JAKARTA – Dalam sudut-sudut sunyi bangunan tua perguruan tinggi dan lembaga riset nasional, tersimpan khazanah botani yang tak ternilai. Lemari-lemari besi dan kayu menyimpan ribuan lembaran kertas berisi spesimen tumbuhan kering, ditemani botol-botol berisi alkohol yang mengawetkan sampel basah.
Koleksi herbarium ini oleh sebagian kalangan dianggap sebagai warisan kuno yang tak relevan lagi. Namun, di mata komunitas ilmiah internasional, kumpulan spesimen tersebut justru menjadi kunci untuk menjawab tantangan sains abad ke-21.
**Perpustakaan Kehidupan Tumbuhan Nusantara**
Herbarium pada hakikatnya merupakan arsip hidup dunia botani. Setiap spesimen menjadi kapsul waktu yang menyimpan informasi morfologi, komposisi kimia, dan data genetik suatu spesies dari lokasi dan periode tertentu dalam sejarah.
Herbarium Bogoriense (BO) yang berdiri sejak 14 Agustus 1841 menyimpan hampir satu juta koleksi specimen, menjadikannya repositori botani terbesar di kawasan Asia Tenggara. Spesimen tertua yang masih tersimpan baik adalah Asplenium caudatum G. Forst yang dikoleksi pada 1802.
Koleksi-koleksi ini menjadi saksi bisu evolusi keanekaragaman hayati Nusantara selama lebih dari dua abad.
**Transformasi dari Alat Kolonial Menuju Kedaulatan Sains**
Sejarah herbarium Indonesia tak terlepas dari periode kolonialisme. Institusi seperti Kebun Raya Bogor dan Herbarium Bogoriense awalnya didirikan untuk mengeksploitasi kekayaan botani Hindia Belanda, khususnya untuk kepentingan ekonomi seperti eksplorasi karet, kina, dan rempah-rempah bernilai tinggi.
Tokoh seperti Melchior Treub berperan sebagai arsitek pembentukan koleksi awal yang pada masa itu berfungsi sebagai instrumen imperialisme botani. Pascakemerdekaan, orientasi ini bergeser menjadi fondasi kedaulatan ilmu pengetahuan dan pengelolaan sumber daya alam Indonesia.
Sayangnya, transisi menuju pemanfaatan optimal masih menghadapi kendala. Keterbatasan anggaran, minimnya regenerasi ahli taksonomi, dan akses teknologi terbatas mengancam status herbarium sebagai aset ilmiah yang underutilized.
**Revolusi Sains Modern: Ketika Spesimen Kuno Menjawab Krisis Global**
Anggapan bahwa herbarium sudah usang dan tidak relevan merupakan kesalahan persepsi fundamental. Dalam konteks penelitian kontemporer, koleksi ini justru menjadi instrumen vital untuk mengatasi tantangan global.
**Analisis Jejak Perubahan Iklim**
Spesimen herbarium menyediakan database fenologi historis yang mencakup pola waktu berbunga dan berbuah tumbuhan. Dengan membandingkan data historis dan kontemporer, peneliti dapat melacak dampak perubahan iklim terhadap siklus hidup vegetasi.
Studi yang dipublikasikan dalam Global Change Biology dan Climate Change Ecology pada 2021 memanfaatkan koleksi herbarium untuk mendokumentasikan pergeseran waktu berbunga berbagai spesies akibat pemanasan global.
**Bank Genetik Masa Lalu**
Kemajuan teknologi ekstraksi ancient DNA telah merevolusi pemanfaatan spesimen herbarium. Teknik modern memungkinkan reaktivasi DNA dari spesimen berusia ratusan tahun untuk mempelajari evolusi, genetika populasi historis, bahkan mengidentifikasi gen yang telah hilang pada populasi modern.
Penelitian breakthrough yang dipublikasikan dalam Science 2023 berhasil merekonstruksi genom mitokondria Phytophthora infestans, patogen jamur penyebab penyakit busuk daun kentang yang memicu bencana kelaparan Irlandia abad ke-19. Genom tersebut berhasil diisolasi dari spesimen herbarium berusia 200 tahun.
**Navigator Strategi Konservasi**
Analisis distribusi koleksi tumbuhan masa lalu memungkinkan identifikasi spesies yang mungkin telah punah di habitat aslinya atau penemuan populasi yang belum terdokumentasi. Data ini fundamental untuk menetapkan kebijakan konservasi yang tepat sasaran, sejalan dengan Global Strategy for Plant Conservation.
**Digitalisasi: Kunci Transformasi Herbarium Indonesia**
Untuk menghindari status “harta terpendam”, herbarium Indonesia memerlukan transformasi fundamental melalui digitalisasi komprehensif. Konversi spesimen fisik menjadi format digital beresolusi tinggi dengan database terakses terbuka merupakan langkah krusial untuk meningkatkan utilitas koleksi.
Investasi ini membutuhkan komitmen politik dan alokasi anggaran memadai untuk mengubah lemari besi berdebu menjadi portal informasi biodiversitas yang accessible secara global.
**Dilema Strategis: Abad ke-19 versus Abad ke-21**
Pertanyaan fundamental yang harus dijawab: akankah Indonesia membiarkan data biodiversitas megah ini dikelola dengan metode abad ke-19, sementara dunia telah memasuki era digital abad ke-21?
Atau akankah Indonesia berinvestasi proaktif untuk mentransformasi arsip fisik menjadi “repository informasi” biodiversitas yang berstandar internasional?
**Herbarium sebagai Peta Masa Depan, Bukan Artefak Masa Lalu**
Menganggap herbarium sebagai peninggalan usang mencerminkan ketidakmampuan memvisualisasikan potensi masa depan. Spesimen-spesimen tersebut bukan sekadar dokumentasi historis, melainkan navigasi strategis untuk konservasi futuristik, adaptasi iklim, riset biomedis, dan eksplorasi potensi ekonomi botani baru.
Indonesia sebagai negara megabiodiversitas tidak dapat mengabaikan aset strategis ini. Herbarium merupakan arsip peradaban botani nasional yang perawatan dan pemanfaatan modernnya bukan pilihan optional, tetapi imperatif strategis.
**Potensi Tersembunyi: Solusi Krisis Global dalam Lemari Besi**
Di balik lapisan debu dan kesan antik, spesimen-spesimen tersebut mungkin menyimpan jawaban untuk krisis pangan global, formula obat untuk penyakit emerging, atau kode genetik untuk varietas tahan ekstrem akibat perubahan iklim.
Potensi ini bukan sekadar spekulasi, melainkan realitas yang menunggu untuk diungkap melalui penelitian sistematis dan pemanfaatan teknologi modern.
**Urgensi Aksi: Membuka Lemari Masa Depan**
Saatnya membuka lemari besi tersebut, melakukan digitalisasi komprehensiv, dan menganalisis dengan metodologi terkini. Karena di dalamnya tersimpan template genetik yang mungkin menjadi kunci survival species menghadapi tantangan lingkungan masa depan.
Herbarium Indonesia bukan warisan masa lalu yang harus dipelihara dengan sentimen nostalgia, tetapi arsenal ilmiah yang harus dioptimalkan untuk menghadapi tantangan masa depan. Transformasi ini memerlukan visi jangka panjang, investasi
Sumber: Kompas.com
Buku Terkait: