Bencana banjir dan tanah longsor hebat yang menerjang sebagian besar Sumatera menjadi sorotan tajam terhadap model pembangunan di Indonesia. BNPB mencatat jumlah korban jiwa akibat bencana di Sumatera Utara dan Aceh meningkat menjadi 995 jiwa hingga Jumat (13/12/2024), dengan total kerugian ekonomi diperkirakan mencapai Rp 68,67 triliun.
Angka kerugian masif ini jauh melampaui pendapatan negara dari sektor ekstraktif di daerah terdampak, memunculkan kritik bahwa pembangunan berbasis eksploitasi sumber daya alam telah melemahkan daya dukung lingkungan dan meningkatkan risiko bencana.
**Dampak Bencana yang Meluas**
Menurut data BNPB, bencana ini berdampak pada 52 kabupaten/kota di tiga provinsi, yaitu Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Jumlah korban tewas mencapai 995 orang, sementara 224 orang masih dinyatakan hilang. Total 5.100 orang terluka dan sekitar 800.000 jiwa masih mengungsi.
Kerusakan infrastruktur tercatat sangat parah:
– Rumah rusak: 157.900 unit
– Fasilitas umum: 1.200 unit
– Jembatan: 498 unit
**Ketimpangan Ekonomi Ekstraktif**
Lembaga kajian CELIOS menghitung kerugian ekonomi di tiga provinsi utama mencapai lebih dari Rp 2 triliun per provinsi (Aceh Rp 2,04 triliun, Sumut Rp 2,07 triliun, Sumbar Rp 2,01 triliun), dengan total estimasi kerugian ekonomi keseluruhan mencapai Rp 68,67 triliun.
Perhitungan CELIOS menyoroti ketidakseimbangan antara pendapatan yang diperoleh negara dari sektor ekstraktif dengan biaya kerugian dan pemulihan bencana. Sebagai contoh di Aceh, total pendapatan negara bukan pajak (PNBP) dari tambang dan dana bagi hasil sawit serta minerba pada 2024 hanya sekitar Rp 1,01 triliun.
Jumlah pendapatan tersebut jauh di bawah kerugian Aceh akibat bencana yang mencapai Rp 2,04 triliun. Sementara itu, BNPB memperkirakan biaya pemulihan daerah terdampak di Aceh, Sumut, dan Sumbar mencapai Rp 51,82 triliun.
**Kritik terhadap Pembangunan Ekstraktif**
Profesor Djati Mardiatno, Guru Besar Bidang Geomorfologi Lingkungan UGM, menegaskan bahwa besarnya skala bencana di Sumatera kali ini terkait erat dengan kerusakan lingkungan, khususnya deforestasi dan degradasi hutan di kawasan hulu. Kerusakan ini menghilangkan fungsi alam sebagai penyerap air dan penahan erosi.
Djati Mardiatno tidak menampik dampak dari model pembangunan yang ekstraktif. “Pembangunan ekstraktif akan selalu menurunkan daya dukung lingkungan hidup dan salah satu dampaknya meningkatnya kerentanan terhadap bencana,” kata Djati dikutip dari laman resmi UGM.
Kerusakan hutan dan perubahan tata air akibat ekstraksi secara langsung meningkatkan risiko bencana ekologis seperti banjir bandang dan tanah longsor. “Banjir dan longsor di wilayah Sumatera yang baru saja terjadi, misalnya, sering dikaitkan dengan model pembangunan ekstraktif tersebut,” imbuhnya.
**Kesejahteraan Semu di Area Tambang**
Guru Besar UGM tersebut menilai pembangunan ekstraktif banyak menimbulkan dampak sosial-ekologis, termasuk perampasan ruang hidup masyarakat adat. Ia mengkritik bahwa kesejahteraan yang dihasilkan dari model ini hanyalah kesejahteraan semu.
Djati memaparkan riset yang menunjukkan ironi di sekitar area pertambangan. “Meski pembangunan ekstraktif sering digadang sebagai pilar ekonomi, namun beberapa riset menunjukkan desa-desa di sekitar area pertambangan justru rentan terhadap kesulitan sosial, seperti pendidikan yang lebih rendah, kesulitan akses air bersih, dan kerentanan terhadap bencana.”
**Desakan Moratorium dan Perubahan Paradigma**
Untuk menjamin keberlanjutan lingkungan dan meminimalkan bencana, Djati Mardiatno mendesak perlunya perubahan paradigma. Ia menyarankan langkah tegas dari pemerintah.
“Sudah saatnya pemerintah menerapkan moratorium izin dan bertindak tegas terhadap perusahaan yang tidak melaksanakan prinsip-prinsip kelestarian lingkungan dalam operasional usaha atau kegiatannya, dan sudah saatnya juga mengalihkan model pembangunan dari model ekonomi ekstraktif yang umumnya bersifat eksploitatif dan merusak menuju model pembangunan yang lebih bijaksana, inklusif, dan berkelanjutan,” tutupnya.
**Analisis Biaya-Manfaat Pembangunan**
Data ini mengungkap paradoks pembangunan ekstraktif di Indonesia. Meskipun sektor ini menjadi andalan pendapatan daerah, kerugian akibat bencana yang dipicu oleh degradasi lingkungan jauh melampaui manfaat ekonomi yang diperoleh.
**Pola Berulang Bencana Ekologis**
Bencana di Sumatera menjadi bagian dari pola yang berulang di Indonesia, di mana daerah dengan aktivitas ekstraktif tinggi mengalami bencana ekologis yang semakin sering dan intensif. Hal ini menunjukkan urgensi evaluasi ulang model pembangunan nasional.
**Dampak Jangka Panjang**
Selain kerugian ekonomi langsung, bencana ini juga menimbulkan dampak jangka panjang berupa trauma psikologis masyarakat, kerusakan ekosistem, dan penurunan produktivitas ekonomi di wilayah terdampak.
**Tantangan Pemulihan**
Dengan biaya pemulihan yang mencapai Rp 51,82 triliun, pemerintah menghadapi tantangan besar dalam memulihkan kondisi daerah terdampak. Pemulihan tidak hanya melibatkan infrastruktur fisik, tetapi juga rehabilitasi ekosistem dan pemulihan mata pencaharian masyarakat.
**Urgensi Reformasi Kebijakan**
Tragedi ini mendesak reformasi kebijakan pembangunan yang lebih mempertimbangkan daya dukung lingkungan dan risiko bencana. Pendekatan pembangunan berkelanjutan bukan lagi pilihan, melainkan kebutuhan mendesak untuk mencegah kerugian yang lebih besar di masa depan.
Sumber: Kompas.com
Buku Terkait: