Sudah Lama Dijajah, Kok Orang Indonesia Tak Bisa Bahasa Belanda? Ini Penjelasan Pakar

JAKARTA – Fenomena unik terjadi di Indonesia dibandingkan negara-negara bekas jajahan lainnya. Meski kolonialisme Belanda berlangsung selama berabad-abad, bahasa Belanda tidak pernah mengakar kuat dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Kondisi ini berbeda dengan bekas koloni lain, seperti India yang menjadikan bahasa Inggris sebagai bahasa resmi kedua, atau negara-negara Afrika Utara yang masih menggunakan bahasa Perancis secara luas.

Indonesia justru menunjukkan resistensi linguistik yang menarik, seolah-olah hubungan kolonial yang panjang tidak cukup untuk membuat bahasa Belanda familiar di telinga rakyat.

**Lima Faktor Penghambat Penyebaran Bahasa Belanda**

Ridha Mashudi Wibowo, dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, menjelaskan lima alasan utama mengapa bahasa Belanda gagal berkembang di Indonesia saat dihubungi pada Selasa (21/10/2025).

“Sejak awal, pemerintah kolonial tidak memiliki niat untuk menjadikan bahasa Belanda sebagai bahasa rakyat,” ungkap Wibowo.

**1. Strategi Segregasi Bahasa Kolonial**

Penggunaan bahasa Belanda sengaja dibatasi hanya pada kalangan pejabat administrasi, elite Eropa, dan komunitas Indo-Eropa. Pemerintah kolonial dengan sengaja tidak mendorong penduduk pribumi mempelajari bahasa mereka karena dianggap membutuhkan investasi waktu dan biaya yang besar.

“Kebijakan bahasa kolonial sejak sekitar 1864 secara tegas menyatakan bahwa pemerintah memilih menyebarkan bahasa Melayu sebagai kendaraan komunikasi koloni, bukan bahasa Belanda,” jelas Wibowo.

Pilihan ini membuat bahasa Melayu yang sudah lama berfungsi sebagai bahasa penghubung antarpulau menjadi alternatif yang lebih efisien dan praktis.

**2. Dominasi Bahasa Melayu sebagai Lingua Franca**

Bahasa Melayu pada periode tersebut telah mapan sebagai lingua franca dalam perdagangan dan komunikasi antaretnis di seluruh Nusantara. Fungsi praktis yang sudah meluas ini membuat pemerintah kolonial menganggap ekspansi bahasa Belanda justru akan memakan biaya yang lebih mahal dan prosedur yang rumit.

Akibatnya, bahasa Melayu tetap mendominasi komunikasi di kalangan pribumi, sementara bahasa Belanda hanya dikenal pada strata masyarakat tertentu.

**3. Akses Pendidikan yang Sangat Terbatas**

Faktor lain yang menghambat penyebaran bahasa Belanda adalah keterbatasan akses pendidikan bagi penduduk lokal. Institusi pendidikan berbahasa Belanda jumlahnya sangat minim dan umumnya hanya terbuka untuk kalangan bangsawan atau pegawai kolonial.

“Penyebaran pendidikan Belanda di kalangan pribumi berlangsung relatif lambat dan kemudian terhenti pada masa okupasi Jepang serta periode pasca-kemerdekaan,” tutur Wibowo.

Berbeda dengan strategi kolonial Inggris atau Perancis yang menggunakan bahasa mereka sebagai instrumen administrasi dan pendidikan, Belanda cenderung lebih pragmatis dengan fokus pada eksploitasi ekonomi dan sumber daya.

**4. Semangat Nasionalisme Pasca-Kemerdekaan**

Setelah proklamasi kemerdekaan, muncul dorongan nasional untuk memilih bahasa pemersatu yang netral dan tidak terkait dengan masa penjajahan.

“Pilihan jatuh pada bahasa Melayu yang kemudian berkembang menjadi Bahasa Indonesia, agar tidak membawa beban sejarah kolonial,” kata Wibowo.

Meskipun banyak kosakata serapan dari bahasa Belanda yang masih digunakan hingga kini, seperti “kantor,” “meja,” atau “polisi,” penguasaan aktif bahasa ini tetap terbatas pada kalangan tertentu, seperti akademisi atau praktisi hukum.

**5. Kompleksitas Linguistik**

Selain faktor politik dan sosial, terdapat hambatan linguistik yang signifikan. Bahasa Belanda termasuk dalam rumpun bahasa Jermanik dengan struktur, fonologi, dan morfologi yang sangat berbeda dari bahasa-bahasa Nusantara.

“Untuk penerapan secara massal, diperlukan pelatihan dalam skala besar. Bahasa kolonial yang terlalu asing cenderung ditolak sebagai bahasa rakyat,” jelas Wibowo.

**Warisan Linguistik yang Terbatas**

Meski jejak sejarah Belanda masih tertinggal dalam berbagai aspek kehidupan Indonesia, bahasa mereka tidak pernah benar-benar menjadi bagian dari identitas nasional. Hal ini menunjukkan bahwa kolonialisme tidak selalu berhasil menciptakan hegemoni budaya yang menyeluruh.

Strategi segregasi bahasa yang diterapkan pemerintah kolonial Belanda justru membantu Indonesia mempertahankan identitas linguistiknya sendiri. Bahasa Melayu yang kemudian berkembang menjadi Bahasa Indonesia terbukti lebih mampu menyatukan keberagaman etnis dan budaya di Nusantara.

**Perbandingan dengan Koloni Lain**

Kasus Indonesia menunjukkan perbedaan mencolok dengan bekas koloni Eropa lainnya. Di India, bahasa Inggris masih digunakan secara luas dalam pendidikan tinggi, hukum, dan bisnis. Di Afrika, bahasa Perancis atau Portugis masih menjadi bahasa resmi di banyak negara.

Indonesia berhasil melepaskan diri dari dominasi bahasa kolonial dan membangun identitas linguistik yang mandiri, menjadikan Bahasa Indonesia sebagai simbol persatuan yang efektif dalam menyatukan ribuan pulau dengan ratusan bahasa daerah.

Fenomena ini membuktikan bahwa meskipun kekuasaan politik dapat dipaksakan, hegemoni budaya dan linguistik memerlukan strategi yang berbeda dan tidak selalu berhasil dalam jangka panjang.


Sumber: Kompas.com


Buku Terkait:

Sejarah Bahasa Melayu di Ambon

Buku Teks tentang Penilaian Skala Besar Pencapaian Pendidikan

Ras, Kuasa, dan Kekerasan Kolonial di Hindia Belanda, 1808-1830