Pakar UGM Ungkap Penyebab Banjir Sumatera, Tak Cuma Curah Hujan Ekstrem

Gelombang air dan material yang menerjang pemukiman warga Sumatera pekan lalu mengungkap fakta bahwa bencana tersebut dipicu kombinasi faktor ekstrem. Para ahli UGM merangkum tiga kunci penyebab banjir Sumatera yang saling terkait: geologi labil, kerusakan ekologis, dan perilaku anomali iklim yang semakin sering terjadi.

**Geomorfologi Sumatera Rentan Luapan Air**

Dalam diskusi Pojok Bulaksumur pada Kamis (4/12), Dr. Ir. Hatma Suryatmojo, S.Hut., M.Si., IPU., dosen dan peneliti Fakultas Kehutanan UGM, mengurai bahwa struktur geomorfologi Sumatera memang membuat wilayah ini rentan terhadap luapan air besar.

Lereng-lereng terjal dari Aceh hingga Lampung mengalirkan air langsung ke dataran rendah, sementara kipas vulkanik menjadi area yang kini banyak ditempati masyarakat. Jalur alami ini mempercepat aliran dan membawa material dalam jumlah besar ketika intensitas hujan meningkat.

“Dengan pola seperti itu, hujan deras pasti membawa material dalam jumlah besar dan kecepatan tinggi,” ujar Hatma.

**1. Kerusakan Ekologis: Hutan Gagal Sebagai Peredam Air**

Menurut Hatma, salah satu penyebab banjir Sumatera yang membawa kayu dan sedimen tidak bisa dilepaskan dari kondisi ekologis yang kian menurun. Pembukaan lahan di daerah hulu, pemukiman yang merangkak naik ke dataran tinggi, serta perubahan fungsi hutan memperbesar limpasan permukaan.

Ketika hutan hilang, kemampuan tanah menahan air ikut runtuh dan debit puncak tak lagi dapat dikendalikan.

“Para pihak yang menjadi kontributor dosa ekologis itu sudah saatnya berhenti,” katanya.

**Hilangnya Kemampuan Retensi Air Alami**

Dia mengingatkan, hutan sehat memiliki kemampuan menahan air luar biasa, di mana lebih dari separuh air meresap ke dalam tanah. Ketika tutupan hutan berkurang, seluruh volume air bergerak serentak menuju sungai dan mempercepat terjadinya banjir.

“Neraca airnya pasti berubah dan debit puncaknya meningkat drastis,” ujar Hatma.

**2. Anomali Iklim: Siklon Tropis Keluar Jalur Alami**

Mantan Kepala BMKG, Prof. Ir. Dwikorita Karnawati, M.Sc., Ph.D., menambahkan bahwa perubahan iklim memperbesar risiko yang sudah tinggi secara alami. Kenaikan suhu global membuat kejadian hujan ekstrem semakin sering, sehingga sistem hidrologi di Sumatera tidak mampu lagi meredam laju air.

Dwikorita menyoroti anomali siklon tropis yang makin sering muncul. Siklon yang biasanya tidak menembus zona tropis kini tumbuh dan bergerak melintasi daratan.

“Siklonnya tidak lagi patuh pada jalurnya, dan ini anomali yang semakin sering muncul,” ujar Dwikorita.

**Pola Siklon yang Tidak Lazim**

Ia menjelaskan bahwa anomali siklon yang terjadi tahun ini merupakan rangkaian yang telah terlihat sejak kemunculan Siklon Seroja dan Cempaka, dengan pola yang tidak lazim. Siklon Senyar mempertegas gejala itu dengan tumbuh di area yang tidak memungkinkan dan bergerak menyeberangi daratan hingga Semenanjung Malaya.

“Ini anomali yang mengindikasikan perubahan iklim semakin mempengaruhi dinamika siklon di kawasan Indonesia,” tutup Dwikorita.

**3. Struktur Geologi Sangat Labil**

Faktor ketiga adalah geologi. Dwikorita menilai struktur geologi Sumatera, yang batuan terbentuk dari tumbukan lempeng, membuatnya sangat labil. Batuan berada dalam kondisi retak-retak, sehingga mudah longsor bahkan saat diguncang gempa kecil.

Longsoran inilah yang kemudian menyumbat aliran sungai dan membentuk bendungan alami yang sewaktu-waktu dapat jebol.

“Retakan-retakan itu membuat wilayah ini sangat rentan terhadap gerakan tanah,” katanya.

**Peringatan Mitigasi Ekologi**

Dwikorita menekankan bahwa jika mitigasi ekologi—perlindungan hutan—dilewatkan, risiko kehancuran massal akan meningkat.

“Kalau mitigasi ekologinya dilewatkan, kita bisa musnah,” ujar Dwikorita.

**Interaksi Kompleks Tiga Faktor**

Kombinasi ketiga faktor ini menciptakan kondisi sempurna untuk bencana. Struktur geologi yang labil diperberat dengan hilangnya tutupan hutan yang berfungsi sebagai penyangga alami, sementara perubahan iklim meningkatkan intensitas dan frekuensi curah hujan ekstrem.

**Dampak Pembangunan di Area Rentan**

Ekspansi pemukiman ke area kipas vulkanik dan dataran tinggi memperparah situasi. Area-area ini secara geologis merupakan jalur alami aliran material dari lereng gunung ke dataran rendah.

**Urgensi Pengelolaan Terpadu**

Para pakar menekankan perlunya pengelolaan terpadu yang mempertimbangkan ketiga faktor tersebut. Perlindungan hutan di hulu DAS, penataan ruang yang memperhatikan aspek geologis, dan sistem peringatan dini untuk anomali cuaca menjadi kunci pencegahan bencana serupa.

**Rekam Jejak Bencana Serupa**

Bencana ini bukan yang pertama di Sumatera. Pola serupa pernah terjadi di berbagai wilayah dengan karakteristik geografis dan geologis yang sama, menunjukkan pentingnya pembelajaran dari kejadian masa lalu untuk mitigasi masa depan.

**Tantangan Perubahan Iklim Global**

Anomali siklon yang semakin sering menunjukkan bahwa Indonesia tidak bisa lepas dari dampak perubahan iklim global. Siklon yang seharusnya tidak memasuki wilayah tropis kini menjadi ancaman baru yang harus diperhitungkan dalam perencanaan mitigasi bencana.

**Pentingnya Kesadaran Masyarakat**

Selain upaya pemerintah, kesadaran masyarakat untuk tidak membuka lahan di area sensitif dan mempertahankan tutupan hutan menjadi kunci penting dalam mengurangi risiko bencana serupa di masa mendatang.


Sumber: Kompas.com


Buku Terkait:

Manusia dan Air dalam Senjang Pembangunan di Indonesia

Bumi yang Tak Dapat Dihuni