Kaleidoskop 2025: 1.000 Orang Tewas dalam Banjir Sumatera dan Seruan Kritis Para Ahli

Indonesia menutup tahun 2024 dengan serangkaian bencana yang menyoroti cuaca ekstrem dan kerentanan lingkungan hidup. Salah satu yang paling devastatif adalah banjir bandang dan tanah longsor di Sumatera pada akhir November yang melanda Aceh, Sumatera Utara, hingga Sumatera Barat.

Bencana ini tidak hanya memakan korban jiwa manusia dan kerugian material, tetapi juga menimbulkan keprihatinan global karena dampaknya terhadap lingkungan, hutan, dan satwa yang hidup di dalamnya.

**Siklon Tropis Senyar Picu Hujan Setara 1,5 Bulan**

Pada 25-27 November 2024, wilayah Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat diguyur hujan lebat pada level ekstrem. Kepala Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Teuku Faisal Fathani menjelaskan, fenomena cuaca ekstrem itu dipicu kemunculan siklon tropis Senyar di wilayah tersebut.

Citra radar dan pemantauan BMKG menunjukkan warna hitam pada peta curah hujan, menandakan volume yang sangat tinggi.

“Tercatat curah hujan pada 25 November, 26 November, hingga 27 November sampai berwarna hitam, itu sangat ekstrem,” ujar Faisal dalam rapat Komisi V DPR di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (1/12/2024).

Ia menjelaskan bahwa hujan ekstrem tersebut bahkan melebihi volume curah hujan bulanan di beberapa wilayah. “Bahkan tertinggi ada yang 411 mm per hari di Kabupaten Bireuen. Ini bahkan lebih tinggi dari hujan bulanan di sana, mungkin 1,5 bulan. Jadi ini tercurah dalam satu hari dan berlangsung selama tiga hari,” jelasnya.

**Tanah Tidak Mampu Menahan Volume Air**

BMKG menegaskan bahwa tanah di sejumlah wilayah tidak mampu menahan volume air yang jatuh dalam waktu singkat. Kondisi tanah yang jenuh memperbesar risiko longsor, sementara aliran sungai meluap dengan cepat.

“Ini yang menyebabkan bencana hidrometeorologi sangat masif terjadi karena tanah kemudian tidak mampu atau lahan tidak mampu menahan tumpahan air hujan yang demikian banyak hingga terjadilah banjir bandang dan longsor,” tutur Kepala BMKG.

Banjir bandang dan tanah longsor paling parah terjadi di wilayah Aceh, Sumatera Barat, dan Sumatera Utara. Banyak desa terisolasi, akses jalan terputus, dan permukiman tertimbun material tanah.

**WALHI: Kerusakan Ekosistem Batang Toru Jadi Pemicu**

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sumatera Utara menyoroti bencana banjir dan tanah longsor Sumatera bukan hanya murni fenomena alam, melainkan sebuah bencana ekologis yang dipicu oleh kerusakan ekosistem Batang Toru (Harangan Tapanuli).

Manajer Advokasi dan Kampanye WALHI Sumut, Jaka Kelana Damanik, mengingatkan bahwa wilayah-wilayah terdampak memang masuk dalam kategori risiko tinggi untuk bencana banjir bandang dan tanah longsor berdasarkan dokumen kajian risiko bencana nasional Provinsi Sumatera Utara tahun 2022-2026.

Fakta di lapangan menunjukkan adanya campur tangan manusia yang signifikan. “Saat banjir tiba, terlihat banyak kayu-kayu terbawa air. Dan jika dilihat dari citra satelit, tampak kondisi hutan yang gundul di sekitar lokasi bencana,” jelas Jaka.

**Campur Tangan Manusia Melalui Kebijakan**

Menurut WALHI Sumut, campur tangan manusia ini diwujudkan melalui keputusan politik atau kebijakan yang dikeluarkan atas nama pembangunan dan ekonomi. Jaka menilai, kegagalan negara dalam mengelola lingkungan telah menyebabkan krisis ekologis yang berujung pada bencana ekologis.

“Artinya negara dalam hal ini pemerintah atau pengambil kebijakan berperan besar atas bencana ekologis yang terjadi saat ini,” tegas Jaka.

**Ribuan Kayu Gelondongan Terseret Banjir**

Ahli Kebijakan Hutan IPB University, Prof. Dodik Ridho Nurochmat, menyoroti ribuan kayu gelondongan yang ikut terseret banjir Sumatera. Prof. Dodik menduga material kayu tersebut kemungkinan merupakan campuran dari beberapa sumber, yaitu penebangan, pohon tumbang alami, serta sisa-sisa pembersihan lahan yang tidak tuntas dibersihkan.

Prof. Bambang Hero Saharjo, Guru Besar Fakultas Kehutanan dan Lingkungan sekaligus Kepala Pusat Studi Bencana IPB University, menilai bahwa material kayu yang ditemukan di lokasi bencana menunjukkan indikasi kuat keterlibatan aktivitas manusia.

Prof. Bambang menegaskan bahwa kondisi material kayu di lokasi tersebut tidak sepenuhnya dapat dijelaskan sebagai kayu lapuk atau dampak runtuhan alami.

**Hilangnya Sistem Penyangga Alami Hutan**

Prof. Bambang menjelaskan bahwa hutan yang masih utuh dan sehat memiliki struktur berlapis yang berfungsi sebagai sistem penyangga alami. Struktur ini menjaga keseimbangan lingkungan dan mengendalikan daur air.

Struktur hutan yang ideal memiliki struktur tajuk yang rapat dan bertingkat, yang bertugas memecah dan menahan laju air hujan. “Walaupun ada air, dia tidak langsung ke permukaan. Dia jatuh di tajuk, pecah, kemudian sebagian mengalir melalui batang,” jelasnya.

Selain itu, keberadaan tumbuhan bawah dan serasah di permukaan tanah berperan penting dalam menyerap air dan menjaga kestabilan ekosistem hutan.

**Pembalakan Liar Ganggu Stabilitas Ekosistem**

Dalam kondisi alami, pohon tumbang bukan merupakan ancaman signifikan bagi ekosistem. “Pohon kalaupun tumbang, itu tidak banyak. Paling hanya satu, dua. Dan itu alami,” tutur dia.

Namun, permasalahan serius muncul ketika aktivitas pembalakan liar mengganggu vegetasi hutan. Gangguan tersebut menghilangkan kerapatan tajuk dan membuka celah yang memicu perubahan drastis dalam aliran air dan kestabilan tanah.

**Korban Jiwa dan Kerugian Material**

Berdasarkan rekapitulasi korban di tiga provinsi terdampak pada Selasa (17/12/2024) malam, BNPB mencatat korban jiwa mencapai 1.053 jiwa.


Sumber: Kompas.com


Buku Terkait:

34 Prinsip Etis Jurnalisme Lingkungan