Pakar Soroti Komunikasi Pusat-Daerah Buruk, Deteksi Dini Bencana Sumatera Jadi Sia-sia

Tragedi bencana banjir bandang dan longsor di Sumatera yang menewaskan ratusan korban jiwa disoroti karena melibatkan kegagalan koordinasi antarlembaga. Dr. Belinda Arunarwati Margono dari Badan Informasi Geospasial (BIG) menyatakan bahwa deteksi dini sudah tersedia, tetapi bencana terus terjadi karena belum optimalnya komunikasi, interaksi, dan pemahaman antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat.

Hingga Senin (8/12/2025) pukul 16.00 WIB, jumlah jenazah yang ditemukan dalam peristiwa banjir Sumatera mencapai 961 jiwa.

**Akar Masalah yang Kompleks**

Belinda sepakat bahwa bencana di Sumatera memiliki banyak penyebab, mulai dari kondisi fisik permukaan dan tanah (geomorfologi), cuaca ekstrem, hingga faktor manusia. Namun, ia menyoroti bahwa permasalahan utama terkendala karena belum optimalnya interaksi dan pemahaman antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat.

**Sistem Peringatan Dini yang Sia-Sia**

Belinda menegaskan bahwa kegagalan koordinasi membuat informasi deteksi dini menjadi sia-sia. “Komunikasi antara pemerintah pusat dan daerah belum terbangun sehingga deteksi dini sudah ada, tetapi tidak ada mekanisme termasuk kepedulian atau pemahaman faktor-faktor ini membuat bencana tetap terjadi,” katanya dikutip dari laman resmi UGM.

**Kondisi Geografis yang Rentan**

Selain faktor koordinasi, Guru Besar Fakultas Kehutanan UGM Prof. Ambar Kusumandari mempertegas bahwa secara fisik, risiko kebencanaan di tiga provinsi tersebut—Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat—memang sudah tinggi.

**Potensi Bencana Tinggi di DAS**

Ambar menjelaskan, secara morfometri Daerah Aliran Sungai (DAS), ketiga wilayah tersebut sedari awal mempunyai potensi kebencanaan yang tergolong tinggi pada 4 dari 10 DAS yang sudah dikaji.

**Kondisi Geologi yang Memperburuk**

Kondisi alamiah yang rapuh ini diperparah dengan geologi wilayah. Ambar menambahkan, kondisi tanah di ketiga wilayah tersebut dilewati oleh patahan sehingga memiliki kesempatan yang lebih tinggi untuk terjadi longsor setelah gempa bumi.

**Deforestasi Memperburuk Ancaman**

Pakar konservasi tanah dan air UGM ini memperingatkan bahwa deforestasi masif meningkatkan ancaman bencana hidrometeorologis secara drastis. “Dengan deforestasi yang sangat cepat, bencana hidrometeorologis akan semakin meningkat yang memiliki dampak besar dari berkurangnya keanekaragaman hayati, menghilangnya sumber cadangan air,” terangnya.

**Interaksi Fatal Cuaca Ekstrem dan Ekosistem Rusak**

Dr. Hatma Suryatmojo, peneliti hidrologi hutan dari Fakultas Kehutanan UGM mengatakan bencana banjir Sumatera merupakan hasil interaksi fatal antara faktor pemicu yaitu cuaca ekstrem yang menghantam ekosistem hutan yang sudah sangat rapuh.

**Kapasitas Alam yang Menurun**

Kapasitas alam untuk meredam bencana semakin berkurang karena deforestasi, alih fungsi lahan dan tata ruang yang belum memperhatikan aspek kerawanan bencana.

**Akar Masalah Sesungguhnya**

“Curah hujan ekstrem memang ada dan itu menjadi pemicu awal. Sehingga kami melihat bahwa akar masalah sesungguhnya adalah perusakan ekosistem hulu sampai hilir dari daerah aliran sungai dan kelalaian tata ruang yang terjadi secara sistematik,” paparnya.

**Rekomendasi Solusi Komprehensif**

Hatma merekomendasikan langkah yang perlu dilakukan, yakni:

**1. Strategi Ganda Perlindungan Ekosistem**
Pendekatan untuk memutus siklus bencana dengan strategi ganda dengan cara menghentikan deforestasi dan melindungi sisa hutan di kawasan serta rehabilitasi DAS dan reforestasi.

**2. Pendekatan Teknis dan Sosial**
Pendekatan teknis dan sosial diperlukannya tata ruang ulang berbasis risiko bencana, peringatan dini, edukasi dan pelibatan masyarakat.

**Bukan Kegagalan Alam**

“Bencana ini bukan kegagalan alam melainkan kegagalan dalam implementasi dan penegakan hukum terhadap regulasi konservasi dan juga tata ruang yang sudah ada,” ujarnya.

**Urgensi Koordinasi Lintas Sektor**

Para ahli menekankan pentingnya memperbaiki koordinasi antara berbagai lembaga terkait, mulai dari BMKG, BNPB, hingga pemerintah daerah untuk memastikan informasi peringatan dini dapat ditindaklanjuti dengan efektif.

**Evaluasi Tata Ruang Berkelanjutan**

Selain rehabilitasi ekosistem, diperlukan evaluasi menyeluruh terhadap tata ruang wilayah yang mempertimbangkan aspek mitigasi bencana, terutama di kawasan rawan longsor dan banjir bandang.

**Pentingnya Edukasi Masyarakat**

Keterlibatan masyarakat dalam upaya mitigasi bencana menjadi kunci keberhasilan, termasuk pemahaman tentang tanda-tanda bahaya dan prosedur evakuasi yang tepat.

**Monitoring Berkelanjutan**

Sistem monitoring kondisi hutan dan DAS perlu diperkuat dengan teknologi modern untuk memberikan data real-time tentang kondisi ekosistem dan potensi ancaman bencana.

**Komitmen Jangka Panjang**

Para pakar menekankan bahwa upaya pencegahan bencana serupa memerlukan komitmen jangka panjang dari semua pihak, tidak hanya respons reaktif setelah bencana terjadi.

**Pembelajaran dari Tragedi**

Bencana Sumatera menjadi pembelajaran penting tentang pentingnya pendekatan holistik dalam pengelolaan risiko bencana yang mengintegrasikan aspek lingkungan, sosial, dan kelembagaan secara komprehensif.


Sumber: Kompas.com


Buku Terkait:

Belajar dari Bone Bolango