JAKARTA – Terbangun spontan pada dini hari sekitar pukul 03.00 bukanlah anomali atau gangguan tidur sebagaimana anggapan umum. Fenomena ini ternyata merupakan warisan alami pola istirahat manusia yang telah berlangsung ribuan tahun dalam sejarah peradaban.
Sepanjang sebagian besar perjalanan umat manusia, konsep tidur delapan jam berturut-turut seperti saat ini justru tidak pernah menjadi norma. Masyarakat masa lampau menerapkan sistem “segmented sleep” atau tidur terbagi yang terdiri dari “first sleep” dan “second sleep”.
**Rekam Jejak Sejarah Pola Tidur Ganda**
Dokumentasi historis dari berbagai belahan dunia mencatat keberadaan pola tidur dua fase yang berlangsung selama berabad-abad. Catatan dari Eropa, Afrika, Asia, hingga Amerika menunjukkan bahwa masyarakat dahulu beristirahat lebih awal setelah matahari tenggelam, kemudian bangkit di pertengahan malam sebelum kembali tidur hingga subuh.
Setiap sesi tidur berlangsung beberapa jam dengan jeda terjaga sekitar satu hingga dua jam di tengah malam. Periode ini bukan waktu sia-sia, melainkan masa paling tenang dan reflektif dalam siklus harian.
Aktivitas yang umum dilakukan selama jeda ini mencakup berdoa, membaca, menulis jurnal, merefleksikan mimpi, berkomunikasi dengan keluarga, atau menjalankan intimasi dengan pasangan. Bahkan sastrawan klasik seperti Homer dan Virgil mengabadikan konsep “jam yang mengakhiri tidur pertama” dalam karya-karya mereka.
**Revolusi Industri dan Perubahan Paradigma Tidur**
Transformasi pola tidur mulai terjadi sekitar dua abad terakhir seiring kemajuan teknologi penerangan. Adopsi lampu minyak, gas, dan kemudian listrik pada abad ke-18 hingga ke-19 mengubah fundamentalnya ritme sirkadian manusia.
Penerangan buatan memungkinkan perpanjangan aktivitas malam hari, menggeser waktu tidur menjadi lebih larut. Konsekuensinya, ritme alami tidur bifasik tergantikan oleh pola monofasik yang kini dianggap standar.
Revolusi Industri semakin mempercepat transformasi ini melalui penetapan jadwal kerja pabrik yang rigid. Sistem produksi menuntut waktu istirahat yang kompak dan konsisten, melahirkan konsep “tidur delapan jam tanpa gangguan” yang dipromosikan sebagai ideal kesehatan.
**Validasi Ilmiah Pola Tidur Alami**
Eksperimen kontemporer membuktikan bahwa tubuh manusia masih mempertahankan kecenderungan tidur segmented. Penelitian dengan simulasi malam musim dingin tanpa cahaya buatan menunjukkan bahwa partisipan secara alami kembali ke pola dua fase tidur.
Studi di komunitas agraris Madagaskar yang hidup tanpa akses listrik mengkonfirmasi temuan serupa. Masyarakat tersebut masih menjalankan pola tidur tradisional dengan periode terjaga di tengah malam yang dimanfaatkan untuk aktivitas sosial dan spiritual.
**Peran Cahaya dalam Regulasi Sirkadian**
Cahaya memainkan peranan krusial dalam mengatur jam biologis internal (circadian rhythm). Paparan cahaya nokturnal menekan produksi melatonin dan mengalterasi timing tidur natural.
Intensitas dan spektrum cahaya, khususnya cahaya biru pada pagi hari, sangat penting untuk memelihara keseimbangan hormon tidur-bangun. Gangguan pada sinkronisasi ini dapat menyebabkan berbagai problem kesehatan jangka panjang.
Riset di Environmental Temporal Cognition Lab, Keele University, mengungkap korelasi kuat antara pencahayaan, mood, dan persepsi temporal. Dalam eksperimen menggunakan video 360 derajat, subjek melaporkan persepsi waktu yang melambat dalam kondisi gelap atau suasana sore, terutama pada individu dengan kondisi emosi rendah.
**Adaptasi Genetik dan Geografis**
Penelitian tahun 1993 di Islandia menemukan fenomena menarik terkait adaptasi terhadap variasi cahaya musiman. Penduduk lokal dan keturunannya di Kanada menunjukkan tingkat Seasonal Affective Disorder (SAD) yang rendah dibanding populasi lain.
Temuan ini mengindikasikan adanya faktor genetik dan rutinitas sosial yang memfasilitasi adaptasi lebih baik terhadap malam panjang Arktik. Hal ini membuka wawasan tentang variabilitas individual dalam respons terhadap perubahan pola cahaya-gelap.
**Redefinisi Konsep Insomnia**
Terbangun sejenak di tengah malam sebenarnya merupakan bagian normal dari transisi antar fase tidur, khususnya menjelang fase REM yang berkaitan dengan aktivitas mimpi. Problematika muncul ketika kondisi ini diinterpretasikan sebagai gangguan.
Di era modern, stigma terhadap “gangguan tidur” menciptakan anxiety yang justru memperparah kondisi. Ketika seseorang terbangun dan merasa cemas karena tidak bisa kembali tertidur, sistem saraf simpatik teraktivasi dan mempersulit proses kembali ke fase istirahat.
**Strategi Manajemen Tidur Kontemporer**
Pakar somnologi merekomendasikan pendekatan yang lebih santai terhadap episode terjaga nokturnal. Jika terjaga lebih dari 20 menit, disarankan untuk bangkit dan melakukan aktivitas ringan dalam pencahayaan redup.
Aktivitas yang cocok mencakup membaca dengan cahaya minimal, mendengarkan musik instrumental yang menenangkan, atau praktik meditasi sederhana. Yang penting dihindari adalah melihat jam atau engaging dengan stimulasi visual tinggi seperti layar elektronik.
Darren Rhodes, direktur Environmental Temporal Cognition Lab di Keele University, menekankan pentingnya “ketenangan dalam menerima waktu terjaga dan memahami bagaimana otak memproses persepsi temporal” sebagai kunci untuk kembali tidur nyenyak.
**Implikasi untuk Kesehatan Mental**
Pemahaman yang lebih komprehensif tentang pola tidur natural dapat mengurangi stigma dan anxiety terkait “gangguan” tidur. Normalisasi episode terjaga nokturnal berpotensi menurunkan tingkat stress dan meningkatkan kualitas istirahat secara keseluruhan.
**Relevansi dalam Gaya Hidup Modern**
Meski impossible untuk sepenuhnya kembali ke pola tidur pramodern, awareness tentang fleksibilitas natural sistem tidur dapat membantu individu mengembangkan strategi istirahat yang lebih adaptif dan less stressful.
Integrasi pengetahuan historis dan riset kontemporer tentang tidur offer perspektif baru untuk mengoptimalkan kualitas istirahat dalam konteks kehidupan yang semakin complex dan technology-driven.
Sumber: Kompas.com
Buku Terkait: