Serangkaian banjir bandang dan tanah longsor yang melanda Aceh, Sumatera Utara, hingga Sumatera Barat baru-baru ini menjadi peringatan keras bagi penataan ruang di Pulau Sumatera. Kerentanan geologi wilayah ini, yang diperburuk oleh kerusakan lingkungan dan perubahan iklim, menuntut kebijakan pemulihan yang tidak konvensional.
Guru Besar Teknik Geologi dan Lingkungan Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof. Dwikorita Karnawati, menegaskan bahwa kebijakan pembangunan hunian sementara (Huntara) maupun hunian tetap (Huntap) di Sumatera tidak boleh sekadar memulihkan kondisi seperti semula.
Pembangunan tersebut harus dirancang secara strategis untuk memutus mata rantai bencana agar tidak berulang kembali.
**Kawasan Kipas Aluvial: Jejak Banjir Masa Lalu**
Dwikorita menjelaskan sebuah fakta geologi penting: banyak wilayah terdampak banjir di Sumatera sebenarnya berada di kawasan kipas aluvial. Secara sederhana, kawasan ini adalah bentang alam yang terbentuk dari tumpukan endapan banjir bandang masa lalu.
Artinya, secara geologis, wilayah tersebut adalah zona aktif yang memiliki “memori” bencana. Meskipun terlihat tenang selama puluhan tahun, kawasan ini memiliki potensi besar untuk diterjang kembali oleh material rombakan dari hulu.
“Jika kawasan ini kembali dijadikan hunian tetap, maka risiko bencana tidak dihilangkan, melainkan diwariskan kepada generasi berikutnya,” tegas Dwikorita.
**Periode Ulang Banjir Semakin Pendek**
Kondisi ini diperparah dengan kerusakan di wilayah hulu dan Daerah Aliran Sungai (DAS). Erosi yang masif membuat periode ulang banjir bandang semakin pendek—dari puluhan tahun menjadi hanya 15-20 tahun sekali, atau bahkan lebih cepat jika lingkungan tidak segera dipulihkan.
**Rekomendasi Zona Merah dan Relokasi Huntap**
Mengingat risiko yang sangat tinggi, Dwikorita merekomendasikan agar wilayah yang pernah terlanda banjir bandang ditetapkan sebagai zona merah. Kawasan ini dilarang keras untuk pembangunan Huntap dan seharusnya difungsikan kembali sebagai area konservasi serta rehabilitasi lingkungan.
Relokasi Huntap ke zona aman menjadi keharusan mutlak. Zona aman ini harus memenuhi kriteria ketat, seperti berada di luar bantaran sungai aktif, memiliki jarak aman dari lereng curam, namun tetap memiliki akses air bersih.
**Syarat Ketat untuk Huntara**
Sementara itu, untuk kawasan yang masih tergolong rawan namun digunakan sebagai hunian sementara (Huntara), Dwikorita menetapkan batasan yang sangat ketat:
– Sifatnya transisional dengan batas waktu maksimal tiga tahun
– Wajib memiliki sistem peringatan dini yang andal
– Pemerintah daerah dan masyarakat harus dibekali kapasitas rencana kedaruratan yang matang
– Dilakukan pembangunan tanggul sungai yang memadai dan penetapan jalur hijau
**Ancaman Hujan Ekstrem Berlanjut**
Peringatan ini menjadi sangat krusial karena Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memperkirakan potensi hujan ekstrem masih akan berlangsung hingga Maret-April 2026. Dengan kondisi tanah yang sudah jenuh dan lingkungan hulu yang rusak, risiko bencana susulan tetap menghantui.
**Keputusan Strategis untuk Masa Depan**
Penataan hunian pascabencana bukan hanya soal urusan logistik tanggap darurat, melainkan keputusan strategis yang menentukan hidup-mati masyarakat di masa depan.
“Jika pembangunan pascabencana mengabaikan karakter geologi dan memori bencana, maka pemulihan justru berpotensi menciptakan bencana baru di masa depan,” pungkas Dwikorita.
**Pembelajaran dari Bencana Berulang**
Rekomendasi Dwikorita ini didasarkan pada pengalaman sejarah bahwa bencana banjir bandang di Sumatera cenderung berulang di lokasi yang sama. Tanpa perubahan pendekatan dalam rekonstruksi, masyarakat akan terus terjebak dalam siklus bencana yang berulang.
**Urgensi Pemetaan Zona Risiko**
Untuk mendukung implementasi rekomendasi ini, diperlukan pemetaan zona risiko yang komprehensif dan akurat. Pemetaan ini harus melibatkan aspek geologi, hidrologi, dan klimatologi untuk mengidentifikasi area yang benar-benar aman untuk pembangunan hunian permanen.
**Koordinasi Lintas Sektor**
Penerapan kebijakan ini memerlukan koordinasi yang kuat antara pemerintah pusat, daerah, akademisi, dan masyarakat. Tanpa sinergi yang baik, upaya mitigasi bencana melalui penataan ruang yang tepat akan sulit tercapai.
**Investasi Jangka Panjang untuk Keselamatan**
Meskipun memerlukan investasi yang tidak sedikit, pendekatan ini akan lebih cost-effective dalam jangka panjang karena dapat mencegah kerugian yang lebih besar akibat bencana berulang. Biaya relokasi dan pembangunan infrastruktur mitigasi akan jauh lebih murah dibandingkan kerugian yang ditimbulkan oleh bencana berkelanjutan.
Sumber: Kompas.com
Buku Terkait:
Perencanaan Pembangunan, Keuangan, dan Transisi Energi Daerah