Puluhan ribu tahun silam di Pulau Flores, hiduplah sekelompok manusia bertubuh mungil yang kini dikenal dengan sebutan “hobbit”. Spesies bernama ilmiah Homo floresiensis ini memiliki tinggi hanya sekitar satu meter dengan otak jauh lebih kecil dari manusia modern, namun mampu bertahan di pulau kecil yang penuh tantangan.
Sebuah riset terbaru mengajukan skenario menarik: para hobbit ini kemungkinan punah akibat kombinasi perubahan iklim berupa kekeringan, bencana alam letusan gunung api, dan kompetisi dengan Homo sapiens yang tengah menyebar ke kawasan tersebut.
**Penemuan Fosil di Gua Liang Bua**
Fosil Homo floresiensis pertama kali ditemukan di Gua Liang Bua, Pulau Flores, dan diumumkan kepada dunia pada 2004. Sejak itu, para ilmuwan terus mencari jawaban atas dua pertanyaan mendasar: bagaimana cara hidup hobbit, dan mengapa mereka akhirnya musnah?
Menariknya, hingga kini fosil hobbit hanya ditemukan di satu lokasi: Gua Liang Bua. Kondisi ini membuat para peneliti menduga spesies ini memiliki hubungan sangat erat dengan lingkungan lokal Flores dan sangat sensitif terhadap perubahan di pulau tersebut.
**Metode Penelitian: Menelusuri Jejak Curah Hujan Purba**
Dalam studi yang dipublikasikan di jurnal Communications Earth & Environment pada 8 Desember, para ilmuwan mencoba menjawab pertanyaan kepunahan hobbit dari perspektif iklim. Mereka menelusuri perubahan curah hujan di Flores dengan cara unik: mempelajari stalagmit di Gua Liang Luar, gua yang berlokasi tidak jauh dari Liang Bua.
**Analisis Komposisi Kimia Stalagmit**
Stalagmit terbentuk dari air yang menetes di lantai gua dan meninggalkan lapisan kalsium karbonat. Saat air berkurang (kondisi lebih kering), pertumbuhan stalagmit melambat dan komposisi kimianya berubah: kalsium karbonat berkurang, kandungan magnesium meningkat.
Dengan mengukur rasio magnesium terhadap kalsium karbonat, peneliti dapat merekonstruksi kapan curah hujan menurun atau meningkat, serta seberapa besar perubahannya.
**Temuan Dramatis: Periode Kekeringan Panjang**
Hasilnya cukup dramatis: sekitar 76.000 tahun lalu, rata-rata curah hujan tahunan di Flores diperkirakan mencapai 1.560 milimeter. Namun, sekitar 61.000 tahun lalu, angka tersebut turun menjadi sekitar 990 milimeter. Tingkat hujan yang lebih rendah ini bertahan hingga sekitar 50.000 tahun lalu.
Dengan kata lain, sebelum hobbit menghilang dari catatan fosil sekitar 50.000 tahun lalu, Flores telah mengalami periode panjang yang jauh lebih kering.
**Hilangnya Stegodon, Mangsa Utama Hobbit**
Perubahan curah hujan hanyalah satu bagian dari cerita. Tim peneliti juga meneliti sisa-sisa gigi Stegodon, hewan mirip gajah purba yang kini punah dan merupakan makanan utama hobbit di Flores.
Analisis gigi Stegodon menunjukkan populasi hewan tersebut mulai menurun antara 61.000 hingga 50.000 tahun lalu. Bahkan setelah terjadi letusan gunung api sekitar 50.000 tahun lalu, Stegodon lenyap sepenuhnya dari Flores.
**Efek Domino: Berkurangnya Vegetasi dan Sumber Air**
Para peneliti menduga, kekurangan hujan menyebabkan vegetasi berkurang, sungai-sungai mengecil, dan pada akhirnya populasi Stegodon ikut jatuh. Ketika buruan utama berkurang, kehidupan hobbit pun otomatis semakin sulit.
**Migrasi Mencari Sumber Air**
Seiring berkurangnya hujan, para peneliti menduga Stegodon mungkin bermigrasi menuju daerah pesisir atau wilayah yang masih memiliki sumber air lebih stabil. Tentu saja, hobbit yang sangat bergantung pada Stegodon untuk makanan kemungkinan besar ikut “mengikuti” mereka.
**Pernyataan Ahli Hidrologi**
Nick Scroxton, ahli hidrologi dan paleoklimat dari University College Dublin yang menjadi salah satu penulis studi ini, mengatakan bahwa jika aliran sungai berkurang, Stegodon hampir pasti harus mencari sumber air yang lebih konsisten.
“Kami menduga jika populasi Stegodon menurun karena aliran sungai berkurang, mereka akan bermigrasi ke sumber air yang lebih stabil. Jadi masuk akal jika para hobbit ikut mengikuti mereka,” ujar Scroxton.
**Wilayah Baru, Persaingan Baru**
Perpindahan ini mungkin membawa hobbit ke wilayah baru yang bukan hanya lebih ramai hewan, tetapi juga lebih ramai manusia.
**Perjumpaan dengan Homo Sapiens**
Sekitar 50.000 tahun lalu, Homo sapiens (manusia modern) tengah menyebar ke berbagai wilayah Asia Tenggara dan Oseania. Jika hobbit bergerak ke pesisir atau wilayah tertentu yang sama-sama menarik sebagai tempat tinggal, sangat mungkin terjadi kontak langsung antara hobbit dan manusia modern.
**Kemungkinan Konflik dan Kompetisi**
Scroxton mengusulkan kemungkinan bahwa pertemuan ini tidak selalu damai: bisa terjadi persaingan memperebutkan sumber daya seperti makanan dan tempat tinggal, bahkan mungkin terjadi konflik antarkelompok.
Dalam situasi lingkungan yang sudah sulit karena kekeringan dan berkurangnya mangsa, tekanan tambahan dari kehadiran Homo sapiens bisa mempercepat hilangnya hobbit dari pulau ini.
**Bencana Vulkanik sebagai Pukulan Terakhir**
Seakan kekeringan dan persaingan belum cukup, sekitar 50.000 tahun lalu terjadi letusan gunung api di dekat Flores. Letusan ini menyelimuti pulau dengan lapisan material vulkanik.
Bagi pulau yang terbatas luasnya seperti Flores, letusan besar bisa berarti kerusakan ekosistem secara luas, dan tertutupinya lahan untuk mencari makan. Terjadilah perubahan mendadak pada habitat hewan dan manusia.
**Kerentanan Ekosistem Pulau**
Bagi spesies yang populasinya sudah menurun seperti hobbit dan Stegodon, bencana ini bisa menjadi pukulan terakhir yang mendorong mereka ke jurang kepunahan.
Julien Louys, paleontolog dari Griffith University di Australia yang tidak terlibat dalam penelitian ini, menilai studi tersebut sangat kuat dan menarik.
Sumber: Kompas.com
Buku Terkait: