siklus kelembapan dan cuaca.

**Data Deforestasi Terkini Indonesia**

Menurut data resmi terbaru dari Kementerian Kehutanan Republik Indonesia, pemantauan tahun 2024 menunjukkan deforestasi netto Indonesia mencapai 175.400 hektar.

**Kehilangan Hutan Masif di Sumatera**

Khusus untuk Pulau Sumatera yang terdiri dari provinsi Aceh, Sumatra Utara, Sumatra Barat, Riau, dan lainnya, data menunjukkan bahwa selama periode 2023-2024 saja, Sumatera kehilangan sekitar 222.000 hektar hutan alam.

**Distribusi Deforestasi per Provinsi**

Angka-angka ini menggambarkan betapa cepatnya deforestasi berlangsung, terutama di kawasan rawan bencana. Data khusus menyebutkan deforestasi netto di Riau pada 2024 mencapai sekitar 29.700 hektar; disusul Aceh sekitar 11.200 hektar, Sumatra Utara 7.000 hektar, dan Sumatra Barat 6.600 hektar.

**Hutan sebagai Penyimpan Karbon Raksasa**

Hutan tropis seperti yang dimiliki Sumatera bukan sekadar hamparan hijau, melainkan “penyimpan karbon” yang vital. Ketika hutan ditebang atau dibabat, karbon yang selama bertahun-tahun tersimpan dalam pohon, akar, dan tanah dilepaskan kembali ke atmosfer sebagai CO2, memperkuat efek rumah kaca.

**Potensi Emisi dari Deforestasi**

Menurut kajian yang dikutip media populer, faktor emisi dari deforestasi bervariasi tergantung jenis hutan. Estimasi konservatif menyebutkan hutan tropis dapat menyimpan sekitar 200-300 ton karbon per hektar, tergantung tipe dan kondisi.

**Dampak Masif Kehilangan Hutan Sumatera**

Dengan demikian, hilangnya ribuan hektar hutan di Sumatera dalam waktu singkat berarti pelepasan karbon dalam skala besar yang kemudian memperparah pemanasan global.

**Fungsi Pendingin Alami yang Hilang**

Lebih dari itu, hutan juga berfungsi sebagai pendingin alami bumi melalui proses evapotranspirasi, menyerap panas, dan menciptakan kelembapan serta sirkulasi cuaca lokal. Hilangnya tutupan hutan berarti lenyapnya sistem pendingin tersebut.

**Efek Domino ke Laut dan Sistem Cuaca**

Dampak deforestasi tidak berhenti di atmosfer, tetapi meluas ke laut dan sistem cuaca global. Sebuah studi ilmiah menunjukkan bahwa deforestasi di kawasan hutan tropis dapat menyebabkan pemanasan permukaan (land-surface temperature) secara regional, dengan efek yang bisa terasa hingga ratusan kilometer dari lokasi penebangan.

**Beban Tambahan untuk Lautan**

Ketika karbon meningkat di atmosfer, efek rumah kaca akan menaikkan suhu global, termasuk suhu air laut. Laut yang sedari awal merupakan penyerap besar karbon dan panas akan memikul beban tambahan.

**Melemahnya Kemampuan Daratan**

Jika tutupan hutan terus berkurang, kemampuan daratan untuk menyerap panas dan karbon ikut melemah, dan laut akan semakin banyak menyerap panas dan CO2. Kondisi ini berpotensi menaikkan suhu permukaan laut, mengubah sirkulasi laut, meningkatkan frekuensi cuaca ekstrem, serta memperparah polanya.

**Degradasi Fungsi Carbon Sink**

Penelitian global bahkan menunjukkan bahwa fungsi “carbon sink” hutan yang dulu mampu menyerap sebagian besar emisi manusia kini sedang melemah. Artinya, bukan hanya kehilangan hutan, tetapi juga kehilangan kemampuan alam untuk “menyerap balik” emisi yang dihasilkan manusia.

**Kalkulasi Emisi dari Deforestasi Sumatera**

Melihat data 2023-2024 dengan sekitar 222.000 hektar hilang di Sumatera, potensi emisi karbon dan dampak iklim dari kawasan ini saja sudah sangat besar. Dengan asumsi konservatif bahwa setiap hektar yang hilang menyimpan paling tidak 200 ton karbon (atau setara dengan ratusan ton CO2 ketika dilepaskan), kehilangan ratusan ribu hektar berarti pelepasan karbon dalam skala puluhan juta ton CO2.

**Skala Emisi yang Mengkhawatirkan**

Jumlah tersebut bukan angka kecil—setara dengan ratusan ribu hingga jutaan kendaraan bermotor yang terus mengeluarkan emisi selama bertahun-tahun. Kondisi ini terjadi bersamaan dengan pelemahan penyerap karbon alami, yaitu hutan yang hilang.

**Implikasi Lokal dan Global**

Dampaknya tidak hanya bersifat lokal (banjir, longsor, kehilangan keanekaragaman hayati), tetapi juga global—pemanasan atmosfer, pemanasan laut, gangguan sirkulasi cuaca, perubahan pola hujan, dan meningkatnya kerawanan bencana alam.

**Urgensi Penanganan Komprehensif**

Fenomena ini menunjukkan bahwa penanganan bencana alam tidak dapat lagi hanya fokus pada mitigasi dampak jangka pendek, tetapi harus menyentuh akar masalah yang lebih fundamental, yaitu pelestarian hutan sebagai penstabil iklim regional dan global.

**Tantangan Kebijakan Lingkungan**

Data deforestasi yang terus meningkat di Sumatera menuntut evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan pengelolaan hutan dan penegakan hukum lingkungan. Tanpa tindakan konkret, siklus bencana alam akan terus berulang dengan intensitas


Sumber: Kompas.com


Buku Terkait:

Nat Geo: Cuacapedia

Ensiklopedia Saintis Junior: Laut

Laut Bercerita