Jejak Karbon di Cangkir Kopi Kita

JAKARTA – Seorang eksekutif di sebuah kafe di Berlin menikmati secangkir kopi asal Indonesia. Namun kini, selain rasa dan aroma, konsumen Eropa mulai mempertanyakan jejak emisi gas rumah kaca yang dihasilkan dari proses produksi hingga penyajian. Pertimbangan lingkungan ini bakal menentukan nasib jutaan petani Indonesia di masa mendatang.

Perubahan paradigma perdagangan internasional menuju ekonomi hijau menghadirkan tantangan baru bagi sektor pertanian domestik. Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM) yang akan diterapkan Uni Eropa mulai 2026 berpotensi menjadi gerbang seleksi baru bagi produk ekspor Indonesia.

**Regulasi Pajak Karbon Mengancam Ekspor**

Mulai 2026, Uni Eropa akan memberlakukan CBAM yang pada tahap awal menargetkan sektor baja, semen, pupuk, listrik, dan aluminium. Namun, mekanisme ini diperkirakan akan meluas ke sektor agrikultur dan produk turunannya di masa mendatang.

Amerika Serikat juga menyiapkan Clean Competition Act dengan prinsip serupa. Regulasi ini mengharuskan produk impor memiliki jejak karbon rendah atau akan dikenai tarif tambahan bahkan pembatasan akses pasar.

Kebijakan tersebut lahir dari komitmen negara maju mengurangi emisi global setelah berhasil menurunkan emisi domestik. Mereka ingin memastikan produk impor tidak membawa “polusi karbon” dari negara asal.

**Kondisi Sektor Perkebunan Indonesia**

Indonesia dengan lahan perkebunan seluas lebih dari 25 juta hektar menghadapi konsekuensi strategis dari tren ini. Komoditas unggulan seperti kelapa sawit, kopi, kakao, dan teh yang menjadi tulang punggung ekspor pertanian berada di posisi rentan.

Tanpa adaptasi cepat, Indonesia berisiko menghadapi hambatan perdagangan non-tarif yang lebih kompleks dibanding tarif konvensional. Hal ini dapat menggerus daya saing produk perkebunan di pasar internasional.

Jejak karbon produk mencakup total emisi gas rumah kaca sepanjang rantai pasokan, mulai penanaman, pemupukan, pengolahan, transportasi, hingga konsumsi akhir.

**Sumber Emisi Komoditas Utama**

Pada kopi, emisi terbesar berasal dari penggunaan pupuk kimia, proses pengeringan biji, dan transportasi jarak jauh. Sementara kelapa sawit menghadapi masalah pembukaan lahan gambut, penggunaan bahan bakar fosil di pabrik, dan emisi metana dari pengolahan limbah cair.

Produksi kakao masih bergantung pada pupuk dan pestisida sintetis, ditambah pengolahan pascapanen yang membutuhkan energi besar untuk pemanasan menggunakan kayu bakar atau batu bara.

Mayoritas petani Indonesia belum familiar dengan konsep jejak karbon. Fokus mereka masih pada pencapaian target produksi, bukan pengurangan emisi. Padahal, pasar global mulai menilai produk berdasarkan angka emisi per kilogram sebagai penentu harga jual.

**Perbandingan Kesiapan Regional**

Negara pesaing telah lebih dahulu beradaptasi. Vietnam dan Kolombia sudah memetakan emisi rantai pasokan kopi dan meluncurkan label “kopi rendah karbon”. Malaysia memperkuat standar Malaysian Sustainable Palm Oil (MSPO) dengan komponen penghitungan emisi terukur.

Ketertinggalan Indonesia bukan hanya masalah teknis tetapi menyangkut reputasi dan masa depan jutaan petani yang menggantungkan hidup pada ekspor komoditas perkebunan.

**Potensi Tersembunyi Sistem Agroforestri**

Di balik ancaman tersebut terbuka peluang besar yang belum dioptimalkan. Tren global menuju produk rendah karbon membuka ruang bagi komoditas tropis Indonesia menonjolkan keunggulan alamiah.

Banyak kebun kopi dan kakao domestik sebenarnya sudah beremisi rendah karena menerapkan sistem shade-grown dalam pola agroforestri. Sistem ini tidak hanya menyimpan karbon tetapi juga menjaga keanekaragaman hayati dan kualitas tanah.

Jika potensi ini terukur dengan baik dan dikomunikasikan transparan, “keramahan lingkungan” dapat menjadi nilai tambah kuat di pasar dunia.

**Strategi Nasional Pengembangan Framework**

Indonesia memerlukan langkah terarah dan terukur menghadapi tantangan ini. Pemerintah bersama perguruan tinggi dan lembaga riset perlu membangun National Carbon Footprint Framework untuk sektor pertanian dan perkebunan.

Framework nasional harus menetapkan metodologi penghitungan, faktor emisi, dan mekanisme pelaporan sesuai standar internasional seperti ISO 14067 atau GHG Protocol.

Insentif bagi petani dan perusahaan yang menurunkan emisi perlu digulirkan melalui mekanisme kredit karbon berbasis kebun. Pengukuran karbon juga harus diintegrasikan ke dalam sertifikasi keberlanjutan seperti ISPO atau SNI Kopi Hijau berkelanjutan.

**Pemanfaatan Teknologi Digital**

Teknologi digital dan satelit dapat dimanfaatkan untuk menelusuri rantai pasokan secara transparan. Koperasi dan BUMDes perlu diperkuat agar petani kecil tidak tertinggal dalam transformasi menuju pertanian rendah karbon.

Penghitungan jejak karbon bukan semata memenuhi tuntutan ekspor tetapi langkah penting memperbaiki efisiensi produksi domestik. Sistem yang terukur akan membantu petani mengidentifikasi area yang dapat dioptimalkan untuk mengurangi biaya produksi sekaligus emisi.

**Visi Masa Depan Komoditas Berkelanjutan**

Transformasi menuju pertanian rendah karbon membutuhkan komitmen jangka panjang dari semua stakeholder. Pemerintah, petani, perusahaan, dan lembaga riset harus berkolaborasi membangun ekosistem yang mendukung produksi berkelanjutan.

Dengan persiapan yang matang, label produk kopi Indonesia di masa depan mungkin akan berbunyi: “Dihasilkan dari kebun yang menyerap lebih banyak karbon daripada yang dilepaskan.”

Saat itu terjadi, dunia tidak hanya menikmati cita rasa kopi Nusantara tetapi juga meneguk harapan akan masa depan yang lebih berkelanjutan. Tanpa adaptasi cepat, aroma harum kopi dan rempah yang dulu menaklukkan dunia berisiko memudar di tengah gelombang perdagangan hijau yang tidak menunggu siapa pun.

**Urgensi Aksi Kolektif**

Waktu yang tersisa untuk mempersiapkan infrastruktur pengukuran karbon semakin terbatas. Keterlambatan dalam membangun sistem yang kredibel dan terverifikasi dapat berakibat fatal bagi daya saing produk perkebunan Indonesia di pasar global.

Keberhasilan menghadapi tantangan perdagangan hijau akan menentukan apakah Indonesia tetap menjadi pemain utama dalam perdagangan komoditas global atau terpinggirkan oleh negara-


Sumber: Kompas.com


Buku Terkait:

Perlawanan Politik dan Puitik Petani Temanggung