JAKARTA – Lagu “Indonesia Raya” karya Wage Rudolf (WR) Supratman pertama kali bergema dalam momen bersejarah Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928. Lantunan melody dari gesekan biola Supratman di indekos Indonesische Clubhuis, Jalan Kramat Raya 106, berhasil menggugah jiwa para pemuda masa itu.
Berdasarkan catatan sejarah, para peserta Kongres Sumpah Pemuda II terharu mendengar alunan lagu tersebut. Mereka memberikan tepuk tangan meriah dan bahkan meminta agar lagu itu dinyanyikan kembali. Hingga saat ini, “Indonesia Raya” tetap menjadi lagu kebangsaan yang selalu dikumandangkan dalam berbagai upacara nasional.
Namun, sedikit yang mengetahui bahwa lagu kebangsaan ini telah mengalami beragam perubahan, mulai dari judul, lirik, hingga struktur stanzanya sepanjang perjalanan sejarah.
**Genesis Lagu Kebangsaan**
Menurut dokumentasi Harian Kompas, lagu ini pada awalnya bertajuk “Indonesia”. WR Supratman merekamnya di ruang pesta Hotel Wilhelmina, Jalan Gunung Sahari 52, Jakarta pada 1927. Untuk keperluan perekaman, Supratman meminta bantuan Yo Kim Tjan, pemilik Toko Populaire di Pasar Baroe.
Terdapat dua versi rekaman asli lagu tersebut: pertama berupa orkes keroncong tanpa vokal, kedua dalam format rekaman suara Supratman yang diiringi permainan biolanya sendiri.
**Inspirasi Penciptaan**
Dokumentasi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menyebutkan bahwa inspirasi penciptaan lagu ini muncul ketika Supratman, yang berprofesi sebagai jurnalis, membaca sebuah artikel di majalah Timboel terbitan Solo. Artikel tersebut mengajukan pertanyaan provokatif: “Manakah komponis Indonesia yang bisa menciptakan lagu kebangsaan Indonesia yang dapat membangkitkan semangat rakyat?”
Pertanyaan itulah yang menggerakkan hati Supratman untuk menciptakan lagu “Indonesia Raya” yang sarat dengan doa dalam setiap barisnya. Notasi musik ditulis khusus untuk iringan biola.
**Penyanyi Perdana**
Setelah diperdengarkan melalui biola Supratman, banyak peserta kongres mendesak agar lagu tersebut dinyanyikan sekali lagi. Theodora Athia Salim atau yang akrab dipanggil Dolly Salim menjadi penyanyi pertama lagu “Indonesia Raya”.
Dolly, putri sulung Haji Agus Salim, telah menghafal lirik lagu tersebut sehingga mampu menyanyikannya tanpa iringan musik. Pada 31 Oktober 1928, gadis berusia 15 tahun itu melantunkan lagu kebangsaan atas permintaan rekan-rekannya di organisasi paduan suara Natioonal Indonesische Padvinderij.
Meskipun menjadi anggota termuda dalam organisasi tersebut, Dolly tidak merasa penampilannya istimewa. “Bukan karena saya satu-satunya yang pintar menyanyi. Semua kita bisa menyanyi lagu ‘Indonesia Raya’. Lagu itu populer di kalangan kami. Hanya mungkin yang tidak malu-malu, saya,” kenang Dolly.
Dalam wawancara dengan Harian Kompas, perempuan itu mengaku terkejut saat diminta menyanyikan lagu tersebut di Kongres Sumpah Pemuda II, mengingat ia sudah dua tahun tidak diundang dalam peringatan Hari Sumpah Pemuda.
**Publikasi dan Reaksi Kolonial**
Pasca dikumandangkan dalam Kongres Sumpah Pemuda II, notasi dan lirik lagu “Indonesia Raya” dimuat perdana di surat kabar Sin Po. Saat itu, hanya satu stanza yang diterbitkan meskipun versi aslinya terdiri dari tiga stanza. Judul yang tercetak masih “Indonesia”, belum berubah menjadi “Indonesia Raya”.
Publikasi ini menimbulkan kegelisahan pemerintah kolonial Belanda. Mereka kemudian menyita seluruh piringan hitam lagu “Indonesia Raya” versi keroncong. Namun, otoritas kolonial tidak menyadari bahwa lagu tersebut telah direkam dalam dua versi sebelum penyelenggaraan kongres.
**Perubahan Paksa Lirik**
Situasi politik yang memanas memaksa adanya modifikasi lirik pada bagian refrain. Lirik asli “Indonesia Raya, merdeka… merdeka…” diubah menjadi “Indonesia Raya, mulia… mulia…”.
Berdasarkan Kompaspedia, perubahan ini dilakukan karena penggunaan kata “merdeka” dianggap sangat membahayakan stabilitas pemerintah kolonial pada masa itu.
**Era Pendudukan Jepang dan Standarisasi**
Setelah Belanda dikalahkan Jepang sekitar 1944, pemerintahan pendudukan Jepang membentuk Panitia Lagu Kebangsaan yang diketuai Soekarno. Anggota panitia terdiri dari Ki Hajar Dewantara, Achiar, Sudibyo, Darmawidjaja, dan Mr. Oetojo.
Panitia ini melakukan tiga kali revisi terhadap naskah asli karya WR Supratman. Dari proses inilah ditetapkan bahwa lagu kebangsaan Indonesia hanya akan dinyanyikan dalam satu stanza.
**Legitimasi Konstitusional**
Melalui Pasal 36B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945), lagu “Indonesia Raya” secara resmi ditetapkan sebagai lagu kebangsaan Indonesia. Pengaturan lebih lanjut diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan.
**Warisan Abadi**
Perjalanan panjang lagu “Indonesia Raya” mencerminkan perjuangan bangsa Indonesia dalam menemukan identitas nasionalnya. Dari sebuah komposisi sederhana yang dilantunkan dengan biola hingga menjadi simbol kedaulatan negara, lagu ini telah mengalami berbagai transformasi yang mencerminkan dinamika sejarah bangsa.
Karya WR Supratman ini tidak hanya berfungsi sebagai lagu kebangsaan, tetapi juga sebagai pengingat akan semangat persatuan yang telah mengakar sejak masa pergerakan kemerdekaan. Setiap kali dikumandangkan, lagu ini mengingatkan seluruh rakyat Indonesia akan cita-cita luhur bangsa yang tertuang dalam Sumpah Pemuda 1928.
Sumber: Kompas.com
Buku Terkait:
Di Balik Bintang: Jan Djuhana dalam Industri Musik Indonesia