Menjadi Diri Sendiri di Tengah Gelombang AI

Di tahun politik, transformasi citra para politisi menjadi sosok “lebih manusiawi” kerap menarik perhatian. Mereka mendadak rajin membagikan momen keluarga di media sosial, muncul sederhana di warung-warung kopi, atau mengunggah refleksi mendalam tentang pengabdian kepada masyarakat.

Fenomena ini membuktikan bahwa personal branding telah berkembang melampaui sekadar strategi kampanye politik—ia menjadi metode membangun kepercayaan di tengah membanjirnya informasi. Kini, di era dominasi kecerdasan buatan (AI), konsep tersebut menghadapi tantangan fundamental.

**Dilema Otentisitas di Tengah Dominasi Algoritma**

Pertanyaan mendasar bukan lagi tentang kemampuan manusia bertahan dari persaingan dengan mesin, melainkan kemampuan mempertahankan keaslian di tengah algoritma yang semakin canggih. Kemunculan AI generatif seperti ChatGPT, Midjourney, dan ratusan platform serupa menimbulkan pertanyaan: apakah otentisitas masih bernilai?

Justru ketika otomatisasi mendominasi, keaslian menjadi komoditas paling berharga. AI memang mempermudah berbagai aktivitas: menyusun caption, menganalisis preferensi audiens, hingga menciptakan desain kampanye dalam waktu singkat.

Dalam konteks politik Indonesia, tim kampanye telah memanfaatkan analitik data berbasis AI untuk membaca sentimen publik dan menyusun narasi personal kandidat di platform digital. Namun, daya lekat di hati pemilih bukan ditentukan oleh kecanggihan algoritma, melainkan ketulusan nilai yang disampaikan. Algoritma dapat meniru suara, namun tidak mampu meniru hati.

**Esensi Manusia dalam Personal Branding**

Personal branding merupakan proses pembentukan persepsi publik terhadap seseorang—bukan melalui pencitraan kosong, melainkan konsistensi nilai dan perilaku. Mike Wicks dalam bukunya “Be Your Brand” menyatakan bahwa “orang tidak membeli apa yang Anda lakukan, melainkan mengapa Anda melakukannya.”

Kalimat tersebut menjelaskan mengapa manusia tetap menjadi inti dari setiap brand pribadi, bahkan di era AI. Data menunjukkan bahwa 53 persen CEO di Indonesia mengaku perusahaan mereka belum mengintegrasikan AI secara penuh karena masih memprioritaskan pertimbangan manusia dalam pengambilan keputusan strategis.

Meskipun adopsi AI di Indonesia meningkat 47 persen, penggunaannya di level kreatif masih sangat bergantung pada kemampuan manusia mengarahkan hasil yang dihasilkan. AI hanya berfungsi sebagai alat yang dapat mempercepat proses, namun tidak dapat menggantikan visi.

**Tantangan Era Digital**

Dalam komunikasi publik masa kini, personal branding tidak lagi eksklusif milik selebritas atau politisi. Profesional, wirausaha, bahkan mahasiswa dituntut memiliki identitas digital yang kuat. LinkedIn mencatat lebih dari 1 miliar pengguna aktif global, dengan algoritma yang memprioritaskan konten orisinal berbasis pengalaman pribadi.

Siapa pun yang mampu menunjukkan konsistensi nilai, keaslian, dan empati akan lebih mudah membangun kredibilitas di ruang digital. Namun, di sinilah dilema muncul: AI memudahkan penciptaan konten dalam jumlah besar, tetapi berisiko mengikis keunikan personal.

**AI sebagai Partner Strategis**

Dalam implementasinya, AI dapat menjadi mitra kerja yang efektif bila digunakan secara cerdas. AI dapat membantu merancang strategi komunikasi, menyusun kalender konten, bahkan menuliskan draft awal untuk ide mentah.

Beberapa profesional muda Indonesia kini memanfaatkan AI untuk menghemat waktu riset dan brainstorming, sehingga dapat fokus pada aspek lebih manusiawi: berpikir, berempati, dan membangun relasi.

Kunci sukses terletak pada cara “melatih” AI agar mengenali gaya, nilai, dan karakter khas pengguna. Seperti melatih staf baru, diperlukan arahan, umpan balik, dan batasan etika yang jelas. Tanpa panduan tersebut, yang tercipta hanyalah konten generik—menarik secara visual namun hampa makna.

**Pelajaran dari Panggung Politik**

Kampanye politik di Indonesia menjadi refleksi menarik fenomena ini. Banyak kandidat menggunakan teknologi digital untuk membangun citra: video pendek di TikTok, konten humanis di Instagram, hingga narasi reflektif di media massa.

Namun, hanya mereka yang benar-benar memahami jati diri yang mampu menjaga konsistensi pesan. Teknologi boleh membantu menyebarkan pesan, namun nilai yang hidup dalam diri kandidatlah yang membuat pesan itu dipercaya.

**Prinsip Bertahan di Era AI**

Dalam dunia profesional, di tengah derasnya konten otomatis, mereka yang mampu menyelaraskan teknologi dengan keaslian diri akan tetap menonjol. AI memang dapat menggantikan banyak hal—kecepatan, efisiensi, bahkan sebagian kreativitas. Namun, satu aspek yang tak tergantikan adalah emosi.

Kebutuhan untuk terhubung, dipercaya, dan dimengerti tetap menjadi domain eksklusif manusia. Personal branding di era AI bukan tentang mencapai kesempurnaan, melainkan tentang menjadi autentik.

Ada tiga langkah fundamental untuk tetap relevan: Pertama, mengenali diri dengan jujur—nilai, kekuatan, dan keterbatasan. Tanpa kejelasan ini, AI hanya akan memperkuat kebingungan.

Kedua, menggunakan AI sebagai alat bantu, bukan tumpuan utama. Biarkan AI menghemat waktu, namun jangan biarkan menyusun emosi dan nilai personal.

Ketiga, menjaga empati sebagai pusat komunikasi. Kepercayaan dibangun bukan oleh algoritma, melainkan kejujuran dan ketulusan manusia.

AI menciptakan efisiensi, sementara personal branding memberikan makna. Di antara keduanya, manusia tetap menjadi protagonis utama dalam setiap narasi.


Sumber: Kompas.com


Buku Terkait:

Seri Pemikiran: Kierkegaard dan Pergulatan Menjadi Diri Sendiri

Benantara: Bentang Alam dalam Gelombang Sejarah Nusantara