SIJUNJUNG – Momen mengharukan terekam ketika Rafflesia hasseltii berhasil ditemukan di Sijunjung, Sumatera Barat. Bagi tim ekspedisi, ini merupakan penemuan ilmiah yang penting. Namun, bagi Septi Andriki, seorang aktivis peduli lingkungan dari Bengkulu, momen tersebut adalah puncak dari penantian panjang dan perjuangan selama 13 tahun memburu bunga langka tersebut.
Septi Andriki yang terlibat dalam tim ekspedisi bersama ilustrator ternama dari Oxford University, Chris Thorogood, mengaku tidak bisa menahan emosinya setelah akhirnya menemukan spesies yang telah lama dicarinya.
**Dari Guru Penjas hingga Pemburu Rafflesia**
Septi yang lebih akrab disapa Deki memulai kecintaannya pada Rafflesia karena alasan yang sangat mendasar: ia ingin meluruskan pemahaman murid-muridnya.
“Saya itu, basic saya adalah guru Penjas. Saya mengabdi 7 tahun, akhirnya saya dititipin buku pelajaran,” kata Deki saat dihubungi, Kamis (20/11/2024).
Ia menyadari banyak anak sekolah dasar yang menyamakan antara bunga bangkai (Amorphophallus) dengan bunga Rafflesia. Berangkat dari keinginannya mengedukasi siswa, Deki mulai melakukan eksplorasi.
“Saya coba ekspedisi kecil-kecilan dengan anak-anak Karang Taruna, saya coba cari lagi, dapat 10 habitat, akhirnya saya berhenti dari mengajar,” ungkapnya.
Sejak 2013, Rafflesia hasseltii menjadi target utama yang belum berhasil ia temukan. Pencarian ini dilakukan secara murni, jauh dari kepentingan riset formal.
**Kolaborasi dengan Ilustrator Oxford**
Ekspedisi penemuan Rafflesia hasseltii di Sijunjung yang terjadi pada Rabu (19/11/2024) malam merupakan hasil janji bertahun-tahun antara Deki dengan Chris Thorogood, ilustrator botani terkenal dari Oxford.
Hubungan Deki dengan Chris dimulai secara tak sengaja melalui pesan Direct Message (DM) pada masa pandemi tahun 2019.
“Sebelumnya, dia pernah janjian dengan saya tuh dari pas Covid 2019,” kenang Deki.
Hubungan online tersebut kemudian berkembang menjadi ekspedisi lapangan di tahun 2021. Pada kedatangan pertama Chris ke Indonesia di 2021, Chris dan Deki mulai mengerjakan misi mencari R. hasseltii namun belum membuahkan hasil.
**Rangkaian Penemuan Sebelumnya**
Misi bersama mereka membuahkan hasil luar biasa di tahun-tahun berikutnya. Pada 2022, saat kedatangan kedua Chris, mereka berhasil menemukan Rafflesia kelopak tujuh (jenis Bengkuluensis).
Dalam perjalanan tersebut, mereka juga mendokumentasikan Rhizanthes deceptor—satu kerabat Rafflesia yang tidak populer karena bunganya kecil—dan Amorphophallus titanum (bunga bangkai raksasa) setinggi 4 meter.
Setelah serangkaian penemuan itu, Deki mengetahui obsesi Chris masih tertuju pada R. hasseltii.
“Chris datang dari 2021, berarti Chris penantian di 5 tahun untuk 2025, kita coba cari R. hasseltii,” ujar Deki.
**Perjalanan Berisiko 23 Jam**
Akhirnya, Deki mendapat informasi bahwa R. hasseltii mekar di daerah Sumber Kudus, Sijunjung, Sumatera Barat. Perjalanan ke lokasi tersebut sangat berisiko: 20 jam jalur darat dari Bengkulu ditambah tiga jam mendaki jalan terjal.
“Akhirnya kita coba cari klarifikasi, kita coba ekspedisi. Berangkat dari Bengkulu selama 20 jam dengan jalan kaki lebih dari 3 jam. Ini total perjalanan 23 jam,” kata Deki.
Yang membuat ekspedisi ini menjadi taruhan besar adalah mereka hanya berbekal foto kuncup (belum mekar) dari teman di lapangan.
“Saya gambler, Chris juga gambler. Akhirnya kita coba berdasarkan pengetahuan saya di lapangan, prediksi saya selama ini tidak pernah meleset,” kata Deki.
**Ancaman Harimau di Habitat**
Risiko lain yang dihadapi adalah habitat tersebut terletak di jalur harimau. Terlebih lagi saat itu sedang musim durian. Deki yang juga terlibat dalam pemasangan camera trap internasional sangat memahami bahwa kucing besar sangat menyukai durian.
“Mungkin kalau hari itu kita ketemu, kemungkinannya ada di 60 persen, ketemu harimau,” ujarnya.
Beruntung, tim ekspedisi yang terdiri dari Joko Witono (BRIN), Deki, Chris, dan Iswandi dari Lembaga Pengelola Hutan Nagari (LPHN) tidak menemukan harimau saat berjalan kaki Rabu (19/11/2024) sore.
**Momen Bersejarah Setelah Penantian Panjang**
Di tengah perjalanan, Joko tidak bisa melanjutkan perjalanan dan harus kembali turun ke permukiman penduduk, didampingi Deki.
“Jadi sudah seperempat perjalanan, saya antar dulu Pak Joko turun, lalu naik lagi,” kata dia.
Prediksi Deki terbukti tepat. Setelah 3 jam mendaki gunung dan menuruni kecuraman hampir 90 derajat, R. hasseltii ditemukan mekar dengan satu kelopak terbuka pada malam hari. Tim harus menunggu 2 jam lagi agar bunga membuka sempurna.
Melihat R. hasseltii mekar sempurna setelah 13 tahun, Septi mengaku tidak bisa menahan emosinya.
“Haru saya untuk pertama kali saya melihat Helti setelah 13 tahun,” katanya.
“Saya bilang sampai haru karena sudah enggak bisa kebendung lagi emosionalnya, akhirnya saya luapin di situ.”
**Fokus pada Konservasi Praktis**
Meskipun bangga dengan penemuan ini, Deki memilih fokus pada konservasi berbasis aksi nyata. Ia menekankan pentingnya bijak dalam berkunjung untuk melindungi bunga yang sangat rentan.
“Saya selalu memposting foto saya itu tidak pernah menyentuh langsung si Rafflesia,” katanya.
Ia menjelaskan dampak sentuhan manusia terhadap Rafflesia dapat mempercepat kerusakan dan pembusukan bunga.
**Perlindungan untuk “Cendawan Muka Harimau”**
Deki menambahkan bahwa Rafflesia hasseltii yang ditemukan di Sijunjung, yang oleh masy
Sumber: Kompas.com
Buku Terkait:
Batik Durian Lubuklinggau: Memperkaya Khasanah Batik Nusantara