JAKARTA – Komet antarbintang 3I/ATLAS terus menghadirkan anomali yang memicu perdebatan intensif di komunitas astronomi global. Objek langit dari luar tata surya ini mengalami perubahan warna menjadi biru untuk kedua kalinya, sekaligus menunjukkan percepatan non-gravitasi yang tidak dapat dijelaskan sepenuhnya.
Tim peneliti yang memantau objek unik ini menemukan fenomena yang menantang pemahaman konvensional tentang perilaku komet.
**Objek Antarbintang Ketiga yang Dikonfirmasi**
3I/ATLAS menjadi sorotan sejak pertama kali terdeteksi pada 1 Juli 2025 oleh sistem ATLAS (Asteroid Terrestrial-impact Last Alert System). Dengan karakteristik kecepatan dan eksentrisitas ekstrem, komet ini dipastikan berasal dari luar tata surya, mengikuti jejak 1I/’Oumuamua dan 2I/Borisov.
Status sebagai visitor antarbintang ketiga membuatnya menjadi subjek penelitian intensif untuk memahami komposisi dan dinamika objek dari sistem bintang lain.
**Observasi Spektakuler saat Perihelion**
Ketika 3I/ATLAS mencapai perihelion pada 29 Oktober 2025, posisinya terhalang observasi teleskop berbasis Bumi. Namun, astronom berhasil melacaknya menggunakan wahana antariksa STEREO, SOHO, dan satelit cuaca GOES-19.
Hasil observasi mengungkap transformasi dramatis: komet mengalami peningkatan kecermelangan signifikan hingga magnitudo 9, jauh melebihi proyeksi awal berdasarkan perilaku komet konvensional.
**Fenomena Perubahan Warna Biru**
“Salah satu temuan utama adalah bahwa fotometri warna menunjukkan komet jauh lebih biru daripada Matahari,” ungkap peneliti dikutip IFL Science. Perubahan spektral ini menandai transformasi warna kedua yang dialami 3I/ATLAS, menciptakan teka-teki baru tentang composisi internal objek tersebut.
Penyebab pencerahan cepat yang jauh melebihi laju pencerahan komet Oort cloud pada jarak serupa masih menjadi misteri yang belum terpecahkan.
**Deteksi Percepatan Non-Gravitasi**
Davide Farnoccia, insinyur navigasi di NASA’s Jet Propulsion Laboratory, melaporkan fenomena “non-gravitational acceleration” pada 3I/ATLAS. Percepatan ini tidak hanya disebabkan oleh pengaruh gravitasi celestial bodies, melainkan faktor dinamika internal komet itu sendiri.
Avi Loeb, astronom Harvard, menjelaskan bahwa percepatan non-gravitasi terukur pada jarak perihelion 1,36 astronomical units (sekitar 203 juta kilometer dari Matahari).
**Mekanisme Outgassing dan Hilangnya Massa**
Meski sempat memicu spekulasi ekstrem termasuk hipotesis intervensi alien yang dikemukakan Avi Loeb, komunitas astronomi secara luas menolak teori tersebut. Percepatan non-gravitasi dianggap sebagai bukti perilaku komet yang mengalami outgassing masif.
Proses ini terjadi ketika komet mengeluarkan gas signifikan saat mendekati matahari, menyebabkan hilangnya massa. Dorongan dari gas yang teremisi menghasilkan percepatan tambahan yang terdeteksi instrumen.
**Proyeksi Hilangnya Massa Masif**
Loeb menghitung bahwa jika kecepatan pancaran termal gas komet mencapai beberapa ratus meter per detik, objek tersebut akan kehilangan sekitar sepersepuluh massanya selama melintasi perihelion.
“Hilangnya massa yang masif seperti itu harus dapat dideteksi dalam bentuk gumpalan gas besar di sekitar 3I/ATLAS selama bulan-bulan mendatang, November dan Desember 2025,” tulis Loeb dalam publikasi blog-nya.
**Peran Wahana JUICE dalam Observasi**
Wahana JUICE (European Space Agency) yang sedang dalam perjalanan menuju Jupiter berpotensi mendeteksi hilangnya massa ini selama awal November. Posisi strategis wahana tersebut memungkinkan observasi yang tidak dapat dilakukan dari Bumi.
Tim peneliti yang menggunakan observatorium solar menyimpulkan bahwa outgassing signifikan kemungkinan telah terjadi, memperkuat evidensi perilaku komet yang tidak konvensional.
**Hipotesis Sublimasi Kompleks**
Para ilmuwan berspekulasi bahwa percepatan mungkin terkait dengan sublimasi air (H2O) yang dihambat oleh pendinginan dari sublimasi karbon dioksida (CO2). Proses ini tetap dominan pada jarak tertentu, menciptakan dinamika termal yang kompleks.
“Alasan untuk pencerahan cepat 3I yang jauh melebihi laju pencerahan sebagian besar komet Oort cloud pada jarak serupa, masih belum jelas,” tambah tim peneliti.
**Tantangan Pemahaman Objek Antarbintang**
Sebagai objek antarbintang ketiga yang dikonfirmasi, 3I/ATLAS menghadirkan banyak misteri yang belum terpecahkan. Keterbatasan data komparatif membuat interpretasi perilakunya menjadi sangat menantang.
“Tanpa penjelasan fisik yang pasti, prospek perilaku 3I pasca-perihelion tetap tidak pasti,” simpul tim tersebut. “Observasi lanjutan dapat membantu memberikan penjelasan yang lebih definitif untuk perilaku komet.”
**Implikasi untuk Asteroid Defense**
Studi 3I/ATLAS memberikan insight berharga tentang karakteristik objek dari sistem bintang lain. Data ini penting untuk mengembangkan strategi deteksi dan tracking objek antarbintang yang mungkin berpotensi mengancam Bumi di masa depan.
**Teknologi Observasi Multi-Platform**
Penggunaan berbagai wahana antariksa untuk mengamati 3I/ATLAS mendemonstrasikan pentingnya koordinasi internasional dalam penelitian astronomi. Kolaborasi antar-platform memungkinkan pengumpulan data komprehensif yang tidak dapat dicapai single observatory.
**Kontribusi untuk Astrofisika**
Fenomena yang ditunjukkan 3I/ATLAS berkontribusi pada pemahaman evolusi komet dalam medium antarbintang. Data tentang komposisi, struktur internal, dan respons terhadap radiasi solar memberikan wawasan tentang kondisi di sistem bintang lain.
**Timeline Observasi Lanjutan**
Fase pasca-perihelion 3I/ATLAS akan menjadi krusial untuk memvalidasi hipotesis tentang outgassing dan hilangnya massa. Observasi berkelanjutan hingga akhir 2025 diperlukan untuk membangun model komprehensif tentang perilaku objek antarbintang.
**Legacy Saintifik**
Meski masih menyimpan banyak misteri, 3I/ATLAS telah memberikan kontribusi signifikan untuk pemahaman tentang diversity objek di galaksi Bima Sakti. Setiap temuan baru menambah puzzle besar tentang formation dan evolution sistem planetary di universe.
Sumber: Kompas.com
Buku Terkait: