Perbincangan hangat terjadi di platform X mengenai kebiasaan masyarakat Asia yang mengonsumsi nasi menggunakan tangan tanpa alat bantu sendok. Diskusi ini dipicu oleh beragam pandangan warganet, ada yang menikmati tradisi tersebut, namun sebagian lain merasa tidak nyaman.
Seorang pengguna akun @V********V menyatakan ketidaksetujuannya terhadap cara makan tersebut melalui cuitan pada Kamis (23/10/2025). “Sebagai orang Asia, saya merasa punya otoritas soal nasi: Makan nasi dengan tangan itu menjijikkan, aneh, dan barbar. Tidak ada satu pun anggota keluarga saya yang pernah melakukan itu. Dia bertingkah seolah peralatan makan belum pernah diciptakan,” tulisnya.
Cuitan tersebut menuai berbagai tanggapan dari warganet. Banyak yang mempertanyakan identitas Asia dari pemilik akun, mengingat budaya makan dengan tangan merupakan hal yang lumrah di kawasan tersebut.
**Akar Budaya Makan Bersama**
Sosiolog Universitas Sebelas Maret (UNS) Drajat Tri Kartono memberikan penjelasan mengenai fenomena ini ketika dihubungi pada Sabtu (25/10/2025). Menurutnya, masyarakat Asia memiliki karakteristik khas dalam tradisi makan yang berbeda dengan Eropa.
“Kalau di sana alatnya pakai pisau dan garpu, sedangkan di Asia, kalaupun menggunakan alat makan, mereka menggunakan alat semacam untuk menciduk atau mengambil,” jelasnya.
Drajat menekankan bahwa kebiasaan ini merupakan bagian dari kultur kolektif masyarakat Asia, termasuk Indonesia dan kawasan Arab. Tradisi makan bersama dalam satu wadah yang sama menjadi latar belakang munculnya praktik ini.
“Misalnya ada teman atau saudara bareng-bareng tiga atau lima orang makan dalam satu tempat yang sama. Kalau di Jawa ada tempat dari bambu, makanan ditaruh situ, ada nasi, ayam, sambal, mereka makan bareng-bareng,” paparnya.
**Filosofi Keakraban dalam Makan**
Menurut Drajat, penggunaan alat makan dalam konteks makan bersama justru dapat menciptakan jarak dan mengurangi rasa keakraban. Makan menggunakan tangan atau yang dalam istilah Jawa disebut ‘muluk’ memberikan kehangatan tersendiri dalam interaksi sosial.
“Itu makanya kita makan menggunakan tangan atau yang disebut muluk,” ungkapnya, menjelaskan bahwa pendekatan ini lebih sesuai dengan nilai-nilai komunal Asian.
**Kesopanan dan Penghargaan terhadap Makanan**
Sosiolog UNS ini membantah anggapan bahwa makan dengan tangan merupakan praktik yang tidak higienis. Ia menekankan bahwa dalam tradisi Asia, tangan selalu dicuci bersih sebelum makan, sehingga aspek kebersihan tetap terjaga.
“Makan menggunakan tangan tidak dianggap menjijikkan oleh orang Asia karena menggunakan tangan sendiri dan sudah cuci tangan. Malah, makan menggunakan tangan bisa dianggap sangat sopan karena menghargai makanan yang sudah disediakan,” jelasnya.
Drajat membuat analogi menarik untuk menggambarkan konsep ini. “Kalau mengambil pakai alat, itu malah terkesan tidak sungguh-sungguh. Itu seperti saat kita salaman atau menjabat tangan pakai tangan langsung atau kaos tangan, itu lebih nyaman pakai tangan karena langsung bersentuhan.”
**Nilai Egalitarian dalam Tradisi**
Selain aspek keakraban, kebiasaan makan dengan tangan juga mencerminkan nilai kesetaraan dalam masyarakat Asia. Hal ini terlihat dalam berbagai tradisi, seperti bancakan di Jawa yang menyajikan ayam utuh atau ingkung yang dibagi menggunakan tangan.
“Selain terkait sama tradisi kebiasaan makan bersama teman atau saudara, ada yang namanya selera,” lanjut Drajat, mengacu pada dimensi sensori dari praktik makan tradisional.
**Dimensi Sensori dan Pengalaman Kuliner**
Drajat menjelaskan bahwa makan dengan tangan memberikan pengalaman kuliner yang berbeda dibandingkan menggunakan alat. “Contohnya selera di Jawa itu, kalau makan dengan tangan, kenikmatannya lebih lama dan lebih merasuk.”
Ia juga memberikan contoh paralel dengan kebiasaan lain dalam budaya Asia, seperti cara mengonsumsi buah apel yang dimakan langsung dengan digigit, bukannya diiris terlebih dahulu menggunakan pisau.
**Konteks Global dan Diversitas Budaya**
Perdebatan ini mencerminkan kompleksitas identitas budaya dalam era globalisasi. Perbedaan pandangan mengenai praktik makan tradisional menunjukkan adanya variasi dalam interpretasi dan pelestarian budaya, bahkan di antara masyarakat yang berasal dari wilayah geografis yang sama.
**Relevansi dalam Masyarakat Modern**
Diskusi mengenai tradisi makan dengan tangan juga menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana budaya tradisional beradaptasi dengan gaya hidup modern. Sementara sebagian masyarakat mempertahankan praktik tersebut sebagai bagian dari identitas budaya, yang lain mungkin telah mengadopsi cara-cara yang lebih ‘modern’ atau ‘universal’.
**Perspektif Antropologis**
Dari sudut pandang antropologi, praktik makan dengan tangan merepresentasikan sistem nilai dan worldview masyarakat Asia yang menekankan kebersamaan, kesederhanaan, dan hubungan langsung dengan makanan sebagai sumber kehidupan.
Fenomena ini juga menunjukkan bahwa identitas budaya tidak selalu terkait dengan asal geografis seseorang, melainkan juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lain seperti lingkungan tumbuh kembang, pendidikan, dan eksposur terhadap budaya lain.
Sumber: Kompas.com
Buku Terkait:
Kamu Cacat Maka Aku Ada: Eksistensi Disabilitas dalam Budaya Normalitas