Foto Pelari Dijual Tanpa Izin di Marketplace AI, Apa yang Harus Dilakukan?

JAKARTA – Tren olahraga lari yang kian populer di kalangan masyarakat urban melahirkan fenomena baru: munculnya para fotografer dadakan yang mengambil foto pelari tanpa izin. Mereka memanfaatkan momen ketika orang berlari untuk kemudian menjual hasil jepretannya melalui platform digital berbasis kecerdasan buatan (AI).

Kegemaran berlari yang sering disebut sebagai budaya “pelari kalcer” (plesetan dari kata “culture”) telah menciptakan peluang bisnis baru bagi fotografer. Namun, praktik ini menimbulkan kontroversi terkait pelanggaran privasi dan hak cipta.

**Praktik Kontroversial di Ruang Publik**

Para fotografer ini biasanya memposisikan diri di titik-titik strategis tanpa meminta persetujuan dari objek foto. Mereka tidak hanya beroperasi di acara marathon resmi, tetapi juga di kawasan olahraga yang merupakan ruang publik.

Kehebohan semakin meningkat ketika hasil foto tersebut diunggah ke marketplace AI yang memungkinkan siapa saja mencari dan membeli foto mereka menggunakan fitur pengenalan wajah (face recognition). Pelari dapat menemukan foto diri mereka sendiri melalui teknologi ini dan harus membayar jika ingin memilikinya.

Perdebatan mengenai praktik ini viral di media sosial, khususnya platform X. Seorang pengguna @inius********** mengkritik keras tindakan ini pada Minggu (26/10/2025): “This is a disaster, go to hell guys. Its privacy, in other countries, u are not allowed to take pict someone randomly on public.”

**Aspek Hukum Pidana**

Abdul Fickar Hadjar, ahli Hukum Pidana dari Universitas Trisakti, memastikan bahwa memotret dan menjual foto orang tanpa izin dapat dikenai sanksi pidana. “Ya, jika tanpa persetujuan orang yang ada pada objek foto, jelas merupakan tindak pidana,” tegasnya kepada Kompas.com, Senin (27/10/2025).

Menurut Fickar, tindakan tersebut melanggar dua pasal sekaligus: Pasal 335 KUHP tentang perbuatan tidak menyenangkan dengan ancaman hukuman satu tahun, dan Pasal 310 KUHP tentang penghinaan atau pencemaran nama baik dengan ancaman hukuman sembilan bulan.

Selain sanksi pidana, pelaku juga dapat dituntut secara perdata berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata tentang perbuatan melawan hukum.

**Perlindungan Hak Cipta**

Anjar Sri Ciptorukmi Nugraheni, dosen Hukum Perdata Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, menjelaskan bahwa potret termasuk karya fotografi yang dilindungi rezim Hak Cipta. “Dalam kasus pidana tersebut, juga bisa sekalian diminta ganti rugi,” katanya.

Ia menekankan bahwa distribusi dan komersialisasi foto harus seizin pencipta dan pemegang hak cipta. “Jika pihak ketiga memanfaatkan HKI tanpa izin, tentu bisa digugat melalui Perbuatan Melawan Hukum (PMH). Bahkan juga bisa dipidana.”

**Pelanggaran Data Pribadi**

Rustamaji, pakar Hukum Acara Pidana Fakultas Hukum UNS, menyoroti penggunaan fitur face recognition untuk tujuan komersial tanpa persetujuan. “Ancaman pidana juga dapat dikenakan bila data digunakan untuk tujuan komersial tanpa persetujuan, misalnya menjual foto pribadi melalui fitur Face Recognition AI,” ungkapnya.

Ia menambahkan bahwa fotografer, pengelola situs, atau perusahaan dapat dipidana sesuai materinya berdasarkan pelanggaran yang dilakukan.

**Langkah Penanganan**

Rustamaji memberikan panduan langkah-langkah yang dapat dilakukan korban:

**Tindakan Segera:**
– Melakukan pengaduan ke platform atau layanan digital terkait
– Meminta penghapusan dan pemutusan akses atas foto tersebut
– Melaporkan ke otoritas seperti Komisi Perlindungan Data Pribadi atau kepolisian siber dengan bukti pelanggaran

**Langkah Hukum:**
– Menuntut ganti rugi atau penegakan pidana sesuai Pasal 45, 47, dan 67-69 UU PDP
– Mengajukan gugatan perdata berdasar pelanggaran hak privasi dan data pribadi yang dijamin UUD 1945 Pasal 28G

**Perspektif Keamanan Digital**

Alfons Tanujaya, praktisi keamanan digital dari Vaksincom, mengimbau masyarakat melihat kemajuan teknologi secara bijaksana dengan menimbang dampak positif dan negatifnya.

“Kalau itu disalahgunakan untuk mengidentifikasi seseorang ya itu bisa berbahaya,” katanya kepada Kompas.com, Senin (27/10/2025).

Alfons menyarankan fotografer memastikan data dan hasil jepretannya tidak disalahgunakan. Ia juga mengusulkan keterlibatan otoritas seperti Kementerian Komunikasi dan Digital untuk membuat regulasi keamanan data foto yang diunggah ke marketplace AI.

**Sisi Positif Teknologi**

Meskipun menuai kontroversi, teknologi face recognition AI juga memiliki manfaat positif. Bagi pelari, fitur ini memudahkan mereka mendapatkan foto saat berolahraga. Dalam aspek keamanan, teknologi ini dapat membantu aparat kepolisian mengidentifikasi pelaku kejahatan.

“Jadi contohnya pihak kepolisian bekerja sama dengan pihak terkait kalau ada aktivitas jahat berdasarkan face recognition itu dengan sangat mudah bisa diidentifikasi orangnya ke mana, dari mana,” jelas Alfons.

**Tantangan Regulasi**

Fenomena ini menunjukkan perlunya keseimbangan antara pemanfaatan teknologi untuk kemudahan hidup dan perlindungan hak privasi individu. Diperlukan regulasi yang lebih ketat untuk mengatur penggunaan teknologi AI dalam fotografi komersial, khususnya yang melibatkan pengenalan wajah tanpa persetujuan.

Kasus ini menjadi pembelajaran penting bahwa kemajuan teknologi harus diiringi dengan kesadaran etika dan penegakan hukum yang tegas untuk melindungi hak-hak dasar warga negara di era digital.


Sumber: Kompas.com


Buku Terkait:

Peninjauan Kembali: Koreksi Kesalahan dalam Putusan