Pencairan Gletser Ubah Lanskap Dunia, Ini Temuan Baru Ilmuwan

VICTORIA – Perubahan iklim yang memicu pencairan gletser tidak hanya mengancam kenaikan muka air laut, tetapi juga mengubah secara fundamental lanskap daratan planet Bumi. Studi terbaru mengungkap bahwa gletser menggerus batuan dasar dengan kecepatan 0,02 hingga 2,8 milimeter per tahun.

Tim peneliti internasional berhasil memetakan laju erosi untuk 99 persen massa es dunia, memberikan gambaran komprehensif tentang bagaimana es membentuk kembali permukaan bumi.

**Revolusi Metodologi dengan Kecerdasan Buatan**

Sophie L. Norris, peneliti utama dari University of Victoria, memimpin tim global yang menggunakan teknologi machine learning untuk menganalisis lebih dari 180.000 gletser di seluruh planet. Pendekatan ini memungkinkan estimasi laju erosi pada skala yang belum pernah dicapai sebelumnya.

Dalam penelitian yang diterbitkan jurnal Nature Geoscience, tim membangun persamaan statistik prediktif yang dapat diterapkan pada sebagian besar gletser yang terpetakan di Bumi. Hasilnya mencakup analisis 85 persen gletser modern, cakupan yang sebelumnya mustahil dilakukan dengan metode konvensional.

**Kompleksitas Faktor yang Mengontrol Erosi**

“Kondisi yang membentuk erosi gletser lebih kompleks daripada yang kita sadari. Analisis kami menunjukkan bahwa suhu, air subglasial, jenis batuan, dan panas dari interior Bumi semuanya sangat memengaruhi laju erosi,” ungkap Norris dikutip Earth.

Temuan ini menantang paradigma lama yang mengaitkan laju erosi terutama dengan kecepatan pergerakan gletser. Data terkini menunjukkan kecepatan sliding saja tidak lagi menjadi faktor dominan ketika variabel iklim dan geologi diintegrasikan dalam analisis.

**Curah Hujan sebagai Prediktor Terkuat**

Di antara faktor-faktor yang diidentifikasi, curah hujan muncul sebagai prediktor paling signifikan. Intensitas hujan yang tinggi menghasilkan volume air lelehan lebih besar di dasar gletser, yang berperan crucial dalam proses erosi.

Air lelehan membantu mobilisasi sedimen dan memungkinkan es berkontak langsung dengan batuan dasar lebih sering, mempercepat proses abrasi mekanis.

**Pengaruh Suhu dan Energi Geotermal**

Analisis mengungkap dua faktor termal yang fundamental:

**Suhu dan Elevasi**: Es basal yang mendekati titik leleh menghasilkan erosi lebih efisien dibandingkan es yang membeku kaku. Kondisi termal ini dipengaruhi ketinggian dan posisi geografis.

**Flux Panas Geotermal**: Energi yang mengalir dari interior planet berkontribusi signifikan terhadap aktivitas erosi. Wilayah dengan gradient geotermal tinggi menunjukkan intensitas erosi yang lebih aktif.

**Pola Regional Erosi Global**

Kawasan dengan curah salju tinggi, kondisi basal hangat hingga moderat, dan batuan dasar yang retak – seperti sabuk pegunungan maritim – mengalami erosi paling cepat. Sebaliknya, region kering dan dingin dengan batuan kristal keras serta air lelehan terbatas menunjukkan laju erosi minimal.

**Volume Sedimen Masif**

Perhitungan menunjukkan bahwa gletser yang dimodelkan menghilangkan puluhan miliar ton batuan setiap tahun. Volume kolossal ini dihasilkan dari laju erosi yang tampak modest namun terdistribusi across area yang sangat luas.

Mayoritas erosi terprediksi terjadi di lintang menengah hingga tinggi, kawasan dimana modern ice coverage paling ekstensif.

**Implikasi untuk Ekosistem Hilir**

Proses erosi glasial ini memiliki konsekuensi far-reaching untuk pembentukan valley systems dan volume sedimen yang ditransportasikan sungai ke downstream. Sedimen tersebut mempengaruhi chemistry sungai, pertumbuhan delta, dan habitat coastal.

Material yang tererosi membawa nutrisi dan mineral yang essential untuk ekosistem aquatic, tetapi juga dapat mengubah turbidity dan kualitas air.

**Baseline untuk Monitoring Perubahan Iklim**

Studi ini menyediakan baseline crucial untuk melacak transformasi seiring pemanasan global. Understanding current erosion rates memungkinkan scientists mengantisipasi changes dalam landscape evolution di masa depan.

**Aplikasi untuk Perencanaan Infrastruktur**

Norris dan tim berharap temuan ini dapat menginformasikan perencanaan infrastruktur jangka panjang, termasuk site selection untuk nuclear waste storage. Aplikasi ini memerlukan knowledge tentang bagaimana future ice conditions dapat mempengaruhi bedrock dan groundwater selama timeframes geological.

**Keterbatasan dan Prospek Masa Depan**

“Model ini bukanlah bola kristal. Ini adalah cara yang jelas dan teruji untuk menetapkan ekspektasi dan memfokuskan pengukuran baru di tempat yang paling penting,” tegas para peneliti.

Pendekatan ini memungkinkan prioritization future field measurements pada lokasi yang most critical untuk understanding glacial processes.

**Kontribusi untuk Earth System Science**

Penelitian ini merepresentasikan advance significant dalam quantifying Earth’s surface processes pada skala global. Integration machine learning dengan glaciological, climatological, dan geological data menciptakan framework baru untuk studying landscape evolution.

**Relevansi untuk Paleoclimatology**

Understanding modern glacial erosion patterns juga berkontribusi untuk reconstructing past ice ages dan their impacts pada topography. Data ini valuable untuk climate models yang simulate long-term environmental changes.

**Metodologi yang Dapat Direplikasi**

Approach yang dikembangkan tim dapat diadaptasi untuk studying other geomorphological processes yang operate pada scales similar. Ini membuka possibilities untuk comprehensive global assessments of various Earth surface phenomena.

**Signifikansi untuk Hazard Assessment**

Knowledge tentang glacial erosion rates juga relevant untuk assessing geological hazards di mountainous regions. Changes dalam erosion patterns dapat mempengaruhi slope stability dan flood risks di downstream communities.


Sumber: Kompas.com


Buku Terkait:

National Geographic: Batupedia

Bumi yang Tak Dapat Dihuni

Ensiklopedia Saintis Junior: Bumi