Peran Data Geospasial Dalam Penanganan Bencana Longsor

CILACAP – Hujan lebat yang mengguyur sebagian Jawa Tengah beberapa hari terakhir memicu longsor dahsyat di dua kabupaten, yakni Cilacap dan Banjarnegara. Di Cilacap, tepatnya Desa Cibeunying, Kecamatan Majenang, pergerakan tanah terjadi setelah akumulasi hujan tinggi selama beberapa hari.

BMKG mencatat bahwa pada 10 November, curah hujan di pos Majenang mencapai sekitar 98,4 milimeter, dan sehari kemudian masih tercatat 68 milimeter. Kondisi ini menyebabkan tanah menjadi jenuh air dan rentan bergerak.

**Kondisi Atmosfer Pemicu Bencana**

Kondisi atmosfer saat itu menunjukkan kelembapan di berbagai lapisan mencapai 70-100 persen. Hal ini dipadukan dengan pola gelombang atmosfer serta pusaran angin dari Samudra Hindia dan selatan Bali, yang memicu pembentukan awan konvektif dan hujan intensif.

Karena hujan berlangsung berhari-hari, bukan hanya hujan deras satu-dua jam, tekanan air di dalam pori tanah terus meningkat hingga akhirnya memicu pergerakan massa tanah.

Fenomena serupa terjadi di Banjarnegara, di mana hujan ekstrem di kawasan perbukitan memicu longsor. Kombinasi kondisi geologi yang rapuh, kemiringan lereng curam, serta kejenuhan tanah akibat hujan berkepanjangan menjadi pemicu utama bencana longsor.

**Peran Strategis Data Geospasial**

Dalam konteks ini, data geospasial memainkan peran penting yang nyata—tidak sekadar sebagai peta statis, tetapi sebagai instrumen analisis, prediksi, dan pengambilan keputusan sejak sebelum bencana, saat tanggap darurat, hingga fase pemulihan.

Dengan data geospasial, instansi seperti BNPB dan pemerintah daerah telah menyusun peta kerawanan longsor berbasis Sistem Informasi Geografis (SIG) yang menggabungkan informasi elevasi, kemiringan lereng, jenis batuan, tutupan lahan, dan curah hujan historis.

Peta tersebut menandai desa-desa seperti Cibeunying di Cilacap dan kawasan tinggi di Banjarnegara sebagai zona sangat rawan. Ketika hujan deras dijumpai atau diprediksi akan berlangsung lama, peta potensi risiko ini memberikan dasar ilmiah bagi pengambilan keputusan mitigasi.

**Tantangan Pencarian dan Penyelamatan**

Saat bencana longsor terjadi di Cilacap, tim penyelamat menghadapi tantangan besar. Tanah longsoran yang sangat dalam, mencapai kedalaman sekitar 3-8 meter, menimbun rumah-rumah warga. Di sinilah kontribusi data geospasial menjadi krusial.

Model elevasi digital (DEM) dan peta kontur membantu tim SAR menentukan titik terbaik untuk menggali dan menyisir tanah longsoran. Kombinasi SIG dan citra udara memungkinkan mereka memetakan area longsoran, menilai arah aliran tanah, serta menetapkan sektor prioritas pencarian korban.

Tanpa peta semacam ini, upaya evakuasi akan buta arah dan sangat lambat.

**Dasar Ilmiah untuk Relokasi Permanen**

Lebih dari itu, data geospasial juga menjadi landasan dalam keputusan relokasi jangka panjang. BNPB menyatakan akan merelokasi 28 kepala keluarga di Cilacap dari lereng yang secara geologis sangat tidak stabil.

Lahan baru dipilih bukan semata berdasarkan jarak atau kemudahan logistik, tetapi berdasarkan analisis kesesuaian lahan yang mempertimbangkan kemiringan lereng, potensi aliran air, dan risiko pergerakan tanah masa depan. Dengan demikian, pemindahan tersebut tidak hanya reflektif tetapi juga preventif—mengurangi kemungkinan bencana serupa terulang.

**Sistem Peringatan Dini Berbasis Peta Risiko**

Di Banjarnegara, peta risiko berbasis SIG juga menjadi landasan mitigasi dan kesiapsiagaan. Data geospasial memungkinkan pemerintah daerah dan BNPB untuk menyusun zona rawan longsor, yang kemudian dijadikan panduan dalam perencanaan tata ruang dan pembangunan infrastruktur.

Ketika hujan ekstrem datang, pemerintah daerah dapat segera memperingatkan warga melalui sistem peringatan dini berdasarkan lokasi yang paling berbahaya. Saat operasi SAR berlangsung setelah longsor, peta risiko ini mempercepat penentuan rute evakuasi dan penempatan titik pengungsian yang relatif lebih aman.

**Integrasi Data Meteorologi dan Geologi**

Meskipun hujan dengan intensitas ekstrem sangat berperan, hubungan langsung antara data curah hujan harian atau durasi hujan dengan pemetaan risiko tanah tidaklah sederhana. Namun data historis hujan dan model hidrologi spasial dapat digabung dalam peta kerentanan, yang kemudian digunakan sebagai proyeksi kemungkinan bencana di masa depan.

Integrasi data meteorologi (seperti curah hujan, kelembapan, tekanan atmosfer) dengan data topografi dan geologi menjadi kunci agar mitigasi lebih berpijak pada bukti ilmiah. Tanpa kerangka geospasial tersebut, relokasi, evakuasi, dan penanganan darurat bisa menjadi reaksioner dan tidak optimal.

**Intervensi Aktif: Modifikasi Cuaca**

Menariknya, ketika cuaca ekstrem terdeteksi, BNPB dan BMKG bahkan melakukan operasi modifikasi cuaca (cloud seeding) untuk meredam curah hujan di atas wilayah terdampak agar hujan tidak menggagalkan operasi penyelamatan. Keputusan itu tidak diambil sembarangan, melainkan berdasarkan pemantauan spasial kondisi atmosfer dan prakiraan hujan.

Pendekatan ini menunjukkan betapa data geospasial tidak hanya bersifat pasif sebagai alat analisis, tetapi aktif mendukung intervensi manajemen bencana secara real-time.

**Penguatan Infrastruktur Geospasial**

Dalam jangka panjang, penguatan infrastruktur geospasial di tingkat lokal wajib menjadi prioritas. Pemetaan risiko tidak boleh sekadar peta dasar, tetapi terus diperbarui dengan data terkini, misalnya citra satelit resolusi tinggi, pemodelan elevasi yang lebih presisi, serta sistem peringatan dini mobile yang menyampaikan data spasial langsung ke masyarakat di zona berisiko.

Masyarakat pun perlu diberdayakan melalui pemahaman peta bahaya. Bukan hanya petugas mitigasi yang membaca peta, tetapi warga sendiri bisa melihat seberapa dekat rumah mereka dengan zona merah.

**Pembelajaran dari Bencana**

Kejadian longsor di Cilacap dan B


Sumber: Kompas.com


Buku Terkait:

Aku Senang Ada: Awan dan Hujan

Ibu Susu

Seri Tempo: Sjahrir, Peran Besar Bung Kecil