Pakar IPB: Peta Risiko Banjir Aceh Ada Sejak 2020, Kenapa Kebijakan Masih Abaikan Sains?

Meningkatnya frekuensi bencana hidrometeorologi seperti banjir dan tanah longsor di Indonesia, termasuk banjir yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, mendesak adanya pembenahan mendasar dalam kebijakan mitigasi bencana.

**Tiga Faktor Pemicu Bencana**

Prof. Dr. Ir. Dodik Nurrochmat, Guru Besar Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University, menekankan bahwa meskipun bencana akibat cuaca ekstrem tidak dapat dicegah, dampak risikonya masih dapat diminimalkan melalui tata kelola yang tepat.

Menurut Prof. Dodik, terdapat tiga faktor utama pemicu bencana hidrometeorologi: cuaca ekstrem sebagai fenomena alam yang tidak dapat dihindari, kondisi geografis berupa struktur alam yang memang rentan, dan kerusakan lingkungan akibat aktivitas manusia.

**Faktor Manusia Paling Bisa Dikendalikan**

Dari ketiga faktor tersebut, Prof. Dodik menggarisbawahi bahwa faktor kerusakan lingkungan akibat aktivitas manusia merupakan yang paling dapat diatasi dan dikelola pemerintah.

“Dua faktor pertama kita mitigasi. Namun yang ketiga, kita bisa kelola melalui regulasi dan tata kelola lingkungan. Kerusakan lingkungan karena manusia justru faktor yang paling bisa kita kendalikan,” tegasnya.

**Kritik terhadap Regulasi Umum**

Prof. Dodik mengkritisi regulasi lingkungan yang masih bersifat umum dan tidak berbasis kondisi lokal spesifik. Ia mencontohkan peraturan jarak sempadan sungai yang ditetapkan 50-100 meter sebagai acuan umum.

“Di wilayah hulu, jarak 1-2 meter saja sudah berbahaya. Namun orang berlindung di balik regulasi yang secara ilmiah justru tidak tepat. Ke depan kebijakan harus berbasis sains, bukan hanya aturan umum,” jelasnya.

**Data Ilmiah Sudah Tersedia**

Pakar IPB ini menegaskan bahwa dasar ilmiah untuk mitigasi sebenarnya telah tersedia. Sebagai contoh, IPB telah memiliki disertasi sejak 2020 yang memetakan potensi banjir dan longsor di Aceh Tamiang dan wilayah lainnya.

“Secara ilmiah, semua sudah dihitung. Curah hujan, tutupan lahan, hingga risiko longsoran. Persoalannya, mengapa data ini belum digunakan sebagai dasar kebijakan?” pertanyaannya.

**Sanksi Harus Fokus Pemulihan Lingkungan**

Prof. Dodik juga menyoroti kelemahan sistem sanksi lingkungan saat ini. Ia menilai fokus pada denda finansial besar tidak efektif jika tidak diikuti pemulihan kerusakan lingkungan yang nyata.

“Denda ratusan triliun tidak ada artinya jika tidak digunakan untuk memulihkan lingkungan. Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 jelas ada mandat pemulihan lingkungan sebagai sanksi utama,” tegasnya.

**Kebijakan Berdasarkan Daya Dukung Lingkungan**

Guru Besar IPB ini menekankan bahwa kebijakan lingkungan harus mengacu pada daya dukung dan daya tampung lingkungan, bukan sekadar batas administratif. Faktor kerusakan lingkungan akibat aktivitas manusia merupakan yang paling dapat dikendalikan pemerintah melalui regulasi dan tata kelola yang benar.

**Pentingnya Early Warning System**

Prof. Dodik berharap sanksi pemulihan menjadi fokus utama, karena tata kelola yang benar merupakan kunci menekan risiko bencana. “Bencana mungkin tidak bisa kita hindari, tetapi risikonya bisa kita tekan. Dengan riset berbasis alam, early warning system, dan tata kelola yang benar, dampak bencana bisa kita kurangi,” pungkasnya.

**Urgensi Implementasi Kebijakan Berbasis Sains**

Kritik Prof. Dodik menunjukkan adanya kesenjangan antara ketersediaan data ilmiah dengan implementasi kebijakan di lapangan. Pemetaan risiko yang akurat telah tersedia, namun belum dimanfaatkan optimal sebagai dasar pengambilan keputusan.

**Pendekatan Holistik Mitigasi Bencana**

Pendekatan mitigasi bencana yang diusulkan Prof. Dodik menekankan pentingnya integrasi antara pemahaman ilmiah, kebijakan yang tepat sasaran, dan implementasi yang konsisten. Hal ini mencakup perbaikan sistem peringatan dini, regulasi berbasis karakteristik lokal, dan sanksi yang berorientasi pada pemulihan lingkungan.

**Pembelajaran dari Bencana Terkini**

Banjir yang melanda wilayah Sumatera menjadi pengingat pentingnya implementasi kebijakan mitigasi yang tepat. Kerugian material dan korban jiwa yang terjadi seharusnya dapat diminimalkan jika tata kelola lingkungan dilakukan berdasarkan kaidah-kaidah ilmiah yang sudah tersedia.

**Rekomendasi Kebijakan**

Prof. Dodik merekomendasikan agar pemerintah segera mengimplementasikan kebijakan berbasis sains, memanfaatkan peta risiko yang sudah ada, dan mengubah orientasi sanksi dari denda finansial ke pemulihan lingkungan nyata. Langkah-langkah ini diharapkan dapat menekan risiko bencana hidrometeorologi di masa depan.


Sumber: Kompas.com


Buku Terkait:

Komunikasi Kebijakan